Bagaimana Pokja Bersikap Saat Ada Intervensi?

Pendahuluan

Dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah, Pokja (Kelompok Kerja) Pemilihan sering kali dihadapkan pada tantangan non-teknis berupa intervensi eksternal maupun internal. Intervensi dapat datang dari berbagai pihak: pejabat pembuat komitmen (PPK), atasan struktural, penyedia barang/jasa, atau bahkan pihak-pihak di luar organisasi, seperti pejabat politik atau oknum tertentu yang memiliki kepentingan. Intervensi ini dapat berbentuk permintaan percepatan, penyesuaian spesifikasi mendadak, tekanan atas penetapan pemenang, atau upaya melonggarkan kualifikasi. Jika tidak dikelola dengan tepat, intervensi dapat merusak integritas pengadaan, menimbulkan risiko hukum, dan menurunkan kepercayaan publik.

1. Pengertian dan Jenis Intervensi

Dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah, intervensi merupakan salah satu bentuk gangguan eksternal maupun internal terhadap independensi dan profesionalisme Pokja (Kelompok Kerja Pemilihan). Intervensi bisa didefinisikan sebagai segala bentuk pengaruh, tekanan, atau permintaan yang ditujukan kepada Pokja agar mengubah keputusan, memperlonggar aturan, atau berpihak kepada pihak tertentu-baik secara langsung maupun terselubung.

Intervensi sangat merusak integritas proses pengadaan, karena pada dasarnya Pokja adalah lembaga ad hoc yang dibentuk untuk menjalankan proses pemilihan penyedia secara objektif, berdasarkan regulasi, dan tanpa tekanan dari pihak mana pun. Ketika Pokja tidak dapat menjalankan tugasnya secara independen, maka prinsip-prinsip pengadaan seperti efisiensi, akuntabilitas, dan kompetisi sehat menjadi terancam. Oleh karena itu, penting bagi seluruh anggota Pokja untuk mengenali bentuk-bentuk intervensi sejak awal dan membekali diri dengan pengetahuan serta prosedur untuk menyikapinya.

Berdasarkan arah dan sumber tekanan, intervensi dapat dikategorikan menjadi dua: internal dan eksternal.

1.1. Intervensi Internal

Jenis intervensi ini datang dari dalam instansi atau dari pihak yang secara struktural berada dalam lingkup otoritas organisasi:

  • Dari PPK (Pejabat Pembuat Komitmen):
    PPK bisa saja melakukan tekanan halus atau eksplisit agar Pokja mempercepat proses pemilihan demi mengejar target serapan anggaran. Dalam kasus lain, PPK mungkin meminta perubahan dalam dokumen pemilihan, misalnya pelonggaran syarat teknis agar vendor tertentu bisa lolos. Secara formal, PPK memang berwenang dalam hal penganggaran dan menetapkan HPS, namun intervensi yang mempengaruhi hasil evaluasi teknis atau administratif merupakan pelanggaran prinsip pengadaan.
  • Dari Atasan Struktural atau Pejabat Politik:
    Intervensi bisa datang dari kepala dinas, sekretaris daerah, atau bahkan kepala daerah. Mereka bisa saja memberikan “arahan” kepada Pokja agar memenangkan vendor tertentu, biasanya berdalih karena “rekomendasi pusat” atau “arahan strategis”. Sering kali, arahan ini tidak tertulis tetapi menimbulkan tekanan psikologis besar kepada anggota Pokja, terutama yang berstatus ASN dan berada dalam jalur karier struktural.

1.2. Intervensi Eksternal

Tekanan juga bisa datang dari luar sistem pemerintahan, yang umumnya bersifat transaksional atau bermuatan kepentingan pribadi/kelompok:

  • Dari Penyedia atau Tenderer:
    Intervensi bisa berupa bujukan, lobi, bahkan janji komisi kepada anggota Pokja agar memperlonggar penilaian teknis atau menutup mata terhadap kekurangan administratif. Metode pendekatan bisa sangat halus-mengajak makan siang, menawarkan bantuan operasional, atau menyisipkan “amplop ucapan terima kasih”. Di sisi lain, tekanan bisa juga berupa ancaman sanggahan palsu, laporan ke aparat penegak hukum (APH), atau ancaman kepada pribadi anggota Pokja.
  • Dari Pihak Luar Non-Tender:
    Termasuk dalam kategori ini adalah intervensi dari calo proyek, staf ahli anggota dewan, organisasi massa lokal, atau relasi pejabat. Mereka bisa membawa kepentingan vendor tertentu dan mengklaim bahwa paket pengadaan sudah “dijanjikan” atau harus diberikan ke kelompok mereka. Dalam banyak kasus, bentuk intervensi ini memanfaatkan ketakutan Pokja terhadap gangguan sosial atau laporan politis.

Intervensi tidak selalu berwujud komunikasi langsung. Banyak intervensi modern dilakukan secara terselubung: lewat chat pribadi, email tidak resmi, titipan dalam rapat koordinasi, atau bahkan catatan kecil dalam dokumen internal. Seringkali pula tekanan tidak hanya verbal, melainkan juga psikologis-seperti menunda proses mutasi ASN atau mengaitkan loyalitas dengan keberpihakan dalam tender.

Pengenalan awal terhadap bentuk-bentuk intervensi ini penting agar Pokja dapat segera mengidentifikasi, mencatat, dan mengambil sikap sesuai mekanisme resmi tanpa harus terjebak pada konflik terbuka yang merugikan karier dan lembaganya.

2. Landasan Hukum dan Etika

Setiap tindakan Pokja dalam proses pengadaan harus didasarkan pada regulasi resmi dan prinsip-prinsip etika pelayanan publik. Ketika Pokja menghadapi tekanan atau intervensi, landasan hukum dan kode etik menjadi perisai pertama dalam menolak permintaan yang tidak sah. Pokja yang memahami payung hukumnya tidak hanya bisa melindungi diri dari pelanggaran, tapi juga mendorong profesionalisme dalam pengadaan yang adil dan kompetitif.

2.1. Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018

Perpres ini merupakan rujukan utama dalam tata kelola pengadaan barang/jasa pemerintah. Dalam Pasal 4, disebutkan bahwa pengadaan harus dilaksanakan dengan mengacu pada prinsip:

  • Efisien: Menggunakan dana secara optimal tanpa pemborosan.
  • Efektif: Menghasilkan output sesuai kebutuhan pengguna.
  • Transparan: Proses dan hasil pengadaan dapat diketahui oleh semua pihak yang berkepentingan.
  • Bersaing: Memberikan peluang kepada semua penyedia untuk berkompetisi secara sehat.
  • Adil/tidak diskriminatif: Semua peserta diperlakukan sama.
  • Akuntabel: Setiap keputusan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral.

Jika terdapat tekanan agar Pokja memenangkan vendor tertentu atau mengubah hasil evaluasi tanpa dasar legal, maka tindakan itu jelas melanggar prinsip bersaing, adil, dan akuntabel. Pokja memiliki hak menolak intervensi semacam ini dengan merujuk langsung pada pasal-pasal tersebut.

2.2. Peraturan LKPP dan Surat Edaran Terkait

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) secara aktif menerbitkan pedoman dan Surat Edaran (SE) yang berisi mekanisme pencegahan intervensi dan konflik kepentingan. Misalnya:

  • Perlem LKPP No.12/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan: mewajibkan dokumentasi setiap proses, termasuk evaluasi dan klarifikasi.
  • SE LKPP tentang Pencegahan Benturan Kepentingan: melarang anggota Pokja menerima hadiah, fasilitas, atau “sinyal” apapun dari penyedia atau pihak berkepentingan.

Pokja wajib mencatat setiap komunikasi dan keputusan dalam Berita Acara atau sistem e-procurement untuk memastikan bahwa tidak ada celah bagi intervensi tersembunyi. Jika ada tekanan verbal, Pokja berhak meminta permintaan tersebut dituangkan secara tertulis-sering kali, ini menjadi “uji keberanian” karena pihak yang bermaksud menyimpang biasanya enggan membuat catatan tertulis.

2.3. Kode Etik ASN dan Regulasi Anti-Korupsi

Sebagai ASN (Aparatur Sipil Negara), sebagian besar anggota Pokja tunduk pada UU No.5 Tahun 2014 tentang ASN, yang mengharuskan setiap pegawai negara:

  • Menjunjung tinggi integritas, objektivitas, dan profesionalisme.
  • Tidak menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi.
  • Menolak segala bentuk gratifikasi dan praktik tidak etis.

Lebih lanjut, UU No.20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi menyebut bahwa:

“Setiap pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji karena melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, dianggap menerima suap dan dapat dipidana.”

Pokja yang menerima ajakan makan malam, pemberian bingkisan, atau fasilitas transportasi dari penyedia dalam masa evaluasi berisiko tinggi terkena pasal ini. Oleh karena itu, tindakan preventif seperti menolak pemberian, mencatat semua komunikasi, dan melaporkan tekanan ke atasan atau inspektorat sangat krusial untuk menjaga integritas.

3. Mekanisme Pelaporan dan Perlindungan

Ketika Pokja menghadapi intervensi, baik yang bersifat halus maupun terang-terangan, langkah penting yang harus segera dilakukan adalah melindungi integritas proses dan pribadi anggota Pokja itu sendiri. Intervensi bukan hanya ancaman terhadap transparansi pengadaan, tetapi juga terhadap karier dan keamanan hukum anggota Pokja. Oleh karena itu, sistem pelaporan dan perlindungan harus dimanfaatkan secara maksimal melalui jalur resmi yang telah tersedia. Indonesia telah memiliki sejumlah instrumen kelembagaan dan hukum untuk menangani kasus semacam ini, yang dapat digunakan oleh ASN dan anggota Pokja secara bertanggung jawab.

3.1. Satuan Pengawasan Internal Pemerintah (APIP)

Langkah pertama yang paling tepat adalah melaporkan intervensi kepada Inspektorat atau satuan pengawasan internal di kementerian, lembaga, atau pemerintah daerah masing-masing. APIP bertanggung jawab untuk melakukan audit, klarifikasi, dan jika diperlukan, audit investigatif terhadap proses pengadaan yang dicurigai mengalami penyimpangan. Laporan ke APIP sebaiknya disampaikan dalam bentuk tertulis, disertai bukti komunikasi, notulen, atau catatan informal yang menunjukkan adanya tekanan atau arahan tidak sah kepada Pokja.

Selain menjaga kerahasiaan identitas pelapor, APIP juga memiliki kewenangan untuk merekomendasikan tindakan perbaikan struktural dan memberikan jaminan kepada pelapor bahwa proses tindak lanjut berjalan dengan prinsip non-retaliasi (tanpa pembalasan).

3.2. Unit Kepatuhan dan Pengaduan LKPP

Sebagai lembaga yang mengatur dan membina sistem pengadaan nasional, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) membuka kanal pelaporan bagi dugaan pelanggaran etika dan intervensi dalam pengadaan. Melalui Sistem Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing System) yang tersedia di situs resmi LKPP, Pokja dapat melaporkan gangguan yang merusak proses pemilihan penyedia. Laporan dapat diajukan oleh siapa saja, dan LKPP berkomitmen untuk memberikan perlindungan terhadap pelapor melalui sistem kerahasiaan data yang terjamin.

Unit ini tidak hanya menindaklanjuti laporan, tetapi juga dapat mengeluarkan rekomendasi kelembagaan yang mengikat terhadap instansi yang terlapor. Dalam beberapa kasus, LKPP juga bekerja sama dengan APIP atau aparat penegak hukum (APH) untuk verifikasi lanjutan.

3.3. Whistleblower Protection

Dalam situasi yang lebih serius, terutama ketika intervensi berujung pada intimidasi, ancaman jabatan, atau bahkan tekanan fisik dan psikis, Pokja dapat meminta perlindungan melalui kerangka hukum yang lebih luas, yakni UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sebagaimana diubah dengan UU No.31 Tahun 2014.

Hukum ini memberikan perlindungan penuh kepada pelapor kasus penyimpangan, termasuk hak untuk tidak diungkap identitasnya (anonimitas), perlindungan dari mutasi yang bersifat hukuman, dan bahkan pendampingan hukum serta pemulihan nama baik. Dalam praktiknya, laporan dengan risiko tinggi dapat dikoordinasikan dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) atau aparat kepolisian.

3.4. Pendampingan Hukum

Selain perlindungan kelembagaan, Pokja juga disarankan untuk meminta pendampingan hukum, baik dari Bagian Hukum instansi maupun dari lembaga seperti Ditjen Peraturan Perundang-undangan, Kemenkumham, atau pengacara profesional yang memahami sektor pengadaan publik. Pendampingan hukum penting untuk memberikan pemahaman yang jernih terhadap batas kewenangan Pokja, ruang diskresi yang diperbolehkan, dan bentuk-bentuk intervensi yang patut ditolak secara hukum.

Dengan pendampingan yang tepat, anggota Pokja tidak hanya lebih percaya diri dalam menyikapi tekanan, tetapi juga memiliki dasar argumentatif dan yuridis yang kuat untuk menjelaskan atau membela diri dalam forum resmi, termasuk saat pemeriksaan internal atau panggilan dari APH.

4. Strategi Komunikasi dan Negosiasi

Menolak intervensi tidak selalu harus dilakukan dengan cara konfrontatif. Dalam banyak situasi, tekanan terhadap Pokja muncul tidak selalu karena niat jahat atau koruptif, melainkan bisa juga karena kurangnya pemahaman pihak lain terhadap proses pengadaan yang ketat dan terikat regulasi. Oleh karena itu, kemampuan komunikasi strategis menjadi alat yang sangat berharga bagi anggota Pokja agar dapat menyampaikan penolakan secara tegas tetapi diplomatis. Berikut adalah empat strategi yang dapat digunakan:

4.1. Penggunaan Bahasa Regulatif

Strategi pertama dan paling elegan adalah merespons setiap tekanan atau permintaan dengan bahasa regulatif, yaitu menyampaikan keberatan atau penolakan dengan merujuk langsung pada pasal-pasal dalam Perpres No.16 Tahun 2018, Perlem LKPP, dan dokumen SOP yang berlaku. Contohnya: jika diminta untuk meloloskan peserta yang tidak memenuhi syarat, Pokja dapat menyampaikan bahwa tindakan tersebut akan melanggar Pasal 4 tentang prinsip akuntabilitas dan transparansi, serta dapat dipersoalkan secara hukum oleh peserta lain.

Dengan cara ini, Pokja tidak sedang melawan secara pribadi, tetapi menunjukkan bahwa dirinya sedang melindungi sistem dan aturan yang berlaku. Bahasa regulatif akan membuat pihak yang mencoba mengintervensi berpikir ulang, karena konsekuensi hukum dan administratifnya menjadi lebih nyata dan terukur.

4.2. Mediasi Internal

Jika tekanan datang dari pihak internal seperti PPK, Kepala Unit, atau pejabat eselon lainnya, langkah strategis yang bisa diambil adalah melakukan mediasi formal dalam bentuk rapat klarifikasi yang mengundang semua pihak terkait. Dalam forum ini, Pokja bisa meminta kehadiran Inspektorat, Bagian Hukum, atau Unit Kepatuhan. Tujuannya adalah untuk membuka diskusi secara terbuka, mencatat semua pendapat, dan menyepakati bahwa semua tindakan harus berlandaskan dokumen, bukan arahan informal.

Semua proses dalam forum ini wajib didokumentasikan, baik dalam notulen resmi maupun berita acara, untuk menjadi bukti bahwa Pokja telah menyampaikan keberatan secara formal. Dokumentasi ini sangat penting apabila kelak terjadi audit, sengketa hukum, atau pemeriksaan APH.

4.3. Negosiasi Win-Win

Dalam kondisi tertentu, tidak semua permintaan dari luar bersifat koruptif. Misalnya, ada kebutuhan untuk mempercepat proses pemilihan karena ada kegiatan nasional atau bencana. Jika permintaan itu bersifat wajar dan tidak mengganggu objektivitas evaluasi, maka Pokja bisa mengadopsi prinsip negosiasi win-win.

Contohnya, Pokja bisa menyampaikan bahwa percepatan dapat dilakukan asalkan seluruh dokumen peserta lengkap sejak awal, tidak ada perubahan mendadak, dan proses evaluasi tetap dilakukan dengan uji mutu penuh. Dengan memberikan syarat-syarat objektif yang tidak melanggar regulasi, Pokja tetap menjaga integritasnya tanpa menghambat kebutuhan operasional instansi.

4.4. Komunikasi Tertulis dan Rekam Jejak

Hal yang tidak kalah penting adalah selalu menjaga rekam jejak komunikasi secara tertulis. Jika ada permintaan lisan atau arahan informal, mintalah agar permintaan tersebut disampaikan secara tertulis melalui email resmi atau notulen. Jika pihak pemberi tekanan enggan menuliskannya, itu sudah menjadi sinyal bahwa arahan tersebut tidak sah atau tidak etis.

Pokja juga disarankan untuk menyimpan semua email, dokumen revisi, tangkapan layar chat penting, serta notulen rapat dalam sistem arsip pengadaan. Langkah ini bukan hanya untuk dokumentasi administratif, tetapi juga menjadi perlindungan hukum apabila kelak terjadi pelaporan, pemeriksaan, atau audit dari APIP maupun APH.

Dengan menerapkan strategi komunikasi yang bijak, diplomatis, tetapi tetap berlandaskan regulasi, Pokja bisa menjaga marwah dan tanggung jawabnya dalam mengelola proses pengadaan yang adil dan akuntabel-tanpa memperkeruh relasi internal maupun eksternal.

5. Penerapan Prinsip Integritas dan Transparansi

Menolak intervensi bukan hanya soal menjaga keberanian moral, tetapi juga tentang bagaimana Pokja secara nyata menerapkan prinsip integritas dan transparansi dalam seluruh rangkaian proses pengadaan. Integritas berarti menjalankan tugas dengan konsisten terhadap nilai-nilai kejujuran dan profesionalisme, sedangkan transparansi menuntut agar semua proses dapat dilihat, diaudit, dan dipertanggungjawabkan oleh publik dan otoritas yang berwenang. Kedua prinsip ini merupakan tameng utama Pokja untuk menjauhkan diri dari tekanan, sekaligus menjadi dasar perlindungan bila terjadi audit atau penyelidikan hukum di kemudian hari. Penerapan prinsip-prinsip ini harus dilakukan secara konkret melalui berbagai mekanisme berikut.

5.1. Dokumentasi Lengkap dan Berita Acara yang Akurat

Langkah pertama untuk memastikan integritas proses adalah mendokumentasikan setiap aktivitas, perubahan, atau klarifikasi dalam bentuk Berita Acara Hasil Pengadaan (BAHP) atau notulen resmi. Dokumen ini tidak hanya menjadi bukti administratif, tetapi juga menjadi rekam jejak akuntabilitas yang dapat diakses oleh APIP, BPK, atau APH jika dibutuhkan.

Setiap perubahan pada dokumen pemilihan, misalnya pelonggaran kriteria teknis atau revisi HPS, harus dimasukkan dalam catatan formal yang disetujui oleh seluruh anggota Pokja dan, jika relevan, diketahui oleh PPK. Demikian pula, klarifikasi terhadap penyedia atau hasil evaluasi yang bersifat diskresioner perlu disertai justifikasi tertulis berdasarkan Perpres, Perlem LKPP, atau SOP internal. Ketika seluruh proses terdokumentasi dengan lengkap, potensi intervensi menjadi lebih sulit dilakukan karena setiap tindakan akan memiliki jejak yang dapat dipertanyakan dan diperiksa kembali.

5.2. Public Disclosure dan Keterbukaan Informasi

Selain dokumentasi internal, Pokja juga dapat menerapkan prinsip keterbukaan informasi (public disclosure) sebagai salah satu bentuk transparansi eksternal. Hal ini dilakukan dengan cara mengunggah dokumen pengadaan tertentu di website resmi instansi, seperti pengumuman pemenang tender, BAHP final, serta notulen rapat klarifikasi (tentu saja dengan menjaga informasi yang dikecualikan sesuai UU KIP).

Transparansi ini memberi sinyal kepada publik dan peserta tender bahwa proses dijalankan secara terbuka dan dapat dikritisi secara obyektif. Ini sekaligus mengurangi ruang gelap yang bisa dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk melakukan intervensi diam-diam. Ketika semua dokumen dapat dilihat, diperiksa, dan ditanggapi, maka proses tender menjadi lebih demokratis, dan potensi manipulasi akan berkurang secara signifikan.

5.3. Pembelajaran Berkelanjutan dan Pelatihan Etika

Agar prinsip integritas dapat dijalankan secara konsisten, anggota Pokja perlu diberikan pendidikan dan pembinaan berkelanjutan terkait etika pengadaan, prinsip antikorupsi, serta penanganan konflik kepentingan. Pelatihan ini tidak hanya bertujuan untuk memahami aturan secara tekstual, tetapi juga untuk memperkuat ketahanan mental dan keberanian moral saat menghadapi dilema di lapangan.

Beberapa materi yang sebaiknya diberikan secara periodik adalah:

  • Deteksi dini konflik kepentingan dalam tender,
  • Teknik dokumentasi dan komunikasi berbasis hukum,
  • Cara melaporkan intervensi secara sah,
  • Simulasi tanya-jawab APH (jika diperlukan).

Lembaga pelatihan seperti LKPP, BPKP, KPK, maupun inspektorat internal dapat dilibatkan untuk membentuk pola pikir integritas yang kuat. Jika integritas sudah menjadi budaya kerja, maka keberanian untuk menolak intervensi akan tumbuh secara alami dari dalam tim Pokja sendiri.

6. Studi Kasus dan Pembelajaran

Untuk memperkuat pemahaman mengenai bagaimana seharusnya Pokja bersikap ketika menghadapi intervensi, berikut dua studi kasus yang diangkat dari praktik nyata dan hipotetis di lingkungan pengadaan pemerintah. Setiap kasus memberikan pelajaran penting tentang keberanian, dokumentasi, dan penegakan prinsip tata kelola yang baik.

6.1. Kasus Intervensi Tender Alat Kesehatan oleh Politisi Lokal

Di sebuah provinsi, sebuah rumah sakit daerah membuka tender pengadaan alat kesehatan dengan nilai miliaran rupiah. Di tengah proses evaluasi, Pokja menerima tekanan dari seorang calon legislatif daerah yang meminta agar perusahaan tertentu-yang secara kebetulan adalah sponsor kampanyenya-dimenangkan, meskipun dokumennya tidak lengkap dan tidak memenuhi spesifikasi teknis.

Permintaan tersebut awalnya disampaikan melalui pesan pribadi dan telepon informal, kemudian diikuti dengan ancaman pencopotan jabatan bila tidak dituruti. Merasa terancam namun ingin menjaga proses tetap berjalan objektif, Pokja segera melaporkan insiden tersebut ke APIP dan Unit Kepatuhan instansi. Proses audit investigatif dilakukan, dan hasilnya menunjukkan bahwa intervensi memang nyata terjadi.

Atas rekomendasi APIP, tender dibatalkan secara administratif, lalu diulang dengan sistem keamanan komunikasi yang lebih ketat dan pengawasan langsung dari Inspektorat. Vendor bermasalah tidak diundang kembali, dan Pokja diberi apresiasi oleh pimpinan atas keberaniannya menjaga proses tetap bersih.

Pelajaran: Keberanian melapor, dukungan dokumentasi lengkap, dan penggunaan saluran resmi mampu menyelamatkan proses tender dari kemungkinan manipulasi yang bisa berujung pidana.

6.2. Kasus Permintaan Perubahan Spesifikasi oleh PPK

Dalam pengadaan jasa konstruksi di salah satu kabupaten, PPK secara langsung meminta agar Pokja melonggarkan spesifikasi teknis terkait campuran beton, karena penyedia favorit tidak mampu memenuhi mutu yang disyaratkan. Alasannya, percepatan proyek dianggap lebih penting daripada kesesuaian spesifikasi.

Pokja menanggapi permintaan ini dengan tenang, dan menggelar rapat klarifikasi bersama PPK, didampingi oleh Bagian Hukum dan Inspektorat. Dalam forum itu, Pokja menjelaskan bahwa perubahan spesifikasi hanya dapat dilakukan jika terjadi kesalahan dalam perencanaan awal atau jika terjadi force majeure, bukan karena alasan keberpihakan pada vendor tertentu.

Diskusi tercatat lengkap dalam notulen, dan Pokja tetap menjalankan tender sesuai spesifikasi awal. Meskipun sempat mendapat tekanan emosional, mereka tetap konsisten pada regulasi. Hasilnya, tender tetap berjalan, dan pemenang terpilih mampu menyelesaikan proyek tepat waktu dengan mutu yang sesuai.

Pelajaran: Klarifikasi formal, dokumentasi diskusi, dan keberanian bersandar pada regulasi membuat Pokja tetap berada dalam jalur yang sah dan profesional.

7. Rekomendasi Praktis dan SOP Anti-Intervensi

Untuk mengantisipasi dan menangani intervensi secara sistematis, perlu disusun langkah-langkah operasional yang tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga preventif. Rekomendasi ini bertujuan membangun sistem integritas kelembagaan agar Pokja tidak dibiarkan sendirian menghadapi tekanan, melainkan dilindungi oleh prosedur yang jelas, dukungan teknologi, dan ekosistem pengadaan yang sehat.

7.1. SOP Penanganan Intervensi: Langkah Tolak, Lapor, Dokumentasi

Pokja membutuhkan Standar Operasional Prosedur (SOP) khusus untuk menangani situasi intervensi. SOP ini dapat diformulasikan dengan tiga langkah inti:

  • Tolak secara regulatif: Saat menerima tekanan atau permintaan menyimpang, respons pertama yang diberikan harus berbasis regulasi. Misalnya, menolak dengan menyebut Pasal 4 Perpres 16/2018 tentang prinsip keadilan dan akuntabilitas. Ini penting untuk menunjukkan bahwa penolakan bukan karena sikap pribadi, melainkan tanggung jawab jabatan.
  • Lapor melalui saluran formal: Semua intervensi harus segera dilaporkan ke atasan langsung, Inspektorat, dan jika perlu ke LKPP melalui kanal pengaduan. Pelaporan dilakukan secara tertulis dan terekam agar tidak menjadi beban pribadi Pokja.
  • Dokumentasi bukti dan kejadian: Setiap komunikasi (email, pesan teks, rekaman rapat) perlu dicatat dan disimpan. Semua tindak lanjut harus dituangkan dalam notulen dan berita acara internal.

SOP ini juga harus di-endorsed oleh pimpinan instansi agar memiliki kekuatan eksekusi dan dapat digunakan sebagai pelindung hukum jika suatu saat terjadi tekanan yang mengarah pada penyimpangan hukum.

7.2. Audit Trail Otomatis melalui Sistem e-Procurement

Rekomendasi selanjutnya adalah mengoptimalkan fungsi audit trail otomatis dari sistem e-procurement (SPSE atau CMS internal). Audit trail adalah catatan digital yang tidak dapat diubah (immutable log) dan mencatat seluruh aktivitas dalam sistem pengadaan, termasuk:

  • Waktu dan identitas user saat mengunggah dokumen,
  • Perubahan file atau revisi dokumen pemilihan,
  • Riwayat klarifikasi dengan penyedia,
  • Riwayat login dan logout Pokja.

Dengan audit trail aktif dan dapat diakses oleh auditor, upaya intervensi menjadi sulit dilakukan secara diam-diam. Lebih jauh lagi, keberadaan sistem ini meringankan beban Pokja dalam membuktikan bahwa seluruh proses dijalankan sesuai aturan.

7.3. Forum Evaluasi Intervensi dan Diskusi Etika

Pemerintah daerah atau Kementerian/Lembaga disarankan membentuk Forum Evaluasi Intervensi yang bersifat triwulanan. Forum ini tidak bersifat represif, tetapi sebagai ajang sharing session untuk:

  • Membahas insiden tekanan atau intervensi yang pernah terjadi;
  • Mengevaluasi mekanisme respons yang dilakukan;
  • Mengkaji regulasi baru yang perlu diadopsi ke SOP internal;
  • Merumuskan pembelajaran dari pengalaman Pokja lintas unit.

Forum ini dapat dikoordinasikan oleh Bagian Pengadaan atau Inspektorat, dan hasil diskusinya didokumentasikan sebagai lesson learned untuk pembenahan sistem pengadaan secara menyeluruh.

7.4. Pelatihan Simulasi: Role-Play Penolakan Intervensi

Salah satu metode paling efektif untuk membekali Pokja menghadapi tekanan adalah dengan pelatihan berbasis simulasi (role-play). Dalam sesi ini, peserta dibagi menjadi tim, dan disimulasikan skenario tekanan dari:

  • PPK yang meminta pelonggaran evaluasi,
  • Atasan yang mengintervensi pemenang,
  • Penyedia yang menawarkan imbalan.

Peserta kemudian diminta merespons sesuai dengan prinsip hukum dan kode etik. Latihan ini bukan untuk menciptakan konfrontasi, tetapi untuk melatih ketegasan komunikatif, penggunaan pasal regulasi, dan membiasakan pencatatan setiap percakapan. Hasil dari pelatihan ini akan meningkatkan kepercayaan diri Pokja dalam menghadapi tekanan nyata.

8. Penutup

Dalam sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah, Pokja adalah aktor strategis yang berdiri di antara kebutuhan instansi dan kekuatan pasar. Mereka mengelola proses yang sangat rentan terhadap kepentingan, tekanan, dan bahkan godaan. Intervensi terhadap Pokja-baik dari dalam maupun luar-merupakan realitas yang tidak bisa dihindari sepenuhnya. Namun demikian, hal tersebut tidak lantas menjadi pembenaran untuk menyerah pada tekanan.

Intervensi adalah ujian integritas dan profesionalisme, dan cara Pokja menanggapinya akan menentukan kualitas akhir dari proses pengadaan, serta kepercayaan publik terhadap instansi tersebut. Pokja yang mampu bersikap tegas, komunikatif, dan taat regulasi tidak hanya menjaga integritas pribadi, tetapi juga berkontribusi pada terwujudnya tata kelola pengadaan yang sehat dan berkelanjutan.

Dengan pemahaman mendalam terhadap aturan hukum, penguasaan mekanisme pelaporan, serta kemampuan menjalankan komunikasi berbasis regulasi, Pokja bisa menghadapi intervensi dengan kepala tegak. Didukung oleh dokumentasi kuat, audit trail digital, dan ekosistem transparan, Pokja memiliki fondasi kokoh untuk bertahan dari tekanan yang bersifat destruktif.

Lebih dari itu, budaya transparansi dan pembelajaran organisasi perlu dibangun melalui forum evaluasi, SOP anti-intervensi, dan pelatihan integritas. Intervensi yang dilawan secara kolektif dan sistemik akan menutup celah bagi praktik manipulatif, dan membuka ruang bagi proses tender yang adil, efisien, dan benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat luas.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *