Risiko Hukum Akibat Kesalahan Evaluasi

1. Pendahuluan

Evaluasi penawaran-baik administrasi, teknis, maupun harga-merupakan tulang punggung proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Melalui proses inilah Pokja (Kelompok Kerja Pemilihan) memutuskan siapa penyedia terpilih, atas dasar kriteria yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pemilihan. Namun apabila terjadi kekeliruan serius dalam evaluasi-baik yang disebabkan oleh kelalaian, kurangnya pemahaman regulasi, atau bahkan intervensi pihak ketiga-berbagai risiko hukum dapat mengintai. Mulai dari sanggahan administratif, temuan audit, tuntutan perdata, hingga proses pidana atas dugaan korupsi atau kolusi.

2. Landasan Hukum Evaluasi Pengadaan

Evaluasi penawaran dalam pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan proses krusial yang harus dijalankan berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Ketepatan, objektivitas, dan akuntabilitas dalam menilai dokumen administrasi, teknis, dan harga dari peserta tender merupakan refleksi langsung dari kualitas tata kelola pengadaan suatu instansi. Maka dari itu, pemerintah telah menetapkan sejumlah regulasi yang menjadi landasan hukum bagi Pokja Pemilihan dalam melaksanakan tugas evaluasi secara profesional dan bebas dari tekanan.

2.1. Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 beserta Perubahannya

Pasal 47 Perpres 16/2018 menyebutkan bahwa Pokja Pemilihan memiliki kewajiban untuk melakukan evaluasi penawaran berdasarkan kriteria dan tata cara yang ditentukan dalam Dokumen Pemilihan. Artinya, Pokja tidak boleh menambah, mengurangi, atau menafsirkan secara sepihak kriteria penilaian selama proses berlangsung. Penilaian harus merujuk secara ketat pada hal-hal yang telah diumumkan sejak awal-misalnya, persyaratan administrasi (izin usaha, NPWP, SBU), teknis (spesifikasi barang, metodologi pelaksanaan), dan harga (rincian biaya, kewajaran harga terhadap HPS).

Kemudian, Pasal 62 Perpres 16/2018 mempertegas bahwa seluruh proses pengadaan harus memegang teguh enam prinsip dasar, yaitu: efisien, efektif, transparan, bersaing, adil, dan akuntabel. Prinsip ini bukan hanya etika kerja, tetapi menjadi filter hukum apabila suatu tindakan dalam pengadaan dipersoalkan oleh pihak internal maupun eksternal. Jika evaluasi dilakukan tanpa memperhatikan transparansi dan keadilan, maka besar kemungkinan proses tersebut akan digugat, dibatalkan, atau bahkan menjadi pintu masuk penyelidikan oleh aparat penegak hukum.

2.2. Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP)

Sebagai lembaga teknis yang mengatur operasionalisasi Perpres Pengadaan, LKPP mengeluarkan berbagai Peraturan Lembaga (Perlem) yang lebih detail dalam mengatur tahapan pengadaan. Dua di antaranya yang relevan dengan evaluasi adalah Perlem LKPP No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa melalui Penyedia dan Perlem No. 12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Secara Elektronik.

Peraturan-peraturan ini menjelaskan tentang tata cara penggunaan sistem elektronik (SPSE), bagaimana rubrik teknis harus dikembangkan berdasarkan parameter objektif, serta bagaimana bobot penilaian antara teknis dan harga disesuaikan dengan kompleksitas pengadaan. Misalnya, dalam metode Quality and Cost Based Selection (QCBS), bobot teknis bisa lebih tinggi (misalnya 70:30) dibanding harga, untuk menjaga kualitas pengadaan yang kompleks seperti IT atau infrastruktur strategis.

Kegagalan Pokja dalam mematuhi prinsip dan prosedur tersebut akan membuka potensi risiko hukum. Penyedia yang merasa dirugikan dapat mengajukan sanggahan kepada Pokja, bahkan melanjutkan ke gugatan Tata Usaha Negara (PTUN) jika keputusan dinilai melanggar hukum administrasi. Dalam kasus-kasus yang lebih berat, seperti jika terdapat unsur kesengajaan mengarahkan pemenang, Kejaksaan atau KPK dapat memulai proses pidana atas dugaan korupsi, kolusi, atau penyalahgunaan wewenang.

Dengan demikian, pemahaman yang kokoh terhadap kerangka regulasi menjadi tameng pertama Pokja dalam menjalankan evaluasi yang tidak hanya profesional, tetapi juga tahan uji di hadapan hukum.

3. Jenis Kesalahan Evaluasi yang Umum Terjadi

Dalam praktik pengadaan, terdapat berbagai jenis kesalahan yang umum dilakukan oleh Pokja Pemilihan, baik yang terjadi karena faktor kelalaian administratif, kesalahan dalam penerapan metode evaluasi, ketidaktepatan dalam menilai kewajaran harga, hingga adanya intervensi atau konflik kepentingan. Semua bentuk kesalahan ini berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum serius apabila tidak ditangani dengan benar.

3.1. Kelalaian Administratif

Kelalaian ini sering muncul pada tahap awal evaluasi, terutama ketika Pokja kurang cermat dalam memverifikasi dokumen legalitas dan kelengkapan administrasi dari peserta. Contohnya, Pokja tidak memeriksa secara menyeluruh SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan), NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), SBU (Sertifikat Badan Usaha) atau dokumen pendukung lain seperti akta pendirian perusahaan dan perubahannya.

Selain itu, ada pula kelalaian dalam menyusun berita acara hasil evaluasi secara lengkap dan terstruktur. Jika berita acara tidak memuat penjelasan yang rinci tentang alasan kelulusan atau gugurnya peserta, maka saat terjadi sanggahan, Pokja akan kesulitan memberikan justifikasi yang kuat.

Kelalaian administratif seperti ini bisa memunculkan dugaan favoritisme atau diskriminasi, bahkan bila tidak ada niat jahat di baliknya. Ini menjadi celah hukum yang bisa dimanfaatkan peserta yang kalah untuk menggugat proses.

3.2. Kesalahan Teknis

Kesalahan teknis biasanya terjadi saat Pokja tidak menerapkan rubrik penilaian teknis secara konsisten atau melakukan penilaian berdasarkan persepsi subyektif. Misalnya, dalam penilaian kualitas metodologi pelaksanaan, Pokja memberikan skor tinggi kepada peserta A tanpa dokumen pendukung yang kuat, sementara peserta B dengan dokumen lebih lengkap justru mendapat skor rendah.

Kesalahan lainnya adalah tidak adanya pembobotan yang proporsional antara aspek teknis dan harga. Misalnya, untuk pengadaan IT berbasis cloud, bobot harga terlalu dominan, sehingga penyedia yang menawarkan harga murah tetapi kualitas layanan buruk bisa menang. Ini mencederai prinsip value for money.

Selain itu, ada juga kasus di mana Pokja tidak menyusun kriteria teknis secara kuantitatif, sehingga ruang penilaian menjadi terlalu subjektif. Hal ini berpotensi dipersoalkan dalam audit atau gugatan hukum karena membuka celah ketidakadilan.

3.3. Kesalahan Evaluasi Harga

Evaluasi harga yang bermasalah biasanya berasal dari penetapan HPS yang tidak realistis. Jika HPS terlalu rendah, maka penawaran yang layak secara teknis akan terlihat mahal dan bisa tergugurkan. Sebaliknya, jika HPS terlalu tinggi dan tidak diverifikasi dengan survei pasar, maka pemenang tender bisa saja menikmati keuntungan tidak wajar, yang berujung pada kerugian negara.

Kesalahan lain adalah proses negosiasi harga yang tidak terdokumentasi dengan baik, atau bahkan dilakukan secara informal. Misalnya, Pokja menyepakati penurunan harga melalui komunikasi WhatsApp tanpa berita acara resmi. Ini menjadi titik lemah dalam audit dan bisa ditafsirkan sebagai pelanggaran integritas proses.

3.4. Konflik Kepentingan dan Intervensi

Kesalahan paling serius adalah ketika proses evaluasi dikotori oleh konflik kepentingan. Contoh klasiknya adalah salah satu anggota Pokja memiliki hubungan afiliasi dengan peserta tender, baik sebagai pemegang saham, kerabat, atau pernah bekerja di perusahaan tersebut.

Selain itu, intervensi juga sering muncul dari pihak luar seperti pimpinan instansi, pejabat politik, atau bahkan penyedia yang mencoba “melobi” secara informal. Ketika Pokja mengubah hasil evaluasi karena tekanan, maka bukan hanya proses yang cacat, tapi juga bisa menjadi dasar penyelidikan pidana karena merugikan keuangan negara.

Setiap jenis kesalahan evaluasi ini-baik yang terjadi karena ketidaktahuan, ketidaksengajaan, atau kesengajaan-berpotensi menjadi awal dari temuan BPK, laporan APIP, gugatan PTUN, atau proses hukum pidana oleh Kejaksaan dan KPK.

4. Risiko Hukum

Kesalahan dalam proses evaluasi pengadaan barang/jasa tidak hanya berdampak pada kualitas hasil pengadaan, tetapi juga berisiko menimbulkan konsekuensi hukum yang serius bagi para pelaksananya, terutama Pokja Pemilihan. Risiko ini muncul karena setiap tahapan dalam proses pengadaan, termasuk evaluasi, memiliki dasar hukum yang tegas. Ketika terjadi penyimpangan-baik yang disengaja maupun karena kelalaian-maka individu maupun institusi yang terlibat dapat dikenai pertanggungjawaban secara administratif, perdata, pidana, maupun reputasional. Berikut ini adalah rincian jenis-jenis risiko hukum yang dapat dihadapi:

4.1. Risiko Administratif

Risiko pertama dan paling sering muncul adalah risiko administratif, yaitu konsekuensi yang timbul akibat pelanggaran prosedur pengadaan berdasarkan aturan normatif yang berlaku. Kesalahan ini biasanya ditemukan melalui mekanisme sanggahan, audit internal, atau pengawasan eksternal dari lembaga pengawas seperti BPK dan BPKP.

  • Sanggahan dan Banding: Jika peserta tender merasa bahwa proses evaluasi tidak dilakukan secara objektif atau terjadi ketidaksesuaian dengan dokumen pemilihan, mereka berhak mengajukan sanggahan. Jika sanggahan dinilai benar, maka tender bisa dibatalkan dan harus diulang. Proses ini tidak hanya menunda pelaksanaan proyek, tetapi juga dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap profesionalisme Pokja.
  • Temuan Audit BPK/BPKP: Aparat pengawas eksternal seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memiliki kewenangan untuk melakukan audit atas pengadaan. Jika dalam audit ditemukan adanya pelanggaran dalam evaluasi-misalnya ketidaksesuaian antara dokumen penilaian dan hasil akhir-maka auditor dapat merekomendasikan sanksi administratif, seperti teguran, mutasi, atau penghapusan tunjangan kinerja.

Administrasi yang bermasalah membuka pintu bagi risiko hukum yang lebih tinggi jika tidak segera diperbaiki atau jika terdapat unsur kesengajaan.

4.2. Risiko Perdata

Risiko hukum berikutnya adalah risiko perdata, yakni konsekuensi hukum yang melibatkan tanggung jawab ganti rugi sebagai akibat dari tindakan melawan hukum secara administratif. Dalam konteks pengadaan, hal ini biasanya terkait dengan keputusan Pokja yang dinilai telah melanggar hak hukum dari peserta tender.

  • Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN): Penyedia yang merasa dirugikan atas keputusan hasil evaluasi, terutama penetapan pemenang, dapat menggugat keputusan tersebut ke PTUN. Jika pengadilan memutuskan bahwa keputusan penunjukan pemenang tidak sah, maka keputusan tersebut dapat dibatalkan. Selain itu, instansi juga dapat diwajibkan melakukan tender ulang atau bahkan membayar ganti rugi apabila penyedia mampu membuktikan kerugian yang ditimbulkan secara langsung.
  • Tanggung Jawab Pribadi: Dalam beberapa kasus, apabila terbukti bahwa anggota Pokja melakukan kelalaian berat, maka yang bersangkutan dapat digugat secara perdata atas dasar perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara. Gugatan ini dapat diajukan oleh penyedia, masyarakat, atau lembaga pengawas lainnya. Hal ini menjadi penting karena Pokja sebagai individu ASN tidak sepenuhnya berlindung di balik institusi; ketika tanggung jawab pribadi bisa dibuktikan, pertanggungjawaban bisa melekat secara langsung.

Risiko perdata ini menunjukkan bahwa pengadaan bukan hanya aktivitas birokratik, tetapi merupakan proses hukum yang akuntabel di mata pengadilan.

4.3. Risiko Pidana

Jenis risiko hukum yang paling berat adalah risiko pidana. Risiko ini muncul ketika kesalahan dalam evaluasi mengandung unsur pidana seperti suap, gratifikasi, pemalsuan, atau kolusi. Dalam hal ini, aparat penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat melakukan penyelidikan.

  • Pasal Tindak Pidana Korupsi (UU No. 20 Tahun 2001): Apabila proses evaluasi dilakukan untuk mengarahkan pemenang tertentu dengan imbalan tertentu (uang, barang, atau jasa), maka hal ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Termasuk juga apabila Pokja menyalahgunakan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.
  • Tindak Pidana Lainnya (KUHP): Selain korupsi, tindakan seperti pemalsuan dokumen, penipuan, atau penghilangan informasi penting dalam proses evaluasi juga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana umum. Misalnya, apabila Pokja sengaja mengubah angka dalam evaluasi harga tanpa dokumentasi yang sah, ini dapat dikategorikan sebagai pemalsuan data.

Ketika risiko pidana muncul, bukan hanya sanksi administratif yang menanti, tetapi juga ancaman pidana penjara, denda besar, hingga pemecatan tidak hormat sebagai ASN. Oleh karena itu, Pokja harus sangat berhati-hati menjaga integritas selama proses evaluasi.

4.4. Risiko Reputasi

Risiko terakhir namun tidak kalah penting adalah risiko reputasi. Di era keterbukaan informasi dan pengawasan publik yang semakin luas, kesalahan evaluasi yang terungkap ke publik dapat merusak kredibilitas individu Pokja maupun instansi tempat ia bekerja.

  • Penghentian Karier dan Mutasi Paksa: ASN yang terlibat dalam kasus evaluasi bermasalah seringkali mengalami konsekuensi karier. Meski belum terbukti secara hukum, opini negatif dapat membuat instansi memindahkan atau mencopot personel Pokja dari posisi strategis. Hal ini berdampak jangka panjang pada reputasi profesional ASN tersebut.
  • Kehilangan Kepercayaan Publik: Tender yang gagal karena evaluasi bermasalah membuat masyarakat mencurigai proses pengadaan secara keseluruhan. Akibatnya, reputasi instansi sebagai pengelola keuangan negara ikut tercoreng. Dalam jangka panjang, ini bisa memicu penurunan partisipasi penyedia dan meningkatkan biaya pengadaan karena risiko reputasi yang tinggi.

Risiko reputasi sulit diukur secara kuantitatif, tetapi efeknya sangat nyata: dari kehilangan kepercayaan hingga penurunan kinerja organisasi secara keseluruhan.

5. Studi Kasus dan Preseden Hukum

Agar pemahaman tentang risiko hukum akibat kesalahan evaluasi lebih kontekstual, berikut disajikan dua studi kasus nyata yang pernah terjadi di Indonesia. Kasus-kasus ini menjadi rujukan penting untuk memahami bagaimana kesalahan evaluasi yang tampaknya sepele dapat berkembang menjadi masalah hukum serius.

5.1. Kasus PTUN Pembatalan Tender Jalan di Provinsi X

Pada tahun 2021, sebuah proyek pembangunan jembatan di salah satu provinsi di Indonesia dibatalkan melalui putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam kasus ini, salah satu peserta tender menggugat hasil evaluasi karena menganggap bahwa rubrik teknis yang digunakan Pokja tidak konsisten dengan dokumen pemilihan yang dipublikasikan.

Pengadilan menyatakan bahwa Pokja melakukan perubahan kriteria evaluasi teknis secara sepihak tanpa mengumumkannya dalam addendum resmi. Akibatnya, keputusan penunjukan pemenang dibatalkan, dan instansi diwajibkan melakukan tender ulang. Imbasnya, proyek tertunda selama 8 bulan, dan instansi harus mengeluarkan anggaran tambahan untuk proses ulang, termasuk biaya publikasi, klarifikasi ulang, dan evaluasi ulang. Selain kerugian anggaran, proyek menjadi sorotan publik karena dinilai tidak profesional.

5.2. Kasus Pidana Pengadaan Alkes di Kabupaten Y

Salah satu kasus pidana besar yang menjadi perhatian nasional terjadi pada pengadaan alat kesehatan di Kabupaten Y. Dalam kasus ini, anggota Pokja diketahui menerima gratifikasi dari salah satu penyedia yang diikutsertakan dalam proses tender. Gratifikasi diberikan sebagai imbalan untuk “mengatur” hasil evaluasi teknis agar penyedia tersebut memperoleh skor tertinggi dan akhirnya memenangkan tender.

KPK kemudian mengusut kasus ini dan berhasil membuktikan adanya komunikasi dan transaksi keuangan antara penyedia dan anggota Pokja. Selain dijatuhi hukuman pidana penjara, pelaku juga diwajibkan mengembalikan uang negara serta dikeluarkan secara tidak hormat dari status ASN. Kasus ini menjadi pelajaran besar bahwa integritas Pokja adalah elemen vital yang tidak bisa ditawar dalam proses evaluasi pengadaan.

6. Strategi Mitigasi dan Best Practices

Menghindari risiko hukum dalam evaluasi pengadaan bukanlah sekadar soal menjaga kehati-hatian, tetapi menuntut strategi sistematis dan budaya kerja berbasis tata kelola yang baik. Pokja sebagai ujung tombak pelaksana evaluasi harus memiliki pedoman kerja yang terstruktur, berbasis bukti, serta diperkuat dengan sistem pengendalian internal. Berikut adalah serangkaian strategi mitigasi yang telah terbukti efektif:

6.1. Pelatihan Berkala

Salah satu akar dari kesalahan evaluasi adalah kurangnya pemahaman mendalam terhadap regulasi yang terus berkembang. Karena itu, Pokja harus secara rutin mengikuti pelatihan, baik yang diselenggarakan oleh LKPP, inspektorat internal, maupun lembaga pelatihan resmi lainnya. Materi pelatihan tidak cukup hanya mencakup teori evaluasi, tetapi juga studi kasus, simulasi proses evaluasi nyata, serta pembahasan yurisprudensi dari kasus hukum sebelumnya. Dengan pelatihan yang konsisten, kompetensi teknis Pokja akan terjaga dan risiko kesalahan akan menurun secara signifikan.

6.2. Checklist Evaluasi dan Rubrik Teknis

Setiap proses evaluasi harus dilandasi oleh standar operasional prosedur (SOP) dan rubrik penilaian teknis yang jelas. Rubrik ini harus mencantumkan indikator penilaian yang terukur, berbobot, dan dapat dijustifikasi dengan bukti. Checklist evaluasi juga menjadi alat bantu wajib untuk memastikan bahwa tidak ada aspek yang terlewat, terutama dalam hal verifikasi administrasi, teknis, maupun harga. Checklist yang baik disusun berbasis pasal-pasal dalam dokumen pemilihan dan disetujui lintas tim Pokja sebelum digunakan.

6.3. Audit Internal Rutin oleh APIP

Agar proses evaluasi tidak hanya akurat tetapi juga akuntabel, perlu keterlibatan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Tim APIP dapat melakukan audit paralel secara berkala, mengawasi proses pengadaan dari hulu ke hilir, termasuk tahapan evaluasi. Audit internal yang sifatnya preventif dapat mendeteksi ketidaksesuaian sejak dini sebelum menjadi temuan BPK atau bahkan menjadi kasus hukum yang lebih serius.

6.4. Dokumentasi Lengkap dan Rinci

Dokumen hasil evaluasi bukan sekadar formalitas administratif, tetapi menjadi alat bukti hukum utama ketika ada sanggahan, gugatan, atau penyelidikan. Oleh karena itu, setiap keputusan skor, diskualifikasi, klarifikasi, dan perbandingan antarpenyedia harus dijelaskan secara tertulis dalam Berita Acara Hasil Pengadaan (BAHP). Bukti lain seperti surat klarifikasi, rekaman rapat (jika ada), serta tangkapan layar e‑procurement perlu disimpan dalam repositori khusus yang rapi dan mudah diakses.

6.5. Sistem e-Procurement dan Audit Trail

Sistem pengadaan elektronik (SPSE) yang digunakan instansi harus dimaksimalkan, terutama fitur audit trail otomatis yang mencatat waktu unggah dokumen, siapa yang mengakses, kapan dokumen diperiksa, dan sebagainya. Dengan sistem ini, manipulasi dokumen hampir mustahil dilakukan tanpa terekam. Keamanan digital juga harus diperkuat dengan backup server, enkripsi, dan hak akses terbatas, agar data evaluasi tetap terlindungi dan terverifikasi keasliannya.

7. Rekomendasi Penegakan Kualitas Evaluasi

Untuk memastikan bahwa evaluasi tidak hanya benar secara administratif, tetapi juga berkualitas dan kredibel, diperlukan upaya berkelanjutan dalam penguatan sistem dan budaya kerja. Beberapa langkah konkret yang bisa diterapkan adalah sebagai berikut:

7.1. Penguatan SOP Evaluasi

SOP yang digunakan oleh Pokja tidak boleh bersifat statis. Seiring dengan perubahan regulasi nasional (misalnya terbitnya Perlem baru dari LKPP), maka SOP internal juga harus diperbarui secara berkala. SOP yang baik mencakup skenario pengelolaan sanggahan, klarifikasi evaluasi, dan langkah-langkah menghadapi kendala dalam proses tender. SOP juga harus membedakan antara evaluasi barang, jasa konsultansi, pekerjaan konstruksi, dan pengadaan lainnya agar tidak terjadi generalisasi yang keliru.

7.2. Kode Etik Pokja

Evaluasi yang jujur dan objektif harus dibentengi dengan kode etik yang mengikat, tidak hanya secara moral tetapi juga secara administratif. Kode etik Pokja harus menegaskan larangan konflik kepentingan, penerimaan hadiah atau gratifikasi, serta interaksi informal dengan penyedia. Penandatanganan Pakta Integritas tidak cukup jika tidak disertai dengan penegakan yang jelas dan konsisten. Oleh karena itu, pengawasan internal dan whistleblower mechanism harus menjadi bagian dari implementasi kode etik.

7.3. Saluran Whistleblowing Aman

Intervensi dan pelanggaran evaluasi sering kali diketahui oleh rekan satu tim atau pejabat internal lainnya, tetapi tidak dilaporkan karena takut akan balasan atau hilangnya posisi. Oleh karena itu, instansi perlu menyediakan saluran pengaduan rahasia (whistleblowing system) yang benar-benar aman, baik secara teknologi maupun manajemen. LKPP, APIP, dan Inspektorat harus menjadi kanal yang dipercaya dan responsif terhadap laporan semacam ini.

7.4. Evaluasi Kinerja Pokja (Post-Mortem Review)

Setiap paket pengadaan yang telah selesai harus dievaluasi melalui forum post-mortem, untuk melihat apakah proses evaluasi telah berjalan baik. Review dilakukan oleh tim pengawas atau internal control, dengan fokus pada apakah hasil evaluasi konsisten, didokumentasikan dengan baik, dan menghasilkan kontrak yang sesuai dengan tujuan pengadaan. Evaluasi ini bisa digunakan sebagai alat ukur kinerja Pokja, sebagai bahan promosi, rotasi, atau pembinaan.

Melalui penerapan rekomendasi ini, kualitas evaluasi tidak hanya akan meningkat, tetapi juga akan melahirkan budaya pengadaan yang benar-benar profesional, efisien, dan bebas dari risiko hukum.

8. Kesimpulan

Evaluasi dalam pengadaan barang/jasa bukan sekadar proses administratif, melainkan titik krusial yang menentukan apakah pengadaan menghasilkan barang/jasa yang berkualitas dan berdaya guna, atau justru berujung pada kegagalan, sanggahan, atau bahkan proses hukum.

Kesalahan evaluasi, baik yang dilakukan karena ketidaktahuan, kelalaian, atau karena tekanan dan intervensi, dapat menimbulkan berbagai konsekuensi hukum, mulai dari sanksi administratif, gugatan perdata di PTUN, hingga proses pidana yang melibatkan Kejaksaan atau KPK. Bahkan kesalahan yang tampak teknis, seperti bobot penilaian yang tidak konsisten atau klarifikasi yang tidak didokumentasikan, bisa berkembang menjadi dugaan kolusi jika tidak ditangani dengan baik.

Untuk itu, anggota Pokja harus menjadikan integritas, kehati-hatian, dan transparansi sebagai pondasi utama dalam melaksanakan tugas evaluasi. Setiap keputusan harus dapat dijelaskan dan dipertanggungjawabkan, baik kepada atasan, masyarakat, maupun hukum.

Mitigasi risiko hukum dapat dilakukan melalui pelatihan berkala, penguatan SOP, dokumentasi lengkap, penggunaan sistem e-procurement yang andal, hingga pengawasan internal oleh APIP. Namun yang paling penting adalah menanamkan kesadaran bahwa pengadaan bukan hanya soal harga dan pemenang, tetapi soal amanah, keadilan, dan keberlanjutan pelayanan publik.

Pada akhirnya, pengadaan yang bersih dan akuntabel bukanlah target ideal semata, melainkan keharusan dalam tata kelola pemerintahan modern. Dan itu semua bermula dari proses evaluasi yang sahih, profesional, dan bebas dari cela.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *