Ketika Harga Terendah Tidak Menjamin Kualitas

1. Pendahuluan

Dalam banyak proses tender, baik di sektor publik maupun swasta, harga terendah biasanya menjadi tolok ukur utama dalam memilih pemenang. Judul-judul tender dicerminkan menjadi kompetisi bertanya-siapa yang bisa menawarkan harga paling murah. Namun, harga terendah yang tampak menggiurkan sering kali menyembunyikan risiko besar dalam jangka panjang: barang cepat rusak, kualitas tak terjaga, bahkan proteksi terhadap penyedia yang tidak kompeten.

Bayangkan situasi berikut: pemerintah desa mengadakan tender pengaspalan jalan. Satu vendor menawarkan harga sangat murah-50% lebih rendah dari rata-rata-dan memenangkan tender. Tiga bulan setelah selesai, jalan penuh lubang, lapisan aspal cepat mengelupas, dan akhirnya, desa harus menganggarkan ulang untuk perbaikan mendadak. Dugaan kuat muncul bahwa spesifikasi material dikurangi, atau tenaga kerja tak kompeten digunakan demi menurunkan harga.

Contoh serupa terlihat pada pengadaan IT pusat kesehatan. Harga tender dipilih rendah, pengadaan berhasil, tetapi implementasi sistem gagal karena bug tak tertangani, server lambat, dan pelatihan tak memadai. Biaya tambahan untuk pemeliharaan, perbaikan, dan support menjadi jauh melebihi selisih harga awal.

Dari sinilah muncul pertanyaan fundamental: apakah harga terendah benar-benar indikator terbaik? Atau justru menjadi jebakan yang mahal bagi lembaga dan masyarakat? Artikel ini akan menguraikan secara mendalam fenomena “tender murah, kualitas muram”, dengan skema pembahasan:

  1. Landasan Prinsip: apa itu value for money dalam pengadaan.
  2. Mengapa perang harga mengancam: strategi peserta dan konsekuensinya.
  3. Studi kasus nyata: bukti bahwa harga terendah belum tentu hemat.
  4. Solusi strategis: bagaimana mengelola tender agar murah sekaligus berkualitas.
  5. Kesimpulan reflektif: ajakan agar stakeholder mendewakan value, bukan sekadar harga.

Memahami potensi dilema antara harga terendah dan mutu sangat penting. Karena dalam belanja publik atau korporat, prioritas bukan hanya menghemat uang, tetapi memastikan manfaat nyata bagi pengguna.

2. Landasan Prinsip Pengadaan: Harga Terendah vs Value for Money

Dalam dunia pengadaan barang/jasa pemerintah, pemahaman tentang Value for Money (VfM) bukan lagi sekadar konsep ideal, melainkan menjadi prinsip dasar yang seharusnya mengarahkan seluruh proses perencanaan hingga pelaksanaan. VfM mengedepankan outcome dan impact dari belanja publik, bukan semata angka di awal kontrak. Prinsip ini mengajak semua pelaku pengadaan untuk mempertimbangkan nilai manfaat jangka panjang atas dana yang dibelanjakan.

2.1. Definisi dan Cakupan Value for Money

Secara garis besar, Value for Money berarti mendapatkan kualitas terbaik dengan biaya yang wajar untuk tujuan yang dibutuhkan. Ini mencakup empat aspek utama: ekonomi, efisiensi, efektivitas, dan ekuitas. Artinya, barang/jasa harus:

  • Dibeli dengan harga wajar (ekonomi),
  • Disediakan dengan sumber daya seminimal mungkin (efisiensi),
  • Memberikan manfaat maksimal sesuai tujuan (efektivitas), dan
  • Tidak merugikan kelompok tertentu (ekuitas).

Berbeda dari pendekatan lowest cost, yang hanya mengejar harga terendah, VfM menekankan keseimbangan antara harga, kualitas, dan risiko. Ini penting terutama untuk proyek bernilai besar, berdampak luas, atau melibatkan teknologi tinggi.

2.2. Kerangka Regulasi di Indonesia

Dalam konteks Indonesia, Peraturan Presiden (Perpres) No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang kemudian diperbarui oleh Perpres No. 12 Tahun 2021 menjadi dasar hukum utama. Pasal 4 huruf e dengan tegas menyebut bahwa pengadaan harus dilaksanakan berdasarkan prinsip efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel. Hal ini sejalan langsung dengan filosofi VfM.

Perpres ini juga memberi ruang penggunaan metode evaluasi yang mengombinasikan aspek teknis dan harga, misalnya:

  • Metode Kualitas dan Biaya (Quality and Cost Based Selection / QCBS) untuk pengadaan konsultansi atau barang/jasa kompleks.
  • Evaluasi biaya siklus hidup (Life Cycle Costing) sebagai dasar memilih penyedia yang tidak hanya menawarkan harga awal terendah, tetapi juga biaya penggunaan dan pemeliharaan yang rendah selama masa manfaat barang.

Regulasi teknis dari LKPP seperti Perlem LKPP No. 9 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengadaan Jasa Konsultansi juga mendorong penggunaan QCBS dengan bobot teknis minimal 70%. Ini menunjukkan bahwa pemerintah sebenarnya mendorong penilaian komprehensif, bukan sekadar harga.

2.3. Praktik Internasional: Benchmark Global

Di tingkat global, praktik pengadaan yang baik selalu mengedepankan value-based procurement. Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), bahkan Uni Eropa dalam EU Public Procurement Directive 2014 mendorong penggunaan Most Economically Advantageous Tender (MEAT)-di mana kualitas, kelayakan teknis, jaminan keberlanjutan, dan layanan purna jual diutamakan.

Contohnya, pengadaan alat kesehatan di NHS (Inggris) menempatkan bobot besar pada dukungan teknis, kemudahan pemeliharaan, dan umur pakai alat-bukan semata harga unit alat tersebut.

2.4. Konsekuensi Jika Hanya Mengejar Harga

Apabila pendekatan pengadaan hanya fokus pada harga terendah tanpa memperhatikan mutu, maka berbagai risiko akan muncul:

  • Barang rusak lebih cepat, sehingga butuh pengadaan ulang lebih awal.
  • Jasa berkualitas rendah, yang berujung pada ketidakpuasan pengguna dan penurunan pelayanan publik.
  • Peningkatan beban pemeliharaan, yang akhirnya membebani APBN/APBD lebih besar dari yang seharusnya.
  • Reputasi instansi terganggu, jika proyek gagal atau tidak bisa digunakan.

Oleh karena itu, transformasi pola pikir dalam evaluasi pengadaan sangat penting: dari sekadar murah ke benar-benar bernilai.

3. Mengapa Harga Terendah Sering Menjebak

Meskipun regulasi telah memberikan ruang evaluasi berbasis nilai, praktik di lapangan sering kali masih terjebak pada paradigma lama: siapa termurah, dia menang. Fenomena ini tidak lahir tanpa alasan. Ada tekanan dari opini publik, target efisiensi anggaran, bahkan kecenderungan untuk mencari solusi cepat. Namun, strategi ini penuh jebakan.

3.1. Strategi Banting Harga demi Menang (Pressure Bidding)

Dalam proses tender terbuka, banyak vendor memilih strategi banting harga sebagai cara memenangkan kompetisi. Mereka menurunkan penawaran serendah mungkin-bahkan di bawah HPS (Harga Perkiraan Sendiri)-dengan harapan lolos seleksi awal.

Namun sering kali, strategi ini tidak realistis. Vendor memasang harga tanpa hitungan matang, hanya untuk masuk ke pasar. Akibatnya:

  • Pekerjaan terbengkalai karena tidak ada dana cukup untuk menyelesaikan sesuai spesifikasi.
  • Terjadi contract amendment karena vendor meminta revisi volume atau kualitas.
  • Penyedia gagal memenuhi janji mutu yang dijanjikan dalam proposal awal.

Strategi banting harga seperti ini bukan hanya merugikan vendor lain yang bermain fair, tetapi juga membahayakan integritas sistem pengadaan.

3.2. Pemangkasan Spesifikasi dan Mutu

Vendor yang menawarkan harga sangat murah hampir pasti harus “mengorbankan sesuatu” agar tetap untung. Yang sering dikorbankan adalah kualitas material, tenaga kerja, dan durasi pekerjaan.

Contoh nyata:

  • Konstruksi jalan: ketebalan aspal tidak sesuai, agregat tidak berstandar SNI.
  • Pengadaan mebel sekolah: kayu kualitas rendah, sambungan cepat patah.
  • Pengadaan IT: software bug karena tidak diuji, tidak ada dokumentasi teknis.

Pemangkasan ini memangkas biaya langsung, tapi menyebabkan dampak jangka panjang yang buruk: biaya perbaikan, kekecewaan publik, bahkan kegagalan fungsi layanan.

3.3. Biaya Tersembunyi: Life Cycle Cost yang Lebih Tinggi

Vendor yang menang dengan harga murah sering tidak memperhitungkan biaya total selama masa pakai barang atau jasa. Inilah yang disebut Life Cycle Cost (LCC).

Bayangkan membeli genset murah, tetapi:

  • Konsumsi BBM tinggi,
  • Tidak tersedia spare part lokal,
  • Tidak tahan cuaca tropis,
  • Servis butuh teknisi dari luar kota.

Akhirnya, instansi harus mengeluarkan biaya tambahan berkali-kali lipat dibanding jika membeli genset bermerek dengan harga sedikit lebih mahal namun efisien dan tahan lama.

3.4. Pokja Terjebak Persepsi Efisiensi Instan

Sering kali Pokja merasa sukses jika dapat vendor murah, sehingga bisa menyatakan “penghematan terhadap HPS”. Namun, efisiensi ini semu jika mutu tidak terjamin. Apalagi jika proses evaluasi teknis hanya formalitas-misalnya tidak dilakukan penilaian lapangan, tidak mengecek sumber bahan baku, atau tidak menguji proposal metodologi kerja.

Penghematan hanya pada saat tender adalah penghematan palsu jika hasilnya menyusahkan pemakai barang/jasa dan membebani anggaran jangka panjang.

4. Studi Kasus: Harga Murah, Kualitas Muram

Sering kali, harga yang murah menjadi daya tarik utama dalam proses pengadaan, terutama ketika tekanan efisiensi anggaran begitu tinggi. Namun, seperti ungkapan lama, “ada harga, ada rupa”, biaya yang ditekan terlalu rendah biasanya harus dibayar mahal kemudian hari. Berikut ini dua ilustrasi kasus, satu hipotetis dan satu berdasarkan praktik nyata, yang menunjukkan konsekuensi buruk dari pendekatan tender berdasarkan harga terendah semata.

4.1. Pengadaan Furniture Kantor di PLN (Contoh Hipotetis)

Dalam sebuah tender pengadaan furniture untuk kantor wilayah PLN, dilakukan pelelangan terbuka dengan estimasi Harga Perkiraan Sendiri (HPS) sebesar Rp 250 juta untuk pengadaan 20 set meja-kursi kerja berbahan kayu solid. Vendor X mengajukan penawaran hanya sebesar Rp 100 juta-hanya 40% dari HPS.

Karena dokumen administrasi lengkap dan penawaran harga sah, serta spesifikasi terlihat sekilas sesuai, Pokja menetapkan Vendor X sebagai pemenang tender. Barang diterima dan digunakan. Namun, dalam waktu enam bulan, hampir 60% kursi mengalami patah pada sambungan dan lapisan meja terkelupas karena bahan yang digunakan ternyata plywood tipis berkualitas rendah.

Masalah muncul: saat diklaim, Vendor X ternyata hanya menjadi reseller yang tidak memiliki bengkel atau pusat layanan. Surat garansi pun tidak dapat digunakan karena tidak menyertakan produsen langsung. Akhirnya, unit kerja PLN harus melakukan pengadaan ulang untuk mengganti furniture yang rusak. Biaya total perbaikan dan penggantian mencapai Rp 180 juta-dua kali lipat lebih mahal dari selisih awal. Belum lagi waktu kerja yang terganggu dan kredibilitas instansi yang tercoreng.

4.2. Pengadaan Plat Beton Jalan Desa (Kasus Nyata)

Salah satu kabupaten di Jawa Tengah mengalokasikan dana dari Dana Desa untuk pembangunan jalan lingkungan menggunakan plat beton. Dalam proses tender, terdapat satu penawar yang mengajukan harga 35% lebih murah dibanding HPS. Karena dokumen lengkap dan pengalaman dinilai cukup, maka penyedia tersebut dipilih sebagai pemenang.

Namun setelah satu tahun berjalan, banyak laporan masuk: permukaan jalan mulai retak, terjadi abrasi di sisi-sisinya, dan bahkan dilewati kendaraan roda tiga pun langsung meninggalkan kerusakan struktural. Audit fisik yang dilakukan oleh inspektorat daerah menemukan bahwa:

  • Ketebalan beton hanya 7 cm, bukan 10 cm sesuai spesifikasi.
  • Tidak digunakan wiremesh (penguat) seperti diatur dalam gambar teknis.
  • Mutu beton tidak mencapai standar K-300, hanya K-225.

Akibatnya, perbaikan harus dilakukan. Namun karena proyek telah selesai dan dana tidak tersedia, maka pemerintah desa mengalihkan dana pemeliharaan selama tiga tahun berturut-turut hanya untuk memperbaiki proyek tersebut. Ini menyebabkan program pembangunan lain tertunda, termasuk sanitasi dan saluran air.

4.3. Praktik Internasional: Menghindari Perang Harga Murah

Negara-negara maju seperti Kanada, Australia, dan Uni Eropa kini telah mengadopsi metode evaluasi kualitas dan biaya secara seimbang (QCBS) serta pendekatan Total Cost of Ownership (TCO). Alih-alih memilih vendor berdasarkan penawaran terendah, evaluasi dilakukan terhadap:

  • Reputasi dan pengalaman vendor
  • Kualitas bahan baku dan proses produksi
  • Masa garansi dan SLA (service level agreement)
  • Biaya operasional dan perawatan dalam jangka panjang

Hasilnya? Proyek lebih tahan lama, biaya pemeliharaan lebih ringan, dan kepercayaan publik terhadap belanja pemerintah meningkat. Ini jadi cermin bahwa dalam jangka panjang, memilih vendor berdasarkan nilai, bukan sekadar harga, jauh lebih menguntungkan.

5. Bagaimana Menjaga Kualitas di Tengah Tekanan Harga

Menyeimbangkan antara efisiensi anggaran dan mutu hasil pengadaan bukan perkara mudah. Apalagi dalam sistem tender terbuka yang memungkinkan perang harga. Namun, ada sejumlah strategi yang dapat diadopsi oleh Pokja dan perencana agar kualitas tetap terjaga tanpa mengorbankan efisiensi.

5.1. Spesifikasi Teknis Rinci dan Standar Minimum

Dokumen tender harus menyertakan spesifikasi teknis yang terukur, detail, dan tidak multitafsir. Artinya, tidak cukup menyebut “meja kantor kayu”, tetapi harus dijabarkan:

  • Jenis kayu (misal: kayu jati atau setara)
  • Kualitas lapisan (anti gores, anti air)
  • Ukuran dimensi
  • Beban maksimum
  • Sertifikasi produk (misal ISO, SNI)

Standarisasi seperti ini mencegah penyedia menggunakan bahan murahan karena batas kualitas telah ditentukan di awal. Untuk pengadaan sistem IT, dapat diminta:

  • Demo live sistem
  • Bukti implementasi serupa
  • Garansi SLA uptime >99,5%
  • Support teknis 24/7

5.2. Evaluasi Kualifikasi Vendor dan Performance Check

Evaluasi tidak boleh hanya administratif. Pokja harus melakukan penilaian terhadap:

  • Pengalaman proyek sejenis: minimal 2 tahun terakhir
  • Tenaga ahli bersertifikat
  • Ketersediaan dukungan teknis lokal
  • Riwayat black list atau peringatan dari proyek sebelumnya

Evaluasi ini sebaiknya diberi bobot dominan (60-70%) dalam metode evaluasi QCBS. Semakin tinggi skor teknis, semakin kecil ketergantungan pada harga.

5.3. Pendekatan Life Cycle Costing dan Performance-Based Contract

Life Cycle Costing (LCC) adalah metode menghitung total biaya sepanjang masa manfaat suatu barang/jasa. Ini mencakup:

  • Harga pembelian
  • Biaya instalasi dan pelatihan
  • Pemeliharaan
  • Konsumsi energi
  • Biaya disposal atau daur ulang

LCC menghindarkan instansi dari jebakan harga murah tapi biaya tinggi setelah kontrak selesai.

Performance-Based Contract juga semakin digunakan. Dalam metode ini, vendor hanya akan menerima pembayaran penuh jika output atau kinerja sesuai:

  • Jalan harus bebas retak selama 2 tahun
  • Jaringan listrik harus downtime <1%
  • Aplikasi sistem berjalan stabil >99% uptime

Metode ini memberi insentif pada vendor untuk bekerja sungguh-sungguh dan tidak asal.

5.4. E‑Reverse Auction dengan Floor Price

Jika sistem lelang elektronik mundur (e-reverse auction) digunakan, maka Pokja wajib menetapkan:

  • Harga dasar minimal (floor price) agar tidak terjadi banting harga tak masuk akal.
  • Sistem verifikasi otomatis jika harga melewati batas kewajaran (misal: di bawah 60% HPS).
  • Simulasi biaya input vendor agar diketahui apakah harga yang ditawarkan masih logis.

Tanpa mekanisme ini, reverse auction bisa menjadi ajang tawar-menawar liar yang berujung pada kegagalan mutu.

5.5. Jaminan Kontrak dan Garansi Pasca Implementasi

Sebagai pengaman tambahan, Pokja harus menegaskan:

  • Jaminan pelaksanaan (performance bond) sebesar 5-10% dari nilai kontrak
  • Masa garansi minimal 1 tahun, atau lebih untuk proyek konstruksi atau perangkat keras
  • Denda (liquidated damages) jika vendor gagal memenuhi standar mutu
  • Klausul retensi dana untuk dibayar jika vendor telah membuktikan kualitas sesuai janji

Semua ini memastikan vendor tidak hanya mengejar kontrak, tapi juga bertanggung jawab terhadap hasil akhir.

6. Kesimpulan

Harga terendah hanya mencerminkan biaya awal, bukan nilai keseluruhan. Dalam pengadaan publik khususnya, prinsip yang dibutuhkan adalah value for money, di mana mutu, ketahanan, dan dampak jangka panjang menjadi indikator utamanya. Tender murah yang mengabaikan kualitas justru memunculkan biaya tambahan dan disfungsi infrastruktur maupun layanan.

Tantangan terbesar adalah mengubah mindset semua pemangku kepentingan-dari penyusun KAK, Pokja Evaluasi, PPK, hingga vendor-untuk bersama-sama menerapkan evaluasi seimbang antara harga dan kualitas. Regulasi sudah menyediakan instrumen seperti QCBS, LCC, dan performance-based contract; tinggal komitmen implementasi di lapangan.

Akankah kita terus memprioritaskan angka terkecil di awal tender, atau mulai memprioritaskan nilai terbesar bagi pengguna dan masyarakat? Bicara efisiensi publik berarti bicara keberlanjutan, mutu, dan manfaat, bukan hanya soal murah semata.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *