Yang Harus Disiapkan Pokja Saat Dipanggil APH

Pengadaan barang/jasa pemerintah menuntut Pokja (Kelompok Kerja Pengadaan) untuk tidak hanya mahir dalam proses administratif dan teknis, tetapi juga siap jika sewaktu‑waktu dipanggil oleh Aparat Penegak Hukum (APH) seperti Kejaksaan, Kepolisian, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Panggilan ini bisa terjadi sebagai bagian dari penyelidikan dugaan maladministrasi, korupsi, atau pelanggaran prosedur. Agar tidak terjebak dalam situasi pelik dan dapat menjaga integritas serta kredibilitas institusi, berikut adalah hal‑hal krusial yang harus dipersiapkan oleh setiap anggota Pokja.

1. Pendahuluan: Mengapa APH Memanggil Pokja?

Dalam konteks pengadaan barang/jasa pemerintah, Pokja Pemilihan (Kelompok Kerja Pemilihan) memegang peran yang sangat strategis karena bertanggung jawab langsung terhadap proses seleksi penyedia. Tugas-tugas Pokja tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga teknis dan substantif: mulai dari menyusun dokumen pemilihan, menetapkan metode evaluasi, mengevaluasi dokumen penawaran, hingga menghasilkan Berita Acara Hasil Pemilihan (BAHP) yang menjadi dasar penunjukan penyedia. Karena seluruh rangkaian ini berdampak langsung pada keuangan negara dan penggunaan anggaran publik, Pokja secara inheren menjadi titik fokus dalam pemeriksaan atau penyelidikan yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum (APH), seperti Kepolisian, Kejaksaan, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pemanggilan Pokja oleh APH biasanya muncul dalam dua konteks besar. Pertama, ketika terdapat laporan masyarakat, pengaduan dari peserta tender, atau temuan audit internal/eksternal mengenai potensi penyimpangan. Kedua, ketika proyek yang dimenangkan oleh penyedia berujung pada masalah dalam pelaksanaan-baik itu keterlambatan, kegagalan mutu, atau ketidaksesuaian spesifikasi. Dalam kedua kasus tersebut, Pokja dianggap sebagai pihak yang memiliki otoritas awal yang dapat menjelaskan proses awal pengadaan hingga tahap penetapan pemenang.

Beberapa hal yang sering menjadi perhatian APH antara lain:

  • Dugaan penyimpangan atau ketidaksesuaian prosedur seperti penyesuaian dokumen pemilihan di tengah proses, praktik diskriminatif dalam penetapan kriteria teknis, atau potensi mark-up Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
  • Indikasi kolusi atau keberpihakan terhadap penyedia tertentu, misalnya melalui penyusunan spesifikasi yang terlalu mengarah, pengaturan jadwal yang menyulitkan peserta tertentu, atau hasil evaluasi teknis yang tidak objektif.
  • Validitas dan integritas dokumen tender, termasuk kebenaran hasil evaluasi dan keabsahan alasan diskualifikasi peserta lain.
  • Pemisahan peran dan tanggung jawab antara Pokja, PPK (Pejabat Pembuat Komitmen), dan PA/KPA, yang sering kali kabur atau tidak terdokumentasi secara jelas.

Dalam menghadapi panggilan APH, Pokja harus menyadari bahwa semua tindakan dan keputusan mereka harus dapat dipertanggungjawabkan secara administratif, hukum, dan etik. Ketidaksiapan dalam memberikan penjelasan yang faktual dan terstruktur dapat memperkeruh situasi, bahkan menimbulkan asumsi buruk. Oleh karena itu, penting bagi Pokja untuk memahami bahwa transparansi, dokumentasi lengkap, dan konsistensi tindakan sesuai dengan regulasi adalah tameng terbaik dalam menghadapi proses klarifikasi atau penyelidikan oleh APH.

2. Dokumen dan Arsip Utama yang Harus Disiapkan

Ketika dipanggil oleh APH, kesiapan utama Pokja tidak hanya terletak pada pemahaman terhadap proses pengadaan yang telah dijalankan, tetapi juga pada kelengkapan dokumen dan arsip yang mampu membuktikan bahwa seluruh tahapan pengadaan telah dilakukan sesuai prosedur yang berlaku. Dokumen dan arsip inilah yang akan menjadi rujukan utama bagi penyelidik atau auditor dalam menilai validitas keputusan yang diambil Pokja, sekaligus sebagai alat pembelaan bagi anggota Pokja apabila terdapat tudingan yang tidak berdasar.

