1. Pendahuluan
Evaluasi penawaran dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan tahap krusial yang menjadi dasar penetapan pemenang tender. Baik pada aspek administratif, teknis, maupun harga, evaluasi harus dilakukan secara cermat, objektif, dan transparan. Namun, kesalahan evaluasi-baik yang timbul dari kelalaian, kurangnya pemahaman regulasi, maupun tekanan eksternal-dapat menimbulkan konsekuensi hukum serius. Risiko hukum tersebut mencakup sanksi administratif, gugatan perdata, hingga proses pidana atas dugaan korupsi atau penyalahgunaan wewenang.
2. Landasan Hukum Evaluasi Pengadaan
Evaluasi merupakan inti dari proses pemilihan penyedia dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Setiap langkah evaluasi harus dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas sebagai rambu utama. Ketika evaluasi dilakukan secara tidak sah atau menyimpang dari regulasi, hasil pengadaan menjadi rentan dibatalkan, digugat, bahkan diperkarakan secara pidana. Oleh karena itu, penting bagi Pokja untuk memahami landasan hukum yang mengatur proses evaluasi agar setiap keputusan memiliki legitimasi yang kuat.
2.1. Perpres No. 16 Tahun 2018 dan Perubahannya (Perpres No. 12 Tahun 2021)
Peraturan Presiden ini adalah regulasi utama dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Dalam konteks evaluasi, ada dua pasal yang sangat penting:
- Pasal 47 menyatakan bahwa Pokja wajib melakukan evaluasi penawaran berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pemilihan. Ini berarti bahwa Pokja tidak diperkenankan untuk menambahkan, mengubah, atau mengabaikan kriteria evaluasi di luar yang sudah tercantum sejak awal. Evaluasi harus bersifat objektif, terukur, dan berbasis dokumen. Setiap bentuk penyimpangan dari dokumen pemilihan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran serius.
- Pasal 62 menegaskan bahwa proses pengadaan harus menjunjung tinggi enam prinsip utama: efisiensi, efektivitas, transparansi, persaingan sehat, keadilan, dan akuntabilitas. Evaluasi yang tidak sesuai prinsip tersebut-misalnya bersifat diskriminatif, subjektif, atau tidak terdokumentasi-dapat dianggap sebagai pelanggaran administratif atau bahkan korupsi dalam konteks lebih berat.
2.2. Peraturan LKPP (Perlem No. 9 Tahun 2020 dan Perlem No. 12 Tahun 2021)
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) sebagai otoritas teknis pengadaan telah menerbitkan peraturan pelaksana (Perlem) yang menjabarkan secara rinci tata cara evaluasi, terutama dalam pengadaan elektronik. Beberapa poin penting:
- Perlem No. 9/2020 mengatur secara teknis tata cara evaluasi dalam pengadaan secara elektronik, termasuk tentang pengelolaan dokumen, validasi legalitas peserta, serta penggunaan sistem SPSE.
- Perlem No. 12/2021 memperkenalkan bobot evaluasi teknis dan harga secara proporsional, terutama untuk metode evaluasi kualitas dan biaya. Di sini ditetapkan pentingnya penggunaan rubrik teknis yang jelas dan terdokumentasi sejak awal dalam Dokumen Pemilihan.
LKPP juga mendorong penggunaan sistem elektronik (e-procurement) untuk menjamin integritas data, menyediakan audit trail, serta memperkuat transparansi dan akuntabilitas. Pokja yang mengabaikan sistem ini dapat dianggap lalai, apalagi jika hasil evaluasi tidak didukung oleh rekam jejak elektronik yang sah.
2.3. Konsekuensi Ketidakpatuhan terhadap Regulasi
Pelanggaran terhadap prinsip dan ketentuan evaluasi berakibat hukum yang tidak bisa dianggap enteng. Beberapa risiko yang dapat muncul:
- Sanggahan Administratif: Penyedia yang merasa dirugikan dapat mengajukan sanggahan yang jika terbukti sah, akan memaksa Pokja membatalkan hasil tender dan mengulang proses dari awal. Ini tidak hanya menunda waktu pelaksanaan proyek, tetapi juga merusak reputasi institusi.
- Audit Eksternal oleh BPK atau BPKP: Lembaga pemeriksa ini dapat menilai proses pengadaan sebagai tidak wajar dan menyarankan sanksi administratif, bahkan pengembalian kerugian negara jika ada unsur kerugian.
- Gugatan PTUN: Penyedia yang dirugikan dapat menggugat hasil tender ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Bila hakim menyatakan hasil tender cacat hukum, maka keputusan penetapan pemenang bisa dibatalkan.
- Proses Pidana oleh APH: Jika evaluasi disertai dengan indikasi penyimpangan seperti suap, gratifikasi, atau manipulasi data, maka Pokja bisa dijerat dengan pidana berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi.
Dengan memahami landasan hukum ini secara utuh, Pokja dapat menjaga proses tetap dalam koridor hukum dan melindungi dirinya dari risiko hukum yang serius.
3. Jenis Kesalahan Evaluasi yang Umum Terjadi
Kesalahan dalam evaluasi bisa bersumber dari banyak faktor: kurangnya pelatihan, tekanan dari pihak tertentu, atau bahkan ketidaktelitian dalam membaca dokumen peserta. Namun, apapun penyebabnya, setiap kekeliruan dapat berakibat hukum. Berikut jenis-jenis kesalahan evaluasi yang umum ditemukan di lapangan:
3.1. Kelalaian Administratif
Jenis kesalahan ini muncul karena kurangnya ketelitian dalam memeriksa kelengkapan dan validitas dokumen administratif peserta. Contohnya:
- Verifikasi Dokumen Tidak Dilakukan: Pokja tidak meneliti masa berlaku SIUP, NPWP, SBU, TDP, dan dokumen legalitas lainnya, atau hanya melakukan verifikasi secara sepintas tanpa memastikan validitas di situs resmi lembaga penerbit dokumen.
- Berita Acara Tidak Memadai: Pokja tidak mencatat alasan objektif saat menyatakan peserta gugur atau lulus administrasi. Akibatnya, ketika peserta menggugat, Pokja tidak punya dasar kuat untuk membela keputusannya.
Kelalaian administratif seperti ini dapat menimbulkan sanggahan atau bahkan tuduhan manipulasi dokumen jika terbukti bahwa peserta yang seharusnya tidak lulus malah diberi kelulusan.
3.2. Kesalahan Teknis
Kesalahan teknis mencakup kekeliruan dalam menilai aspek substansi pekerjaan yang ditawarkan peserta, seperti metodologi pelaksanaan, jadwal pelaksanaan, spesifikasi teknis, atau pengalaman kerja. Beberapa contohnya:
- Rubrik Tidak Konsisten: Rubrik penilaian teknis yang digunakan dalam evaluasi tidak sesuai dengan yang diumumkan dalam Dokumen Pemilihan. Misalnya, aspek “kemampuan inovasi teknologi” diberikan skor tinggi padahal tidak disebut dalam kriteria evaluasi awal.
- Penilaian Subyektif: Skor diberikan tanpa dasar pembanding atau bukti yang sah. Pokja hanya menyatakan “metode kerja peserta A lebih baik dari B” tanpa menyertakan indikator atau referensi objektif.
- Bobot Penilaian Tidak Proporsional: Dalam paket pekerjaan yang bersifat teknis tinggi (misalnya sistem IT senilai miliaran rupiah), Pokja tetap menggunakan bobot evaluasi 50:50 antara teknis dan harga. Hal ini tidak sesuai prinsip substansi pekerjaan dan membuka celah untuk penawaran murah dengan kualitas rendah.
Kesalahan teknis ini sering menjadi akar gugatan ke PTUN karena dianggap tidak profesional atau menyimpang dari prosedur.
3.3. Kesalahan Evaluasi Harga
Evaluasi harga harus dilakukan dengan perhitungan cermat dan basis data yang kuat, terutama menyangkut HPS. Kesalahan berikut sering ditemukan:
- HPS Tidak Akurat: HPS yang disusun asal-asalan (tanpa survei pasar yang layak) menyebabkan seluruh penawaran dianggap overprice atau underprice. Hal ini sering menyebabkan tender gagal atau hasil evaluasi digugat.
- Negosiasi Tak Terdokumentasi: Dalam metode evaluasi nilai terendah atau biaya terendah, negosiasi harga seharusnya dilakukan secara tertulis dan dituangkan dalam berita acara resmi. Namun seringkali hanya dilakukan lisan, tanpa bukti sah.
Akibatnya, Pokja tidak bisa membuktikan bahwa proses berjalan sesuai prosedur apabila diminta klarifikasi oleh APH atau auditor.
3.4. Konflik Kepentingan dan Intervensi
Ini adalah jenis kesalahan yang paling berbahaya karena menyentuh aspek integritas personal:
- Kepentingan Pribadi: Salah satu anggota Pokja memiliki relasi afiliasi, keluarga, atau bisnis dengan salah satu peserta tender dan tidak mengundurkan diri dari proses. Ini merupakan bentuk nyata konflik kepentingan dan melanggar etika pengadaan.
- Tekanan Eksternal: Pimpinan instansi, pejabat politik, atau calo proyek mencoba mempengaruhi keputusan dengan tekanan agar peserta tertentu diluluskan atau digugurkan. Bila Pokja tidak mendokumentasikan upaya penolakan atau tidak melaporkan intervensi, maka Pokja ikut dianggap terlibat.
Setiap bentuk intervensi yang tidak ditolak dengan tegas dan dilaporkan melalui mekanisme formal akan menjadi bumerang hukum yang membahayakan.
4. Risiko Hukum
Kesalahan dalam proses evaluasi tidak hanya berdampak administratif atau teknis semata, melainkan juga membuka ruang terhadap berbagai risiko hukum serius yang dapat menyeret Pokja sebagai individu maupun instansi sebagai penyelenggara. Risiko ini mencakup empat ranah utama: administratif, perdata, pidana, dan reputasi kelembagaan. Setiap jenis risiko memiliki konsekuensi berbeda-beda namun saling berkelindan, sehingga tidak bisa dianggap enteng.
4.1. Risiko Administratif
Risiko administratif adalah dampak hukum yang timbul dalam kerangka tata kelola pemerintahan. Kesalahan evaluasi, bahkan yang tidak disengaja, tetap dapat memicu tindakan administratif sebagai bentuk koreksi kelembagaan.
- Sanggahan dan Banding: Dalam proses tender, peserta yang dirugikan dapat mengajukan sanggahan. Jika sanggahan tersebut terbukti valid, maka Pokja terpaksa membatalkan hasil evaluasi dan melakukan proses ulang. Ini tidak hanya menunda eksekusi pekerjaan, tetapi juga berpotensi membuat anggaran tidak terserap tepat waktu. Efek domino seperti revisi DPA, perubahan timeline proyek, dan pembengkakan biaya bisa terjadi.
- Temuan Audit BPK/BPKP: Lembaga audit negara berwenang memberikan opini atas tata kelola pengadaan. Jika evaluasi dianggap menyimpang dari regulasi, BPK atau BPKP bisa mengeluarkan temuan yang diikuti dengan rekomendasi sanksi administratif terhadap anggota Pokja atau PPK. Sanksi bisa berupa teguran tertulis, pemotongan tunjangan kinerja, mutasi ke unit non-teknis, atau pembatalan tunjangan insentif.
4.2. Risiko Perdata
Kesalahan evaluasi juga bisa berujung pada gugatan hukum perdata, terutama bila penyedia merasa dirugikan secara langsung oleh tindakan Pokja.
- Gugatan ke PTUN: Keputusan penetapan pemenang yang didasarkan pada evaluasi keliru dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Bila hakim menilai bahwa proses tidak sah, maka keputusan penetapan pemenang dapat dibatalkan dan proyek pun harus ditender ulang. Di sisi lain, penyedia yang digugurkan secara tidak sah dapat menuntut pemulihan hak, bahkan ganti rugi, atas kerugian yang timbul akibat kehilangan kontrak.
- Tanggung Jawab Pribadi: Dalam kasus yang ekstrem, anggota Pokja yang dinilai lalai atau sengaja melakukan penilaian secara keliru bisa digugat secara pribadi. Meskipun jarang, pengadilan dapat menetapkan bahwa individu tersebut memiliki tanggung jawab profesional dan membebankan denda atau restitusi atas kerugian yang dialami negara atau pihak ketiga.
4.3. Risiko Pidana
Risiko pidana adalah yang paling berat dan membawa dampak jangka panjang terhadap kehidupan personal dan profesional Pokja. Kesalahan evaluasi yang melibatkan niat buruk (mens rea) dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi atau kejahatan administratif.
- Tindak Pidana Korupsi (UU No. 20/2001): Jika kesalahan evaluasi ternyata merupakan hasil dari suap, gratifikasi, atau kolusi dengan penyedia tertentu, maka pelakunya bisa dijerat Pasal 5, 11, atau 12 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukumannya sangat berat, mulai dari penjara minimal 4 tahun hingga hukuman denda miliaran rupiah.
- Pemalsuan dan Penipuan Administratif (KUHP): Bila Pokja memalsukan dokumen evaluasi, mengubah hasil skor, atau membuat Berita Acara palsu, maka bisa dijerat pasal-pasal KUHP tentang pemalsuan surat atau penipuan administrasi. Hal ini sering terjadi dalam kasus rekayasa evaluasi atau manipulasi nilai teknis untuk memenangkan peserta tertentu.
4.4. Risiko Reputasi
Meskipun tidak bersifat hukum langsung, reputasi adalah aset penting dalam pengelolaan kelembagaan. Sekali tercoreng, kredibilitas Pokja dan institusi bisa sangat sulit dipulihkan.
- Karier Terancam: ASN yang terbukti melakukan kesalahan fatal dalam evaluasi bisa dikenai sanksi kepegawaian: mulai dari penundaan kenaikan pangkat, penurunan jabatan, hingga pemberhentian tidak hormat. Bahkan jika tidak terbukti bersalah secara pidana, pencantuman nama dalam laporan audit bisa menjadi ‘catatan hitam’ dalam sistem kepegawaian.
- Turunnya Kepercayaan Publik dan Penyedia: Bila tender sering digugat, dibatalkan, atau menuai sanggahan, penyedia akan kehilangan minat untuk mengikuti proses di instansi tersebut. Hal ini berujung pada rendahnya partisipasi dalam pengadaan, kurangnya kompetisi, dan pada akhirnya turunnya kualitas barang/jasa yang diterima negara.
5. Studi Kasus dan Preseden Hukum
Untuk memahami dampak nyata dari kesalahan evaluasi, berikut dua studi kasus yang telah menjadi preseden penting dalam pengadaan:
5.1. Pembatalan Tender Jembatan di Provinsi X
Pada tahun 2021, terjadi sengketa dalam tender pembangunan jembatan senilai Rp50 miliar di Provinsi X. Salah satu peserta menggugat ke PTUN karena rubrik teknis dalam evaluasi dianggap tidak sesuai dengan Dokumen Pemilihan. Dalam persidangan terungkap bahwa Pokja menggunakan bobot baru dalam evaluasi teknis tanpa revisi resmi dokumen. PTUN menyatakan penetapan pemenang cacat hukum dan membatalkan hasil tender.
Dampaknya:
- Proyek tertunda selama 8 bulan karena proses tender ulang.
- Anggaran tidak terserap sesuai DIPA dan perlu direalokasi.
- Reputasi Dinas terkait merosot dan dipantau ketat oleh BPK.
5.2. Pidana Gratifikasi dalam Pengadaan Alat Kesehatan di Kabupaten Y
Di Kabupaten Y, terjadi kasus tindak pidana korupsi dalam pengadaan alat kesehatan senilai Rp17 miliar. Hasil penyelidikan KPK mengungkap bahwa anggota Pokja menerima gratifikasi dari vendor tertentu agar memenangkan tender. Evaluasi teknis dimanipulasi dan harga tidak dinegosiasikan sebagaimana mestinya.
Dampaknya:
- Tiga anggota Pokja divonis hukuman penjara antara 4-6 tahun.
- Kerugian negara senilai Rp3 miliar.
- Seluruh pejabat pengadaan dirotasi dan instansi diawasi KPK selama dua tahun berikutnya.
Kedua kasus di atas menjadi bukti konkret bahwa kesalahan evaluasi dapat berujung pada bencana hukum dan kelembagaan jika tidak dikelola dengan hati-hati.
6. Strategi Mitigasi dan Best Practices
Mencegah lebih baik daripada mengobati. Prinsip ini sangat relevan dalam konteks pengadaan, khususnya evaluasi. Oleh karena itu, setiap Pokja dan instansi pengguna anggaran perlu menyusun strategi mitigasi yang sistematis, berkelanjutan, dan berbasis pada prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance). Beberapa praktik terbaik yang dapat diadopsi antara lain:
Pelatihan Berkala dan Sertifikasi
- Update Regulasi: Anggota Pokja perlu mengikuti pelatihan rutin yang memutakhirkan pemahaman terhadap regulasi terbaru, termasuk perubahan metode evaluasi dan penggunaan sistem e-procurement.
- Simulasi Kasus Hukum: Dalam pelatihan, sertakan simulasi insiden nyata seperti sanggahan, gugatan PTUN, atau pemeriksaan oleh APH agar Pokja dapat memitigasi risiko dengan pendekatan faktual.
Checklist Evaluasi dan Rubrik Penilaian
- Buat SOP evaluasi yang merinci langkah-langkah mulai dari evaluasi administrasi, teknis, hingga harga.
- Gunakan rubrik terstandar yang sesuai dengan dokumen pemilihan dan disahkan sebelum proses dimulai. Rubrik ini mencakup indikator, bobot, dan metode penghitungan skor.
Audit Internal Rutin oleh APIP
- Lakukan audit berkala pada proses pengadaan, khususnya pada tahapan evaluasi yang rawan kesalahan.
- APIP dapat memberikan peringatan dini (early warning) terhadap potensi pelanggaran prosedur sebelum berkembang menjadi temuan hukum atau pidana.
Dokumentasi Lengkap dan Telusur
- Berita Acara Hasil Pengadaan (BAHP) harus mencantumkan seluruh skor, alasan evaluasi, dan catatan klarifikasi teknis secara lengkap.
- Simpan backup digital seluruh proses evaluasi, termasuk log aktivitas di SPSE, email klarifikasi, dan tangkapan layar jika diperlukan sebagai bukti audit.
Sistem e-Procurement dan Audit Trail Otomatis
- Gunakan sistem yang memiliki log aktivitas digital, agar semua proses tercatat secara real-time dan tidak bisa diubah tanpa jejak.
- Terapkan enkripsi dokumen dan pembatasan akses untuk mencegah manipulasi oleh pihak yang tidak berwenang.
- Pastikan semua anggota Pokja memahami fitur SPSE agar tidak tertipu atau salah klik yang dapat merusak proses.
Dengan penerapan strategi ini, Pokja dapat memperkuat benteng hukum dan moral dalam menjalankan proses evaluasi secara profesional dan bebas intervensi.
7. Rekomendasi Perbaikan Struktural
Menghindari kesalahan evaluasi tidak cukup hanya dengan mengandalkan kemampuan individu Pokja. Diperlukan perbaikan struktural yang bersifat sistemik agar integritas dan akurasi evaluasi dapat terjaga di seluruh siklus pengadaan. Berikut beberapa rekomendasi penting yang dapat diadopsi oleh instansi pemerintah:
7.1. Penguatan Struktur Organisasi Pokja
- Seleksi Pokja Berbasis Kompetensi: Pembentukan Pokja tidak boleh lagi hanya berdasarkan rotasi atau penugasan biasa. Setiap anggota harus lolos seleksi berbasis kompetensi pengadaan, baik melalui Sertifikat Keahlian (SKA) maupun uji pemahaman regulasi terbaru. Ini memastikan bahwa Pokja tidak hanya “tersedia”, tetapi benar-benar “siap” menjalankan evaluasi.
- Pemisahan Peran Teknis dan Legal: Dalam kasus tertentu, terutama pengadaan bernilai besar atau berisiko tinggi, Pokja perlu didampingi oleh unsur teknis (engineer, ahli barang/jasa) dan unsur legal (bagian hukum) yang terlibat dalam proses sejak awal. Pendampingan ini menghindari penilaian yang keliru akibat keterbatasan pemahaman teknis maupun hukum.
7.2. Revisi SOP Evaluasi Secara Berkala
- Standardisasi Nasional: Mendorong LKPP dan kementerian/lembaga teknis untuk menyusun template rubrik evaluasi dan SOP evaluasi yang bisa diadopsi secara nasional untuk jenis-jenis pengadaan tertentu. Hal ini mengurangi inkonsistensi antarinstansi.
- Integrasi dengan Manajemen Risiko: SOP evaluasi harus mencakup mekanisme penilaian risiko (risk scoring) terhadap setiap paket pengadaan. Semakin besar nilai dan kompleksitas paket, maka semakin ketat tahapan validasi dan audit internal yang harus dilakukan.
7.3. Optimalisasi Sistem Pengadaan Elektronik
- Kustomisasi Modul Evaluasi: Sistem SPSE saat ini perlu dikembangkan lebih lanjut agar mendukung fitur evaluasi semi-otomatis, verifikasi dokumen legalitas secara terintegrasi, dan pembatasan akses berdasarkan peran.
- Audit Trail Otomatis: Aktivitas Pokja seperti login, evaluasi, koreksi dokumen, atau penginputan skor, harus tercatat dalam log system yang tidak dapat dihapus. Ini akan menjadi perlindungan terbaik jika terjadi audit atau penyelidikan hukum.
7.4. Pendidikan Etika dan Integritas
- Pelatihan Anti-Korupsi Khusus Pokja: Setiap anggota Pokja wajib mengikuti pelatihan integritas, etika ASN, dan deteksi dini konflik kepentingan. Pelatihan ini tidak hanya berbasis teori, tetapi berbentuk simulasi tekanan (simulated intervention) agar Pokja siap menghadapi upaya intervensi secara nyata.
- Penerapan Kode Etik Pengadaan: Kode etik wajib ditandatangani oleh setiap anggota Pokja sebelum memulai proses evaluasi. Pelanggaran terhadap kode etik ini harus bisa dijatuhi sanksi tegas, baik administratif maupun disiplin ASN.
7.5. Monitoring dan Evaluasi Kinerja Pokja
- Review Pasca-Proyek: Setelah pengadaan selesai, dilakukan post-mortem review terhadap seluruh proses, termasuk penilaian terhadap akurasi evaluasi, kendala teknis, dan potensi risiko hukum yang mungkin muncul.
- Penilaian Kinerja Pokja Berbasis Output: Evaluasi kinerja Pokja tidak hanya dilihat dari selesainya proses tepat waktu, tetapi juga dari kualitas hasil pengadaan, tingkat sanggahan, dan bebasnya proses dari intervensi atau temuan hukum.
8. Kesimpulan
Evaluasi pengadaan adalah jantung dari proses pemilihan penyedia. Jika jantung ini rusak, seluruh tubuh pengadaan akan terpapar penyakit hukum yang serius. Kesalahan evaluasi, meskipun tampak sebagai persoalan administratif atau teknis, dapat membuka jalan lebar bagi risiko yang lebih berat: gugatan hukum, pidana korupsi, bahkan kehancuran reputasi kelembagaan.
Landasan hukum untuk evaluasi telah diatur secara tegas dalam Perpres 16/2018, Perlem LKPP, hingga UU Antikorupsi. Artinya, tidak ada ruang pembenaran bagi Pokja yang gagal menjalankan tugas secara profesional. Setiap tindakan, skor, dan keputusan harus berbasis pada dokumen pemilihan yang sah, dengan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan persaingan sehat yang dijaga ketat.
Dari pengalaman berbagai instansi, terbukti bahwa sanggahan administratif hingga tuntutan pidana seringkali dipicu oleh kesalahan sederhana: rubrik evaluasi tidak sesuai, dokumen tidak diverifikasi, atau klarifikasi tidak dilakukan. Kesalahan kecil ini, bila terjadi secara berulang dan tidak terdokumentasi, akan menimbulkan konsekuensi besar dan merugikan negara secara sistemik.
Namun demikian, risiko tersebut dapat diminimalkan melalui upaya yang konsisten dan menyeluruh. Mulai dari pelatihan teknis dan etika, penggunaan sistem pengadaan elektronik yang andal, hingga reformasi struktural Pokja. Penerapan SOP, audit internal, dan kode etik juga menjadi tameng yang kokoh agar evaluasi tidak hanya benar secara administratif, tetapi juga bermartabat secara hukum dan moral.
Pada akhirnya, tugas Pokja bukan hanya memilih penyedia terbaik, tetapi memastikan bahwa negara tidak memilih risiko. Profesionalisme, kehati-hatian, dan integritas bukan sekadar jargon-tetapi harga mati dalam menjaga wajah pengadaan publik.