2.1. Dokumen Tender dan RUP

Dokumen ini merupakan fondasi awal pengadaan. Rencana Umum Pengadaan (RUP) menunjukkan bahwa kegiatan pengadaan telah direncanakan dan diumumkan secara terbuka melalui sistem yang resmi, sesuai prinsip transparansi. Tanpa RUP, sebuah pengadaan dapat dianggap tidak sah secara administratif.

Selanjutnya, Dokumen Pemilihan (DP) harus tersedia lengkap sesuai versi final yang diunggah ke LPSE. Dokumen ini memuat ketentuan teknis, kualifikasi penyedia, metode evaluasi, format penawaran, dan syarat-syarat lainnya yang menjadi acuan peserta tender. DP yang berubah-ubah tanpa dokumentasi notulen dan persetujuan dapat memunculkan dugaan rekayasa atau manipulasi.

Harga Perkiraan Sendiri (HPS) adalah dokumen yang sangat sensitif, karena menyangkut justifikasi keuangan. Pokja wajib menyiapkan HPS beserta lampiran perhitungan rinci (uraian satuan, harga pasar, indeks inflasi, dll) serta bukti referensi harga pasar (survei harga, katalog, atau referensi resmi) untuk menunjukkan bahwa HPS disusun secara wajar dan bukan hasil rekayasa.

2.2. Berita Acara dan Notulen Rapat

Dokumen ini merekam proses evaluasi dan pengambilan keputusan di internal Pokja. Beberapa dokumen yang harus disiapkan antara lain:

  • Berita Acara Evaluasi Administrasi: mencatat penyebab gugurnya peserta, serta metode verifikasi dokumen legalitas.
  • Berita Acara Evaluasi Teknis dan Harga: memuat skoring atau hasil evaluasi komparatif, termasuk jika dilakukan klarifikasi atau pembuktian kinerja sebelumnya.
  • Notulen Rapat Pokja: catatan diskusi, perbedaan pendapat, dan argumentasi yang mendasari keputusan. Notulen ini penting untuk menunjukkan bahwa keputusan diambil secara kolektif, bukan atas kehendak satu pihak.

Semua berita acara sebaiknya ditandatangani oleh seluruh anggota Pokja dan disimpan dalam bentuk cetak dan digital.

2.3. Dokumen Kontrak dan Addendum

Surat Penetapan Penyedia (SPP) dan Surat Perjanjian Kontrak menjadi dokumen formal yang menunjukkan bahwa proses pemilihan telah berakhir dan penyedia telah ditetapkan. Apabila ada Addendum Kontrak, misalnya terkait perubahan nilai, termin, atau waktu pelaksanaan, maka harus disertai dokumen justifikasi dan kronologi.

APH sering menaruh perhatian pada addendum karena ini bisa menjadi indikasi ketidaksiapan perencanaan atau potensi penggelembungan nilai. Oleh karena itu, setiap addendum wajib didasari dengan kajian teknis dan administratif yang terdokumentasi dengan baik.

2.4. Bukti Komunikasi

Sering kali keputusan Pokja melibatkan komunikasi intens dengan peserta, terutama pada tahap klarifikasi dan sanggahan. Oleh karena itu, rekam jejak surat menyurat, email resmi, dan notifikasi LPSE harus diarsipkan.

  • Berita Acara Klarifikasi: menunjukkan bahwa setiap komunikasi dilakukan terbuka, tercatat, dan adil kepada semua peserta.
  • Proof of Submission: seperti tangkapan layar waktu unggah, bisa berguna jika ada sengketa terkait keterlambatan atau kesalahan upload.

Dokumen digital ini harus dipastikan tersimpan dengan baik, lengkap dengan timestamp, dan tidak boleh ada yang dihapus.

2.5. Dokumen Pendukung Lain

Beberapa dokumen lain yang penting untuk disiapkan termasuk:

  • Surat Persetujuan Anggaran dari KPA atau PA, yang membuktikan bahwa kegiatan telah mendapat otorisasi anggaran.
  • Legalitas Lembaga dan Peserta, seperti akta notaris, SIUP, NPWP, dan bukti kepatuhan pajak. Dokumen ini menunjukkan bahwa Pokja telah melakukan verifikasi administratif sesuai ketentuan Perpres 16/2018 dan Perlem LKPP.

Semua dokumen di atas sebaiknya disusun dalam format folder atau binder yang sistematis, dengan indeks dan penanda (tabs) yang memudahkan akses cepat. Bila memungkinkan, seluruh dokumen diduplikasi dan dilegalisir untuk diserahkan ke APH apabila diminta. Hal ini bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk profesionalisme dan itikad baik Pokja dalam memberikan informasi dan membuktikan akuntabilitas proses pengadaan.

3. Prosedur Internal: Koordinasi dengan PPK dan Atasan

Dalam menghadapi pemanggilan oleh Aparat Penegak Hukum (APH), salah satu langkah paling krusial yang sering diabaikan adalah koordinasi internal yang solid. Pokja bukanlah entitas independen yang berjalan sendiri, melainkan bagian dari struktur organisasi pengadaan yang lebih besar. Oleh karena itu, ketika menerima panggilan atau permintaan klarifikasi dari APH, Pokja harus segera melakukan serangkaian langkah koordinatif dan preventif untuk memastikan seluruh tim siap, informasi terkonsolidasi, dan langkah-langkah hukum dapat dipertimbangkan secara bijaksana.

3.1. Informasikan Panggilan Segera

Begitu surat pemanggilan diterima-baik secara resmi (melalui surat tercatat) atau informal (melalui pemberitahuan lisan/email)-Pokja harus segera melaporkan kepada tiga pihak utama:

  • PPK (Pejabat Pembuat Komitmen): Karena PPK adalah pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kontrak dan pengelolaan anggaran, koordinasi awal akan memperjelas batas tanggung jawab masing-masing. Pokja hanya bertugas sampai penetapan pemenang, sementara PPK bertanggung jawab mulai dari penandatanganan kontrak hingga pelaksanaan kegiatan.
  • Atasan Langsung/Eselon atas: Biasanya pejabat pengadaan di tingkat struktural yang menjadi penanggung jawab kegiatan pengadaan di unit kerja. Pemberitahuan ini penting agar instansi dapat mengambil langkah preventif secara kelembagaan dan memberikan dukungan administratif dan hukum jika diperlukan.
  • Bagian Hukum dan/atau Inspektorat: Unit ini akan menjadi pendamping dalam aspek legal dan administratif. Mereka dapat membantu menganalisis potensi pelanggaran, memverifikasi keabsahan prosedur, dan mendampingi proses komunikasi dengan APH secara formal.

Keterlambatan dalam melaporkan panggilan bisa berisiko, baik secara pribadi (dianggap menyembunyikan informasi) maupun institusional (instansi tidak siap memberikan dukungan yang tepat waktu).

3.2. Pembentukan Tim Respon

Langkah berikutnya adalah membentuk tim kecil yang akan menjadi frontline saat menghadapi proses klarifikasi. Tim ini sebaiknya terdiri dari:

  • Ketua atau anggota Pokja yang paling memahami kronologi paket;
  • Pejabat dari unit hukum atau pengadaan sebagai pendamping teknis;
  • Perwakilan dari PPK (jika batas peran bersinggungan).

Tugas utama tim ini bukan hanya mendampingi pertemuan dengan APH, tetapi juga merangkum seluruh informasi teknis, dokumen pendukung, dan kronologi tahapan pengadaan secara akurat. Tim juga harus menunjuk juru bicara resmi, agar tidak terjadi pernyataan yang tumpang tindih atau kontradiktif antaranggota.

3.3. Simulasi dan Briefing Internal

Sebelum menghadiri panggilan atau permintaan klarifikasi, sangat disarankan agar Pokja melakukan simulasi pertanyaan-pertanyaan potensial. Simulasi ini bukan dimaksudkan untuk “mengatur jawaban”, tetapi untuk:

  • Memastikan semua anggota memiliki pemahaman yang konsisten dan berbasis dokumen;
  • Mempersiapkan argumentasi yang berdasarkan fakta dan regulasi, bukan sekadar asumsi atau ingatan;
  • Menciptakan issue matrix atau daftar risiko-misalnya perubahan spesifikasi mendadak, adanya peserta yang mengajukan sanggahan keras, atau nilai HPS yang terlalu tinggi.

Dengan pendekatan ini, Pokja tidak hanya lebih siap menghadapi pertanyaan teknis, tetapi juga terlihat profesional dan kooperatif dalam kacamata APH.

3.4. Perlindungan Hak dan Kewajiban

Pemanggilan oleh APH secara hukum tidak serta-merta menyatakan adanya pelanggaran. Namun, jika pertanyaan mengarah pada potensi pidana atau pelanggaran etik, Pokja berhak meminta pendampingan hukum, baik dari internal instansi (bagian hukum, pengacara pemerintah), maupun dari kuasa hukum eksternal.

Pokja juga berhak menunda menjawab pertanyaan jika diperlukan waktu untuk mengakses dokumen tertentu atau jika pertanyaan menyangkut hal-hal yang berada di luar kewenangannya. Dalam kondisi yang lebih serius, Pokja berhak untuk:

  • Meminta berita acara pemanggilan secara tertulis;
  • Menolak menjawab pertanyaan yang bersifat tendensius atau di luar prosedur;
  • Mengajukan permintaan tertulis untuk pendampingan saksi ahli dari LKPP jika substansi berkaitan dengan interpretasi teknis regulasi pengadaan.

Sikap ini bukan bentuk perlawanan, melainkan perlindungan prosedural agar proses klarifikasi tidak berkembang menjadi tekanan psikologis atau salah tafsir hukum.

4. Audit Trail dan Forensik Dokumen

Dalam era e-procurement dan digitalisasi pengadaan, salah satu senjata terkuat yang dimiliki Pokja dalam membela proses pengadaan adalah rekam jejak digital. Audit trail atau jejak audit adalah bukti kronologis yang menunjukkan bahwa suatu tindakan dilakukan sesuai prosedur dan terekam sistem, bukan hasil rekayasa atau manipulasi.

4.1. Rekam Jejak Elektronik

Setiap aktivitas dalam sistem pengadaan elektronik (LPSE) terekam secara otomatis dan bisa diakses oleh admin sistem atau auditor dengan otorisasi. Pokja wajib menyiapkan:

  • Log akses pengguna: menunjukkan kapan dan siapa yang mengunggah dokumen, melakukan klarifikasi, atau menyampaikan sanggahan.
  • Tanda tangan digital: memastikan bahwa dokumen yang diunggah sah dan tidak mengalami modifikasi setelah penandatanganan.
  • Log proses evaluasi: jika menggunakan sistem evaluasi elektronik, log ini menunjukkan nilai, tanggal evaluasi, dan operatornya.

Audit trail ini sangat penting ketika ada tuduhan bahwa dokumen ditambahkan setelah batas waktu atau bahwa evaluasi dilakukan di luar prosedur. Rekam jejak ini bersifat immutable (tidak dapat diubah), sehingga menjadi alat bukti yang kredibel di mata hukum.

4.2. Versi Dokumen

Pokja harus memiliki salinan lengkap semua versi dokumen pengadaan, mulai dari draft awal hingga versi final. Setiap perubahan harus dicatat, termasuk tanggal revisi dan alasannya.

Praktik terbaik adalah dengan menandai file secara bertingkat, misalnya:

  • DP_v1.docx (draft awal),
  • DP_v1.1.docx (revisi minor setelah konsultasi),
  • DP_final.pdf (versi yang diumumkan di LPSE).

Sistem versi ini menunjukkan bahwa perubahan tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan ada jejak yang bisa diverifikasi.

4.3. Penggunaan CMS dan E‑Procurement

Jika instansi telah menerapkan Contract Management System (CMS) atau modul e-pengadaan yang terintegrasi, Pokja harus menyiapkan:

  • Screenshot modul notifikasi (pengingat masa sanggah, upload kontrak, dsb);
  • Riwayat perubahan kontrak, addendum, dan perpanjangan;
  • Status pelaksanaan kontrak, misalnya realisasi progres fisik dan pembayaran.

Backup database pengadaan juga dapat diajukan sebagai bukti tambahan bahwa tidak ada penghapusan data pasca tender.

4.4. Dokumentasi Foto dan Video

Dokumentasi visual juga semakin umum digunakan sebagai bagian dari transparansi proses. Pokja sebaiknya menyimpan:

  • Foto-foto proses evaluasi dan klarifikasi, menunjukkan bahwa seluruh peserta diberi ruang setara.
  • Rekaman rapat virtual, jika proses dilakukan melalui Zoom, Teams, atau aplikasi serupa. Harus ada notifikasi kepada peserta bahwa rapat direkam, dan hasilnya disimpan dalam arsip pengadaan.

Dokumentasi ini berguna sebagai pelengkap narasi apabila proses tender dipersoalkan oleh peserta, atau ketika APH ingin memverifikasi bahwa keputusan diambil secara kolektif.

5. Menjawab Sorotan atas Prosedur Evaluasi

Ketika dipanggil oleh Aparat Penegak Hukum (APH), salah satu titik krusial yang sering menjadi fokus pemeriksaan adalah prosedur evaluasi. APH ingin memastikan bahwa proses seleksi penyedia dilakukan secara objektif, transparan, dan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, Pokja harus siap menjelaskan dengan bukti konkret dan argumentasi berbasis regulasi pada tiga tahapan utama: evaluasi administrasi, teknis, dan harga.

5.1. Evaluasi Administrasi

Evaluasi administrasi adalah pintu awal seleksi. Pokja harus dapat menunjukkan bahwa checklist verifikasi administratif telah disusun dan digunakan secara konsisten terhadap seluruh peserta. Beberapa item penting dalam evaluasi ini mencakup:

  • Legalitas usaha: akta perusahaan dan perubahan terakhir, SIUP/NIB, NPWP, dan SKT.
  • Kemampuan dasar keuangan: laporan keuangan tahun terakhir, rekening koran, serta Surat Keterangan Pajak (SKP) atau SPT tahunan.
  • Pengalaman kerja: referensi pekerjaan serupa dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

Pokja harus menyertakan berita acara evaluasi administrasi yang mencantumkan alasan lolos/tidak lolosnya setiap peserta. Selain itu, semua dokumen yang mendasari keputusan (misalnya akta, SIUP, SBU) perlu ditunjukkan dalam bentuk hardcopy dan digital.

APH sering mempertanyakan jika ada peserta yang gugur karena dokumen dianggap tidak sah. Dalam hal ini, Pokja perlu menunjukkan proof of verification-misalnya pencocokan dengan OSS, pengecekan nomor izin online, atau klarifikasi resmi dari instansi teknis.

5.2. Evaluasi Teknis

Setelah administrasi, evaluasi teknis menjadi tahap paling rentan disorot karena mengandung unsur penilaian kualitatif. Pokja harus menunjukkan bahwa penilaian teknis dilakukan berdasarkan rubrik atau matriks yang tercantum eksplisit dalam Dokumen Pemilihan.

Komponen yang umum dinilai meliputi:

  • Kesesuaian spesifikasi teknis: barang harus sesuai SNI atau standar yang disebutkan.
  • Metodologi pelaksanaan kerja: termasuk jadwal pelaksanaan, manajemen risiko, dan alur distribusi.
  • Personil inti: kualifikasi tenaga ahli, pengalaman kerja, dan sertifikat keahlian.

Jika paket bersifat barang, Pokja harus menyiapkan hasil uji sampel, dokumentasi inspeksi lapangan, atau sertifikat laboratorium. Untuk paket jasa atau konstruksi, perlu dilengkapi dokumen demonstrasi metodologi atau foto-foto survei awal.

Pokja juga harus menjelaskan bahwa penilaian teknis dilakukan secara kolektif oleh tim, bukan individu. Hasil scoring dibuktikan dalam format tabel penilaian dengan skor dan catatan komentar evaluator.

5.3. Evaluasi Harga

Evaluasi harga tak kalah penting karena menyangkut keadilan kompetisi dan risiko harga tidak wajar. Pokja harus menyampaikan:

  • Rincian HPS: termasuk asumsi harga satuan, upah minimum, indeks harga bahan/material, dan margin wajar.
  • Perbandingan harga peserta: tunjukkan gap antara penawaran peserta dan HPS.

Jika terdapat peserta yang menawar di bawah 80% HPS, Pokja wajib menyertakan analisis kewajaran harga atau bukti clarification bahwa penyedia memahami risiko dan tetap sanggup menyelesaikan pekerjaan.

Dalam kasus tertentu, terjadi negosiasi harga-terutama dalam tender yang hanya menghasilkan satu penyedia lolos. Pokja harus menunjukkan Berita Acara Klarifikasi dan Negosiasi Harga, serta metode estimasi harga pasca-negosiasi (misalnya dengan membandingkan harga e-katalog atau harga historis proyek sejenis).

Dengan menyiapkan jawaban berbasis dokumen dan logika evaluasi, Pokja menunjukkan bahwa keputusannya bersifat objektif, dapat dipertanggungjawabkan, dan bebas dari pengaruh subjektif.

6. Mitigasi Temuan Audit dan Tindak Lanjut

Tidak semua panggilan APH berujung pada tuduhan pidana. Sering kali, pemeriksaan dilakukan karena adanya temuan administratif dari BPK, Inspektorat, atau hasil pemantauan media. Pokja harus siap menunjukkan bahwa lembaganya memiliki mekanisme korektif dan komitmen terhadap continuous improvement.

6.1. Tindak Lanjut Internal

Langkah pertama setelah menerima temuan audit adalah menyusun Rencana Tindak Lanjut (RTL). Jika ditemukan kekeliruan dalam pelaksanaan SOP, misalnya tidak adanya notulen klarifikasi atau kekurangan dokumen, Pokja harus menyusun langkah koreksi:

  • Menyusun ulang dokumen yang hilang (dengan catatan waktu dibuat);
  • Mengisi berita acara yang sempat tertunda, dengan penjelasan alasan keterlambatan;
  • Mengusulkan perbaikan prosedur di SOP agar tidak terjadi pengulangan.

Semua tindakan korektif dilaporkan kepada Inspektorat atau APIP, agar bisa menjadi bagian dari audit internal. Dalam beberapa kasus, langkah ini dapat mencegah temuan menjadi kasus hukum karena menunjukkan niat perbaikan institusional.

6.2. Komunikasi Hasil dengan APH

Saat menemui APH, Pokja dapat menyampaikan laporan tertulis berisi klarifikasi dan bukti perbaikan. Ini mencerminkan sikap kooperatif dan memperkuat posisi Pokja sebagai pelaksana tugas, bukan pelanggar hukum.

Jika ada dokumen baru yang dihasilkan pasca temuan, Pokja harus menyertakan:

  • Tanggal pembuatan dan siapa yang membuat;
  • Referensi SOP atau regulasi yang digunakan;
  • Justifikasi bahwa perubahan tersebut tidak mengubah substansi hasil tender.

Langkah ini mencegah kesan bahwa Pokja “menambal” kekurangan hanya untuk kepentingan klarifikasi.

6.3. Training dan Pembaruan SOP

Mitigasi jangka panjang harus dilakukan melalui pelatihan dan institutional learning. Instansi sebaiknya:

  • Menyelenggarakan bimbingan teknis berkala tentang e-procurement, penyusunan HPS, dan teknik klarifikasi;
  • Memperbarui SOP tender: misalnya menambahkan flowchart evaluasi teknis, template BAHP, dan checklist audit;
  • Mendorong arsip digital agar dokumen tidak tercecer dan mudah diakses saat dibutuhkan.

Praktik mitigasi seperti ini menunjukkan bahwa Pokja tidak hanya menjalankan pengadaan, tetapi juga belajar dari pengalaman untuk memperbaiki tata kelola ke depan.

7. Rekomendasi bagi Pokja Mendatang

Dari berbagai kasus pemanggilan oleh APH, dapat ditarik beberapa prinsip penting yang seharusnya menjadi kebiasaan preventif bagi seluruh anggota Pokja. Rekomendasi ini bukan hanya untuk menghindari masalah hukum, tetapi juga untuk memastikan proses pengadaan publik berlangsung profesional, kredibel, dan efisien.

7.1. Patuh Prosedur

Selalu mulai dari membaca dan memahami Perpres, Perlem LKPP, dan Surat Edaran terbaru. Jangan andalkan hanya pengalaman sebelumnya, karena regulasi pengadaan sering diperbarui. Misalnya, penggunaan e-catalog yang dulunya opsional kini menjadi acuan utama dalam banyak belanja rutin.

7.2. Dokumen Rinci

Pokja harus menyiapkan dokumentasi secara sistematis: mulai dari draft DP, penetapan HPS, berita acara evaluasi, hingga surat penetapan pemenang. Setiap keputusan-terutama keputusan diskualifikasi atau klarifikasi teknis-harus memiliki alasan tertulis yang merujuk pada dokumen pemilihan atau regulasi.

Dokumen bukan hanya untuk kepentingan peserta, tetapi juga sebagai perisai hukum ketika proses tender diaudit atau dipersoalkan.

7.3. Pelajari Hasil Audit

Gunakan hasil audit BPK, Inspektorat, atau bahkan catatan minor dari proses sanggah peserta sebagai sumber pembelajaran kolektif. Jadikan temuan tersebut sebagai dasar perubahan prosedur internal dan pembentukan kebiasaan kerja yang lebih cermat.

7.4. Jaga Integritas

Pokja tidak boleh terlibat dalam pengaturan pemenang, komunikasi informal dengan peserta, atau negosiasi yang tidak tercatat. Setiap anggota harus mencatat siapa melakukan apa, kapan, dan atas dasar apa. Ini akan sangat berguna ketika ada pertanyaan hukum yang bersifat personal.

7.5. Sistem Backup

Terapkan kebijakan backup dokumen dua lapis: satu salinan elektronik dan satu hardcopy diarsipkan resmi. Jika memungkinkan, gunakan platform cloud internal agar akses mudah dan cepat, namun tetap terjaga keamanannya.

Dengan kebiasaan ini, Pokja tidak akan panik ketika suatu saat diminta membuka dokumen tender tiga tahun yang lalu.

8. Kesimpulan: Pemeriksaan Bukan Ancaman, Tapi Ujian Tata Kelola

Pemanggilan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) terhadap Pokja bukanlah sesuatu yang otomatis harus ditakuti atau ditanggapi dengan sikap defensif. Justru, panggilan ini merupakan momen penting untuk menguji akuntabilitas, memastikan transparansi, dan menyempurnakan tata kelola pengadaan barang/jasa di lingkungan pemerintah. Pokja, sebagai entitas teknis yang memegang peran vital dalam proses pengadaan, seyogianya memandang proses ini sebagai peluang untuk menunjukkan bahwa mereka bekerja berdasarkan regulasi, logika administratif, dan itikad baik.

Hal pertama yang harus disadari adalah bahwa tidak semua pemanggilan berarti ada kesalahan atau dugaan pelanggaran pidana. Sering kali, APH hanya ingin memperkuat pemahaman atas kronologi tender, memperjelas alasan penetapan pemenang, atau mengonfirmasi dokumen-dokumen kritis dalam proses pemilihan penyedia. Dalam konteks ini, persiapan dokumentasi yang lengkap, jawaban yang konsisten, serta koordinasi internal yang solid akan menjadi pembeda antara lembaga yang siap diaudit dan yang tidak.

Selanjutnya, panggilan ini menjadi cermin bagi Pokja dalam melihat apakah semua prosedur selama ini telah dijalankan sebagaimana mestinya. Jika ternyata ditemukan celah administratif, kekurangan dokumentasi, atau potensi bias dalam penilaian, maka tanggapan terbaik adalah dengan menyusun rencana perbaikan dan melakukan koreksi sistemik. Bukan justru mencari kambing hitam atau menyalahkan prosedur yang belum dipahami secara menyeluruh. Pendekatan institutional learning inilah yang menunjukkan kematangan birokrasi dan kualitas profesionalisme Pokja.

Lebih jauh, kesiapan menghadapi pemeriksaan ini bukan hanya tanggung jawab Pokja secara individual, tetapi juga institusi secara kolektif. Harus ada sistem pendukung yang solid: pengarsipan yang baik, sistem manajemen kontrak berbasis IT, SOP yang terbarui, serta pelatihan reguler untuk peningkatan kapasitas anggota Pokja. Tanpa infrastruktur kelembagaan yang mendukung, Pokja akan mudah terjebak pada praktik administratif yang rawan dipersoalkan di kemudian hari.

Akhirnya, integritas menjadi elemen kunci. Dengan memegang teguh prinsip integritas-yakni bekerja jujur, adil, dan tidak berpihak-Pokja dapat menjaga diri dari berbagai bentuk intervensi maupun jebakan moral dalam pengadaan. Integritas pula yang akan membuat setiap keputusan teknis dapat dipertanggungjawabkan secara hukum maupun etika publik. Pengadaan bukan sekadar prosedur administratif, tetapi bagian dari tanggung jawab moral atas penggunaan uang negara.

Karena itu, saat panggilan dari APH datang, jangan panik. Buka dokumen, buka komunikasi, dan buka hati untuk belajar. Pemeriksaan adalah bagian dari mekanisme checks and balances yang justru akan menguatkan peran Pokja jika dijalani dengan persiapan, keterbukaan, dan profesionalisme. Pada akhirnya, yang diuji bukan hanya kebenaran dokumen, tetapi juga kualitas tata kelola dan komitmen pelayanan publik.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *