1. Pendahuluan
Instansi pemerintah di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota dihadapkan pada tuntutan pemanfaatan anggaran secara optimal. Proses pengadaan yang baik bukan hanya soal memilih penyedia termurah, melainkan memastikan barang/jasa tepat kualitas, waktu, dan biaya. Hal ini menuntut struktur tim yang terorganisir: personel harus memiliki peran dan kompetensi yang saling melengkapi, alur kerja jelas, dan pengawasan memadai. Struktur yang ideal akan mempercepat pengambilan keputusan, meminimalkan kesalahan administratif, dan memudahkan audit.
Dalam praktiknya, banyak instansi masih menerapkan struktur pengadaan yang longgar atau duplikasi peran, sehingga menimbulkan kebingungan, terlambatnya kontrak, dan temuan audit. Dengan merancang struktur ideal berdasarkan best practice nasional dan internasional, pemerintah dapat menciptakan tim pengadaan yang lebih responsif, profesional, dan bebas konflik kepentingan. Artikel ini menjabarkan komponen kunci struktur tersebut secara mendalam.
2. Landasan Hukum Pengadaan
Struktur tim pengadaan di instansi pemerintah tidak dibentuk secara sembarangan atau berdasarkan kebiasaan internal saja, melainkan harus mengacu secara ketat kepada kerangka hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Hal ini penting untuk menjamin legalitas, akuntabilitas, dan kesesuaian pelaksanaan pengadaan barang/jasa dengan tujuan reformasi birokrasi, yakni efisiensi, transparansi, dan tata kelola yang baik.
Dasar hukum utama dalam pembentukan dan pelaksanaan tugas tim pengadaan adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang kemudian diperbarui melalui Perpres Nomor 12 Tahun 2021. Kedua regulasi tersebut menetapkan dengan tegas keberadaan dan peran dari sejumlah unsur penting dalam struktur pengadaan, termasuk di dalamnya Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan, dan Kelompok Kerja (Pokja) Pemilihan. Secara spesifik, Pasal 43 sampai dengan Pasal 47 Perpres tersebut merinci fungsi masing-masing, syarat pembentukan, serta tanggung jawab kelembagaan dan personal dalam siklus pengadaan. Ketentuan ini tidak sekadar administratif, tetapi juga berfungsi sebagai batasan kewenangan agar tidak terjadi tumpang tindih atau kekosongan fungsi dalam pelaksanaan pengadaan.
Selain itu, Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 9 Tahun 2020 menjadi acuan teknis yang sangat penting. Perlem ini memberikan panduan detail tentang bagaimana menyusun tim pengadaan secara fungsional, termasuk standar kompetensi anggota tim, prosedur penunjukan, serta bentuk dokumentasi hasil evaluasi. Di sinilah integrasi antara kebijakan strategis dan operasional terjadi, karena Perlem LKPP membantu menjembatani norma-norma makro dalam Perpres dengan kebutuhan teknis dan praktik lapangan.
Tidak kalah penting, pengadaan juga harus tunduk pada prinsip-prinsip umum administrasi pemerintahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam konteks ini, struktur tim pengadaan harus beroperasi berdasarkan asas legalitas (semua tindakan harus memiliki dasar hukum), asas transparansi (setiap proses terbuka dan dapat diakses oleh publik dan pengawas), serta asas akuntabilitas (setiap keputusan dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan hukum). Dengan demikian, pembentukan struktur pengadaan bukan hanya urusan teknis, melainkan bagian dari integritas birokrasi secara menyeluruh.
Bagi pengadaan yang menyangkut aset tetap, seperti pembangunan gedung atau pembelian alat berat, landasan hukum tambahan yang perlu dirujuk adalah Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Regulasi ini memberikan batasan yang jelas tentang perencanaan kebutuhan, metode perolehan, hingga pengelolaan pascapengadaan barang milik negara. Hal ini berdampak pada komposisi tim pengadaan, karena dalam kasus pengadaan aset, perlu keterlibatan dari unit yang memahami tata kelola aset dan sistem akuntansi pemerintah.
Singkatnya, struktur tim pengadaan yang ideal dibangun di atas dua pilar besar: pertama, pejabat struktural seperti PPK dan Pejabat Pengadaan yang bertanggung jawab secara administratif dan pengambilan keputusan; dan kedua, tim fungsional seperti Pokja Pemilihan dan unit pendukung lainnya yang menjalankan aspek teknis dan pengawasan. Tanpa payung hukum yang memadai, struktur yang dibentuk bisa tidak sah secara administratif, berisiko melanggar prosedur, serta menimbulkan implikasi serius seperti pembatalan pengadaan, sanggahan penyedia, hingga sanksi dari Inspektorat atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
3. Prinsip Good Governance dalam Tim Pengadaan
Pembentukan struktur ideal tim pengadaan di instansi pemerintah tidak dapat dipisahkan dari penerapan prinsip good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik. Prinsip ini bukan hanya jargon birokrasi, melainkan menjadi kerangka nilai dan arah kebijakan yang harus menjadi jiwa dari setiap proses pengadaan barang/jasa. Dengan kata lain, sebuah struktur tim pengadaan yang baik bukan hanya memenuhi persyaratan administratif, tetapi juga harus mencerminkan nilai-nilai tata kelola yang bertanggung jawab dan profesional.
Setidaknya terdapat enam prinsip utama good governance yang harus dijadikan acuan dalam pembentukan dan operasionalisasi tim pengadaan:
1. Efisiensi
Tim pengadaan harus didesain agar mampu menghasilkan output maksimal dengan penggunaan sumber daya yang minimal. Efisiensi ini tercermin dari kejelasan pembagian tugas antaranggota, pemanfaatan teknologi informasi (seperti SPSE dan e-Katalog), serta prosedur kerja yang ramping dan bebas dari duplikasi. Tim yang terlalu gemuk atau memiliki alur kerja yang berbelit-belit akan memperpanjang waktu pengadaan dan meningkatkan potensi pemborosan anggaran.
2. Efektivitas
Efektivitas menyangkut sejauh mana tim mampu memenuhi kebutuhan pengguna barang/jasa secara tepat waktu, sesuai spesifikasi teknis, dan dalam batasan anggaran yang tersedia. Struktur yang ideal akan memastikan adanya unit evaluasi teknis yang kompeten, serta alur komunikasi yang lancar antara unit perencanaan, pengguna akhir, dan tim pelaksana pengadaan.
3. Transparansi
Transparansi berarti seluruh proses pengadaan dapat dilacak, diperiksa, dan dipahami oleh pihak internal maupun eksternal. Oleh karena itu, penting untuk menempatkan fungsi dokumentasi dan publikasi informasi (misalnya melalui sekretariat pengadaan atau sistem informasi pengadaan) dalam struktur. Ini juga berarti bahwa dokumen seperti Berita Acara Evaluasi (BAE), RUP, dan kontrak harus terdokumentasi secara baik dan dapat diakses oleh pihak-pihak berwenang.
4. Persaingan Sehat
Struktur pengadaan harus mencegah adanya praktik monopoli atau pengkondisian penyedia. Pokja Pemilihan, sebagai tim teknis yang menilai penawaran, harus dibentuk secara independen, profesional, dan tidak memiliki konflik kepentingan dengan penyedia. Persaingan sehat memastikan bahwa harga yang diperoleh benar-benar mencerminkan nilai pasar, bukan hasil negosiasi tertutup.
5. Keadilan
Setiap penyedia harus diperlakukan secara adil tanpa diskriminasi, baik dalam hal pengumuman lelang, syarat teknis, maupun penilaian dokumen. Di sinilah pentingnya peran unit pengawasan internal, seperti APIP, untuk memastikan bahwa tidak ada praktik manipulatif atau keberpihakan yang tidak wajar terhadap penyedia tertentu.
6. Akuntabilitas
Setiap keputusan dalam proses pengadaan-mulai dari penetapan HPS, pemilihan metode pengadaan, penetapan pemenang tender, hingga pembayaran-harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, administratif, dan moral. Karena itu, struktur tim pengadaan harus menyertakan kontrol internal dan garis pelaporan yang jelas.
Struktur ideal tim pengadaan tidak hanya berisi orang-orang dengan jabatan, tetapi juga harus memuat fungsi-fungsi yang dapat menjamin tegaknya prinsip-prinsip tersebut. Misalnya, unit audit internal harus memiliki akses terhadap semua dokumen dan data pengadaan, sementara sekretariat pengadaan harus secara proaktif menyebarkan informasi kepada publik. Dengan begitu, tim pengadaan bukan hanya berfungsi sebagai pelaksana teknis, tetapi sebagai agen reformasi birokrasi yang menerapkan praktik-praktik terbaik dalam manajemen publik.
4. Struktur Organisasi Ideal
Struktur organisasi ideal dalam konteks pengadaan barang/jasa pemerintah harus dirancang agar mampu mendukung seluruh siklus pengadaan secara efisien, efektif, dan akuntabel. Dalam banyak instansi pemerintah, terutama yang memiliki volume belanja pengadaan besar seperti kementerian, pemerintah daerah, dan BUMN tertentu, struktur pengadaan yang baik bukan hanya mencakup pejabat pengadaan semata, tetapi harus dibangun secara sistemik sebagai satu kesatuan unit kerja.
Struktur tersebut secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
├─ Pejabat Pengadaan
│ ├─ Sekretariat Pengadaan
│ ├─ Pokja Pemilihan
│ └─ Unit Pengawasan Internal
└─ Unit Perencanaan & Anggaran
- Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah pusat pengambilan keputusan strategis dalam proses pengadaan. PPK bertanggung jawab menetapkan spesifikasi teknis, menyusun RUP (Rencana Umum Pengadaan), menyetujui DPA/DIPA, serta menyetujui penetapan pemenang dan penandatanganan kontrak. Oleh karena itu, PPK idealnya berada dalam posisi struktural setingkat Eselon III atau pejabat administrator yang memiliki kewenangan anggaran.
- Pejabat Pengadaan berada di bawah PPK dan menjadi pelaksana administratif yang memastikan bahwa seluruh proses pengadaan berjalan sesuai dengan aturan. Mereka bertanggung jawab mulai dari pengumuman tender, evaluasi dokumen administrasi, hingga penetapan pemenang dalam pengadaan langsung atau pengadaan sederhana. Mereka juga berperan aktif dalam sistem pengadaan elektronik (SPSE) dan wajib memiliki sertifikasi keahlian.
- Sekretariat Pengadaan merupakan unit pendukung administratif yang mengelola semua dokumen, notulen rapat, dan korespondensi antar-unit. Sekretariat juga menjadi penghubung dengan penyedia jika terdapat klarifikasi atau sanggahan. Dalam beberapa instansi kecil, fungsi ini bisa dirangkap oleh staf Pejabat Pengadaan.
- Pokja Pemilihan adalah tim fungsional yang dibentuk khusus untuk melaksanakan evaluasi teknis terhadap penawaran dari penyedia. Pokja harus diisi oleh personel yang kompeten secara teknis dan independen dari pengguna barang/jasa agar tidak terjadi konflik kepentingan. Mereka melakukan evaluasi administrasi, teknis, dan harga secara menyeluruh, lalu merekomendasikan pemenang tender kepada PPK.
- Unit Pengawasan Internal, seperti APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah), harus dilibatkan dalam tahap pra dan pasca-pengadaan. Mereka berperan dalam audit kepatuhan, pemeriksaan sanggahan, dan evaluasi efektivitas pelaksanaan kontrak. Dalam beberapa kasus, APIP juga memberi pendampingan agar proses tidak menyimpang dari ketentuan hukum.
- Unit Perencanaan dan Anggaran bertugas menyelaraskan kebutuhan pengadaan dengan pagu anggaran dan prioritas program. Mereka juga bertanggung jawab terhadap justifikasi kebutuhan (justifikasi teknis dan justifikasi anggaran) sebelum proses pengadaan dimulai. Koordinasi yang baik antara unit ini dengan PPK adalah kunci untuk menghindari pemborosan atau pengadaan yang tidak tepat sasaran.
Struktur ini bersifat fleksibel dan bisa disesuaikan dengan skala organisasi. Di tingkat desa atau instansi kecil, Pokja dan sekretariat bisa dirangkap oleh orang yang sama, asalkan tidak terjadi benturan kepentingan. Di instansi besar, struktur ini bahkan bisa ditingkatkan menjadi Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ) permanen yang memiliki sistem informasi internal, SOP baku, serta manajemen kinerja berbasis indikator.
Dengan struktur yang ideal, tim pengadaan tidak hanya mampu menyelesaikan pengadaan tepat waktu dan sesuai aturan, tetapi juga mampu menjadi instrumen strategis dalam pelaksanaan anggaran negara yang efisien dan berintegritas.
5. Profil dan Kompetensi Tiap Jabatan
Struktur ideal tim pengadaan tidak hanya ditentukan oleh keberadaan unit-unit formal, tetapi juga oleh kejelasan peran, kompetensi teknis, dan pemahaman menyeluruh atas tugas yang diemban oleh tiap individu. Setiap jabatan dalam tim pengadaan memiliki fungsi unik yang saling melengkapi, dengan risiko dan beban tanggung jawab yang berbeda. Berikut uraian mendalam mengenai profil, kompetensi, dan tugas utama masing-masing elemen kunci:
5.1. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
Kualifikasi: PPK umumnya merupakan pejabat struktural di level Eselon III atau IV, atau pejabat yang ditetapkan setara, tergantung pada struktur organisasi instansi masing-masing. Yang bersangkutan harus ditunjuk secara resmi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan telah memiliki pemahaman kuat mengenai aturan-aturan dasar pengelolaan keuangan negara dan sistem pengadaan.
Kompetensi: Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang PPK mencakup berbagai bidang strategis:
- Kebijakan publik: untuk memastikan kegiatan pengadaan selaras dengan tujuan pembangunan sektor tempat ia bekerja.
- Manajemen risiko: kemampuan mengenali potensi risiko dalam tahapan pengadaan dan melakukan mitigasi.
- Kepemimpinan operasional: sebab PPK menjadi titik sentral dalam pengambilan keputusan serta pemantauan pelaksanaan kegiatan.
Tugas:
- Menetapkan Rencana Umum Pengadaan (RUP) berdasarkan kebutuhan unit kerja dan arah kebijakan anggaran.
- Menetapkan spesifikasi teknis dan HPS (Harga Perkiraan Sendiri) bekerja sama dengan tim teknis.
- Membentuk struktur tim pengadaan, termasuk Pokja Pemilihan jika diperlukan.
- Menandatangani dokumen perjanjian dan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ).
- Bertanggung jawab atas seluruh pelaksanaan kegiatan pengadaan mulai dari perencanaan sampai pembayaran.
Catatan Kritis: Peran PPK tidak hanya administratif, tetapi juga strategis. Kesalahan atau kelalaian PPK dalam menetapkan spesifikasi atau memilih penyedia dapat berdampak langsung pada kerugian negara dan kualitas layanan publik. Oleh karena itu, PPK idealnya memiliki pengalaman teknis atau manajerial yang memadai di sektor tempat ia bekerja.
5.2. Pejabat Pengadaan
Kualifikasi: Pejabat Pengadaan biasanya ditunjuk untuk menangani paket pengadaan bernilai kecil atau menengah. Ia harus memiliki sertifikasi kompetensi dari LKPP minimal Level 1, dan untuk paket strategis berskala besar, disarankan memiliki sertifikasi Level 3. Jabatan ini dapat diisi oleh ASN dari berbagai latar belakang, sepanjang ia memahami proses administrasi kontraktual.
Kompetensi:
- Administrasi kontrak: memahami format, klausul, dan isi kontrak agar tidak menimbulkan sengketa hukum.
- Hukum pengadaan: mengetahui batasan dan larangan dalam peraturan Presiden terkait PBJ (misalnya Perpres 12/2021).
- Negosiasi harga dan waktu pelaksanaan: khususnya untuk metode Pengadaan Langsung.
- Teknologi informasi LPSE: kemampuan untuk mengunggah dokumen, menelusuri audit trail, serta menggunakan fitur e‑Purchasing, e‑Tendering, dan e‑Kontrak.
Tugas:
- Menyusun dan menandatangani dokumen pengadaan (Dokumen Pemilihan/DP) serta Surat Penunjukan Penyedia.
- Melakukan negosiasi dan klarifikasi penawaran, khususnya pada paket-paket kecil.
- Menandatangani kontrak bersama penyedia atas nama instansi, dalam batas kewenangan tertentu.
- Melakukan monitoring administrasi pengadaan dan melakukan input/output sistem SPSE.
Catatan Kritis: Pejabat Pengadaan sering kali menjadi garda depan dalam percepatan pengadaan barang/jasa rutin. Namun, mereka juga paling rentan terhadap kesalahan administratif, seperti kekeliruan dalam dokumen pemilihan atau keterlambatan proses klarifikasi. Oleh karena itu, pelatihan berkala dan peningkatan kapasitas sangat diperlukan untuk jabatan ini.
5.3. Sekretariat Pengadaan
Kualifikasi: Posisi ini sering diisi oleh ASN atau tenaga administrasi dengan latar belakang analisis data, sekretariat umum, atau teknis komunikasi. Tidak diperlukan sertifikasi pengadaan formal, tetapi sangat dianjurkan memiliki pelatihan dasar tentang prosedur pengadaan dan sistem dokumen pemerintah.
Kompetensi:
- Manajemen dokumen: keterampilan dalam menyusun, mengarsipkan, dan mendistribusikan dokumen pengadaan (undangan, notulen, pengumuman, dan sebagainya).
- Komunikasi administratif: mampu membuat surat resmi, melakukan klarifikasi tertulis, dan menyusun berita acara.
- Penguasaan aplikasi dasar: Microsoft Office, Google Workspace, serta aplikasi berbasis SPSE seperti SiRUP dan e‑Kontrak.
Tugas:
- Menyiapkan surat undangan dan kelengkapan rapat Pokja atau negosiasi penyedia.
- Menyusun notulen rapat, dokumentasi administrasi, dan pelaporan kegiatan pengadaan.
- Mengelola pengumuman hasil pengadaan di portal LPSE dan papan pengumuman instansi.
- Menjadi penghubung antara Pokja, PPK, dan penyedia untuk distribusi dokumen.
Catatan Kritis: Meski posisinya tidak populer, Sekretariat Pengadaan memegang peranan penting dalam menjamin keteraturan dan kepatuhan administratif. Lemahnya fungsi ini bisa berujung pada kelalaian audit atau kekeliruan dalam komunikasi legal.
5.4. Pokja Pemilihan
Kualifikasi: Anggota Pokja Pemilihan harus berasal dari berbagai latar belakang: teknis, keuangan, dan hukum. Mereka dapat berasal dari ASN atau fungsional pengelola PBJ yang sudah memiliki sertifikasi minimal Level 2. Penunjukan Pokja bersifat formal melalui SK yang mencantumkan tugas dan tanggung jawab.
Kompetensi:
- Evaluasi teknis dan administratif: kemampuan membedah penawaran, mengevaluasi spesifikasi teknis, serta menilai dokumen legalitas.
- Analisis harga: dapat melakukan analisis kewajaran harga, margin keuntungan, serta tren pasar.
- Audit trail digital: memahami log aktivitas di SPSE dan LPSE untuk menjamin transparansi proses evaluasi.
Tugas:
- Melakukan evaluasi terhadap dokumen administrasi, teknis, dan harga penawaran penyedia.
- Menyusun Berita Acara Hasil Pemilihan (BAHP), termasuk tanggapan klarifikasi, evaluasi berjenjang, dan rekomendasi pemenang.
- Menangani sanggahan peserta serta melakukan klarifikasi kepada penyedia bila dibutuhkan.
- Menjamin integritas dan akuntabilitas seluruh proses pemilihan penyedia.
Catatan Kritis: Pokja harus independen, tidak memiliki konflik kepentingan, dan bekerja berbasis fakta serta data evaluatif. Beban etik Pokja sangat tinggi karena hasil penilaiannya berdampak langsung pada reputasi instansi dan akuntabilitas anggaran negara.
5.5. Unit Pengawasan Internal (APIP)
Kualifikasi: Unit ini terdiri atas auditor internal yang telah bersertifikat (misalnya sertifikasi dari BPKP atau LKPP). APIP dapat berasal dari Inspektorat Daerah, Inspektorat Jenderal, atau unit internal pengendalian mutu di tingkat kementerian/lembaga/pemda.
Kompetensi:
- Audit forensik: kemampuan menelusuri aliran dana dan kelengkapan dokumen untuk mengidentifikasi kecurangan (fraud).
- Manajemen risiko: membantu tim pengadaan mengenali potensi pelanggaran atau penyimpangan prosedur.
- Pelaporan dan rekomendasi: menyusun laporan pemeriksaan serta saran tindak lanjut berbasis data.
Tugas:
- Melakukan review pra-tender, termasuk analisis dokumen pemilihan dan harga perkiraan sendiri.
- Mengawasi pelaksanaan pengadaan, terutama dalam paket strategis atau bernilai tinggi.
- Melaksanakan audit pasca-pengadaan untuk memastikan kepatuhan terhadap prosedur dan efektivitas hasil.
- Menyusun dan memantau tindak lanjut hasil audit, termasuk pemulihan kerugian bila terjadi pelanggaran.
Catatan Kritis: APIP bukan sekadar “pengawas”, tetapi mitra strategis dalam menjaga kualitas dan kepatuhan pengadaan. Jika keterlibatan APIP hanya formalitas, risiko penyimpangan menjadi lebih besar. Oleh karena itu, integrasi fungsi pengawasan sejak awal menjadi bagian dari struktur ideal tim pengadaan.
6. Model Struktur Berdasarkan Nilai Kontrak
Dalam pengelolaan pengadaan barang/jasa pemerintah, struktur tim pengadaan yang dibentuk tidak dapat disamaratakan untuk semua jenis dan skala kegiatan. Salah satu pendekatan yang umum digunakan dalam merancang struktur organisasi tim pengadaan adalah dengan mendasarkan pembentukannya pada tingkat nilai kontrak atau estimasi total pengadaan. Pendekatan ini mempertimbangkan besarnya tanggung jawab administratif, teknis, dan risiko anggaran yang akan ditanggung oleh masing-masing pihak. Tiga klasifikasi nilai umum dalam sistem pengadaan pemerintah adalah: pengadaan langsung (nilai kecil), pengadaan menengah (mid-value), dan pengadaan strategis (nilai besar). Masing-masing memiliki konfigurasi struktur yang berbeda, seperti dijelaskan di bawah ini.
Nilai < Rp200 juta (Pengadaan Langsung)
Untuk paket pengadaan dengan nilai kurang dari Rp200 juta, struktur organisasi tim pengadaan bersifat minimalis namun tetap akuntabel. Pada level ini, Pejabat Pengadaan ditunjuk secara langsung dan dapat menjalankan hampir seluruh proses secara mandiri. Fungsi seperti penetapan spesifikasi, pemilihan penyedia, hingga penandatanganan kontrak dilakukan dalam lingkup terbatas. Karena kompleksitas teknis umumnya rendah dan risiko anggaran relatif kecil, maka tidak dibutuhkan pembentukan kelompok kerja (Pokja) secara formal. Bahkan unit sekretariat pun bisa cukup diisi oleh satu atau dua personel yang merangkap tugas administratif lain.
Namun demikian, kendati bersifat ringkas, akuntabilitas dan dokumentasi tetap harus dijaga. Proses permintaan penawaran, evaluasi sederhana, dan pembuatan laporan hasil pengadaan tetap harus dilakukan secara tertulis, terutama karena banyak kegiatan pengadaan langsung terjadi berulang kali dan dapat menjadi obyek pemeriksaan oleh APIP atau auditor eksternal. Oleh karena itu, penggunaan aplikasi seperti SPSE versi 4.5 atau e-purchasing katalog lokal sangat disarankan untuk menjamin keterlacakan proses.
Nilai Rp200 juta – Rp5 miliar (Mid-Value)
Pengadaan dengan nilai antara Rp200 juta hingga Rp5 miliar merupakan kelas menengah yang membutuhkan pendekatan struktur tim yang lebih komprehensif namun tetap efisien. Dalam kasus ini, pengadaan sering melibatkan lebih dari satu tahap, seperti klarifikasi teknis, negosiasi harga, dan evaluasi multi-aspek. Oleh karena itu, diperlukan struktur tim pengadaan yang melibatkan tiga komponen utama, yaitu Pejabat Pengadaan, Sekretariat Pengadaan, dan Kelompok Kerja (Pokja) yang terdiri atas 3 sampai 5 orang.
Pokja bertugas melakukan evaluasi administrasi, teknis, dan harga secara sistematis serta menyusun Berita Acara Hasil Pemilihan (BAHP). Sekretariat bertugas mendukung logistik dan dokumentasi, seperti penyebaran undangan rapat, penyusunan notulen, dan pengunggahan dokumen ke LPSE.
Di level ini, audit internal oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) menjadi lebih signifikan. Rutin dilakukan review pra-tender, terutama untuk proyek yang sumber dananya berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Transfer Umum, atau skema hibah luar negeri. Koordinasi yang baik antara PPK, Pejabat Pengadaan, dan Pokja menjadi kunci untuk mencegah keterlambatan dan konflik di tengah jalan.
Nilai > Rp5 miliar (Pengadaan Strategis)
Pengadaan strategis adalah kegiatan dengan nilai di atas Rp5 miliar, yang umumnya mencakup pekerjaan konstruksi besar, pengadaan barang modal berskala nasional, atau pengadaan jasa konsultansi dengan nilai signifikan. Dalam konteks ini, struktur tim pengadaan menjadi multilapis dan sangat terorganisir karena melibatkan banyak pihak dan memiliki konsekuensi hukum serta politik yang besar.
PPK di level ini tidak hanya berfungsi administratif, melainkan berperan strategis dalam membentuk struktur tim yang melibatkan lintas kompetensi. Pokja yang dibentuk biasanya terdiri atas 5-7 orang dengan latar belakang beragam, seperti teknik, keuangan, hukum kontrak, hingga pengelola proyek. Untuk menjaga integritas proses, unit pengawasan dibentuk secara terpisah dan independen. Fungsi ini bisa melekat di Inspektorat atau Unit Kepatuhan Internal.
Selain itu, pengadaan strategis sangat mengandalkan sistem e-procurement. Oleh karena itu, diperlukan focal point LPSE dan legal officer khusus yang bertugas menangani aspek pemanfaatan teknologi informasi dan kajian kontraktual sejak awal. Proyek-proyek strategis juga harus mempertimbangkan isu keberlanjutan, partisipasi penyedia lokal, dan integrasi dengan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD).
Penyesuaian struktur tim berdasarkan nilai pengadaan ini memberikan keleluasaan dalam mengelola sumber daya secara efisien, sambil tetap menjamin tata kelola yang akuntabel dan sesuai prinsip value for money.
7. Mekanisme Koordinasi dan Komunikasi
Struktur organisasi tim pengadaan yang baik tidak akan efektif tanpa adanya mekanisme koordinasi dan komunikasi yang sistematis, terbuka, dan terdokumentasi. Salah satu penyebab umum keterlambatan pengadaan atau munculnya sengketa adalah kegagalan dalam menyampaikan informasi tepat waktu antar unsur dalam tim. Oleh karena itu, instansi pemerintah perlu membangun alur komunikasi formal dan informal yang mendukung kelancaran proses pengadaan, dengan tetap menjaga jejak audit dan pertanggungjawaban.
Rapat Koordinasi Awal
Tahap awal dari setiap proses pengadaan dimulai dengan rapat koordinasi antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan, Sekretariat, serta Kepala Unit Teknis. Dalam rapat ini, draf Dokumen Pengadaan (DP) dibahas secara menyeluruh: mulai dari spesifikasi teknis, rincian anggaran, metode pengadaan, hingga jadwal pelaksanaan.
Rapat ini menjadi forum penting untuk menyelaraskan ekspektasi antar pihak dan mencegah miskomunikasi di kemudian hari. PPK dapat memberikan arahan strategis, sementara unit teknis menyampaikan batasan teknologis atau kebutuhan lapangan. Semua hasil rapat wajib dicatat dalam notulen dan menjadi dasar penyusunan dokumen akhir yang akan diunggah ke sistem.
Rapat Evaluasi Berkala
Dalam proses evaluasi penawaran, Pokja Pemilihan wajib menyelenggarakan rapat evaluasi secara berkala, idealnya setiap minggu. Dalam rapat ini, Pokja melaporkan progres evaluasi-baik administrasi, teknis, maupun harga-kepada Pejabat Pengadaan. Setiap keputusan penting, misalnya diskualifikasi peserta atau klarifikasi dokumen, harus dituangkan dalam Berita Acara dan didokumentasikan dengan baik.
Format laporan mingguan ini bukan hanya sebagai bentuk pertanggungjawaban, melainkan juga sebagai instrumen pengendali mutu internal. Jika ditemukan kendala dalam evaluasi (misalnya, dokumen teknis yang ambigu atau jadwal lapangan yang terganggu), Pejabat Pengadaan dapat segera menginisiasi solusi dengan berkonsultasi ke PPK atau unit hukum.
Sistem LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik)
Salah satu komponen kunci dalam komunikasi formal adalah platform LPSE, yang digunakan untuk mengunggah dokumen pengadaan, menerima penawaran, mengirim notifikasi, serta menyimpan seluruh log aktivitas yang terjadi dalam sistem. LPSE menjamin audit trail digital sehingga proses pengadaan dapat direkam secara transparan dan otentik.
Pemanfaatan LPSE juga mengurangi kebutuhan komunikasi lisan yang berisiko menimbulkan bias atau penyimpangan. Pokja, Pejabat Pengadaan, dan peserta tender dapat memanfaatkan fitur komunikasi resmi seperti “klarifikasi” atau “penjelasan” dalam sistem untuk menjaga rekam jejak elektronik yang sah.
Dashboard Monitoring
Untuk mendukung pengambilan keputusan cepat, banyak instansi pemerintah mulai membangun dashboard monitoring berbasis Power BI, Google Data Studio, atau platform serupa. Dashboard ini dapat menampilkan data real-time seperti jumlah paket aktif, progres evaluasi, keterlambatan administrasi, atau bahkan nilai kontrak tertinggi dalam satuan kerja.
Dengan mengintegrasikan SPSE dan dashboard pemantauan, pimpinan instansi dapat melacak kinerja tim pengadaan secara visual dan cepat, tanpa harus menunggu laporan manual. Fitur ini juga mendukung audit internal, terutama dalam situasi darurat seperti refocusing anggaran atau perubahan jadwal kegiatan.
Saluran Khusus (WA/Telegram)
Untuk keperluan komunikasi cepat, terutama saat dibutuhkan konfirmasi atau koordinasi instan, tim pengadaan juga dapat menggunakan saluran komunikasi informal seperti WhatsApp atau Telegram. Namun, penggunaan grup ini harus disertai dengan rambu-rambu tertentu:
- Hanya personel terverifikasi yang diizinkan masuk.
- Setiap keputusan tetap harus dicatat dalam notulen resmi atau log sistem.
- Diskusi di grup hanya digunakan untuk menyampaikan informasi, bukan tempat menetapkan kebijakan final.
Pemisahan antara komunikasi informal dan formal ini penting agar tidak terjadi penyalahgunaan informasi, sekaligus menjaga profesionalitas dan integritas tim.
8. Infrastruktur Pendukung
Struktur tim pengadaan yang ideal tidak hanya bergantung pada sumber daya manusia dan koordinasi antar-unit, tetapi juga pada infrastruktur pendukung yang solid. Tanpa infrastruktur yang memadai, tim pengadaan akan kesulitan menjaga efisiensi, akurasi, dan kepatuhan terhadap prosedur. Infrastruktur ini mencakup aspek fisik, digital, dan layanan bantuan teknis yang menyatu dalam ekosistem kerja pengadaan.
Ruang Kerja dan Ruang Rapat yang Representatif
Tim pengadaan memerlukan ruang kerja terdedikasi yang tidak hanya cukup secara fisik, tetapi juga memenuhi standar keamanan informasi. Ruangan ini sebaiknya memiliki akses terbatas, terutama saat pengadaan sedang berlangsung, untuk menghindari potensi kebocoran informasi teknis atau nilai penawaran. Di dalamnya harus tersedia rak atau lemari arsip khusus yang terkunci, tempat penyimpanan dokumen hardcopy seperti Berita Acara, HPS, dan dokumen penawaran fisik jika ada.
Selain itu, ruang rapat yang nyaman dengan fasilitas audiovisual (projector, whiteboard, dan koneksi video conference) sangat penting untuk pelaksanaan klarifikasi teknis, rapat evaluasi, atau diskusi Pokja dengan penyedia. Ketersediaan papan timeline pengadaan dan layout diagram proses juga membantu mengingatkan tim akan tenggat waktu kritis.
Sistem e-Procurement Terintegrasi
Keberadaan platform seperti LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik), e-Sourcing, dan e-Budgeting harus menjadi tulang punggung sistem pengadaan modern. LPSE memungkinkan proses pengadaan dilakukan secara daring dari perencanaan hingga penandatanganan kontrak, termasuk pengumuman, undangan, pemasukan penawaran, hingga evaluasi dan pengumuman pemenang.
Integrasi dengan sistem e-Budgeting memastikan bahwa anggaran yang digunakan untuk setiap paket telah disetujui dan tersedia dalam DPA. Sistem ini juga meminimalisasi kesalahan penginputan manual dan mencegah tumpang tindih alokasi anggaran.
Sementara e-Sourcing memungkinkan tim pengadaan melakukan proses benchmarking harga atau pengumpulan data teknis secara lebih akurat, baik untuk penyusunan HPS maupun penilaian kualitas teknis penyedia.
Manajemen Dokumen Elektronik dan Keamanan Data
Untuk menjaga efisiensi dan keteraturan administrasi, sistem e-Office sangat penting. Aplikasi ini memungkinkan pengelolaan dokumen digital dengan fitur seperti versioning (sejarah revisi dokumen), digital signature (tanda tangan elektronik tersertifikasi), dan scheduled backup untuk mencegah kehilangan data akibat gangguan teknis.
Setiap dokumen penting seperti RUP, Berita Acara Evaluasi, Kontrak, dan HPS harus memiliki hash value atau QR Code unik yang bisa digunakan untuk audit atau validasi. Penyimpanan cloud hybrid (lokal dan awan) dengan pengaturan hak akses granular memperkuat aspek keamanan data.
Helpdesk Teknis 24/7
Kendala teknis sering menjadi hambatan dalam pengadaan, terutama saat tim bekerja di luar jam kerja atau menjelang tenggat. Oleh karena itu, helpdesk teknis 24/7 menjadi salah satu elemen penting. Layanan ini mencakup:
- Pemulihan akun atau reset password LPSE
- Bantuan upload dokumen berkapasitas besar
- Verifikasi sertifikat digital
- Penanganan error saat pembukaan penawaran elektronik
Banyak instansi kini menggunakan sistem ticketing (misal: Zendesk, Freshdesk) atau chatbot untuk menangani masalah teknis awal, yang kemudian bisa dilanjutkan ke dukungan langsung jika masalah lebih kompleks. Dengan demikian, pekerjaan Pokja dan Pejabat Pengadaan tidak terganggu oleh isu teknis berulang.
Dampak Infrastruktur terhadap Kinerja Tim
Dengan infrastruktur yang lengkap dan terintegrasi, proses pengadaan dapat dipercepat hingga 30-50% dibandingkan proses manual. Risiko kehilangan dokumen, kegagalan upload, atau inkonsistensi data juga dapat ditekan. Yang tak kalah penting, infrastruktur ini mempermudah auditor internal dan eksternal dalam melakukan pemeriksaan karena semua proses terekam secara digital dan tersimpan dengan sistematis.
9. Best Practices: Rotasi, Pelatihan, Evaluasi Kinerja
Memiliki struktur tim yang baik tidak cukup tanpa strategi pengelolaan SDM yang dinamis dan akuntabel. Praktik terbaik (best practices) dalam pengelolaan tim pengadaan mencakup tiga pilar utama: rotasi, pelatihan, dan evaluasi kinerja. Ketiga elemen ini menjaga agar tim tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga menjaga integritas dan semangat kerja dalam jangka panjang.
Rotasi Tim Pengadaan Secara Berkala
Salah satu risiko laten dalam tim pengadaan adalah munculnya hubungan tidak profesional antara anggota tim dengan penyedia, terutama jika tim itu bertugas di jenis pengadaan yang sama selama bertahun-tahun. Untuk mencegah potensi konflik kepentingan, praktik ideal adalah melakukan rotasi tim pengadaan setiap 1-2 tahun.
Rotasi tidak harus berarti perpindahan permanen ke unit lain, melainkan bisa berupa:
- Pergantian jenis pengadaan (misal dari konstruksi ke jasa lainnya)
- Rotasi lintas tim dalam Pokja UKPBJ
- Penugasan pada unit verifikasi atau sekretariat untuk sementara
Dengan rotasi ini, instansi juga mendorong pengembangan kompetensi yang lebih menyeluruh bagi SDM pengadaan.
Pelatihan Berkala dan Sertifikasi Lanjutan
Setiap anggota tim pengadaan wajib mengikuti pelatihan berkala yang sesuai dengan perubahan peraturan dan tren teknologi. Beberapa bentuk pelatihan yang direkomendasikan antara lain:
- Sosialisasi dan Update Peraturan LKPP (misalnya PerLKPP terbaru)
- Workshop Penyusunan HPS dan Evaluasi Harga
- Simulasi Table-top Exercise untuk mensimulasikan risiko pengadaan (contoh: gagal tender, sanggahan, pemutusan kontrak)
- Pelatihan Etika dan Whistleblower Protection
Instansi juga sebaiknya memfasilitasi tim untuk memperoleh sertifikasi tambahan, seperti Certified Procurement Analyst (CPA) atau Ahli Pengadaan Barang/Jasa Tingkat Menengah (Level 2).
Evaluasi Kinerja Tim yang Terukur
Pengukuran kinerja tim pengadaan harus berbasis indikator objektif yang menggambarkan baik efisiensi maupun kepuasan pengguna layanan. Beberapa KPI (Key Performance Indicators) yang umum digunakan meliputi:
- Durasi siklus pengadaan (dari RUP hingga kontrak)
- Jumlah sanggahan yang valid
- Tingkat keberhasilan tender (tidak gagal)
- Kepuasan pengguna dari unit teknis
- Tingkat pemanfaatan e-catalog atau e-purchasing
- Jumlah paket yang selesai tepat waktu dan sesuai anggaran
Evaluasi dilakukan per triwulan atau semester, dan hasilnya harus digunakan untuk umpan balik kinerja. Pokja yang berhasil menyelesaikan seluruh paket strategis tanpa sanggahan sah dapat diberikan predikat kinerja unggul.
Sistem Reward dan Punishment yang Jelas
Motivasi anggota tim sangat dipengaruhi oleh penghargaan dan pengakuan atas kinerja mereka. Oleh karena itu, penting diterapkan skema insentif seperti:
- Tambahan tunjangan kinerja untuk tim yang menyelesaikan paket strategis
- Sertifikat penghargaan dan penugasan prioritas
- Kesempatan pelatihan ke luar daerah atau internasional
Sebaliknya, jika ditemukan kelalaian berat seperti keterlambatan dokumentasi, konflik kepentingan, atau pelanggaran SOP, maka sanksi harus diterapkan. Sanksi ini bisa berupa peringatan tertulis, pembinaan khusus, hingga pencabutan penugasan dalam Pokja.
Dampak Best Practices terhadap Kinerja Tim Pengadaan
Praktik-praktik terbaik ini secara empiris terbukti mampu meningkatkan efisiensi proses pengadaan, mengurangi tingkat sanggahan, serta memperkuat akuntabilitas. Tim yang mengikuti pelatihan dan dievaluasi secara berkala menunjukkan kemampuan lebih tinggi dalam menganalisis spesifikasi teknis, bernegosiasi harga, serta menghadapi audit internal maupun eksternal. Lebih jauh lagi, sistem rotasi dan reward menciptakan atmosfer kerja yang sehat dan kompetitif.
10. Studi Kasus Implementasi Struktur Ideal
Penerapan struktur ideal dalam tim pengadaan bukan hanya sebuah teori di atas kertas, melainkan telah terbukti memberikan hasil yang nyata di lapangan. Beberapa instansi pemerintah telah melakukan eksperimen internal dan penyesuaian kelembagaan guna mengadopsi struktur tim pengadaan yang sesuai dengan kompleksitas, volume, dan tingkat risiko pengadaan masing-masing. Berikut adalah dua studi kasus nyata yang memberikan gambaran konkret mengenai efektivitas struktur tim yang berbeda.
Kabupaten A: Struktur Mid-Value untuk Konstruksi Jalan
Kabupaten A adalah daerah dengan anggaran infrastruktur cukup besar dan agenda pembangunan fisik yang padat. Untuk paket pengadaan konstruksi jalan bernilai menengah (mid-value procurement), mereka membentuk Pokja Pemilihan dengan komposisi 6 orang, terdiri dari 3 tenaga ahli teknis (berpengalaman di bidang teknik sipil dan konstruksi), 2 ahli keuangan (untuk analisis HPS dan kemampuan keuangan penyedia), serta 1 ahli hukum kontrak. Seluruh anggota Pokja telah tersertifikasi oleh LKPP dan dilatih untuk menggunakan sistem e-procurement terkini.
Selain itu, terdapat sekretariat tersendiri yang terdiri dari 2 staf administratif yang bertugas mendukung logistik, distribusi dokumen, penjadwalan rapat evaluasi, serta pelaporan digital melalui SPSE. Untuk meningkatkan akuntabilitas, unit APIP melakukan audit pra-tender secara menyeluruh, khususnya terhadap perencanaan dan spesifikasi teknis pekerjaan.
Hasil dari penerapan struktur ini sangat positif. Siklus pengadaan yang sebelumnya membutuhkan waktu sekitar 65 hari, kini dapat diselesaikan hanya dalam 45 hari-terjadi efisiensi waktu hampir 30%. Selain itu, tidak ditemukan satu pun temuan audit dari Inspektorat maupun BPK dalam pemeriksaan berikutnya. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa struktur yang lengkap dan seimbang, dengan penguatan fungsi audit dan administrasi, mampu mempercepat proses sekaligus menjaga kualitas dan akuntabilitas.
Kota B: Struktur Small-Scale untuk Pengadaan ATK
Berbeda dengan Kabupaten A, Kota B menguji struktur pengadaan kecil (small-scale) untuk kebutuhan rutin, yaitu pengadaan Alat Tulis Kantor (ATK). Mengingat nilainya kecil dan prosesnya tidak kompleks, Kota B tidak membentuk Pokja Pemilihan. Sebagai gantinya, penugasan dilakukan kepada satu Pejabat Pengadaan yang didampingi satu staf sekretariat. Mereka memanfaatkan sistem SPSE secara mandiri, mulai dari perencanaan, permintaan penawaran, evaluasi, hingga penandatanganan kontrak.
Model ini memberikan efisiensi yang signifikan dalam waktu pelaksanaan. Rata-rata proses pengadaan ATK dapat diselesaikan dalam 10 hari saja, jauh lebih cepat dibandingkan skema konvensional. Namun, evaluasi pasca-proses menunjukkan peningkatan jumlah sanggahan minor dari para penyedia, yang mencerminkan kurangnya komunikasi dan diskusi teknis seperti yang biasa dilakukan Pokja.
Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa meskipun struktur kecil dapat mempercepat proses, ada risiko penurunan kualitas evaluasi, terutama jika tidak ada mekanisme pengimbangan seperti diskusi panel atau pendampingan teknis. Oleh karena itu, struktur ideal tetap harus mempertimbangkan konteks nilai pengadaan, kompleksitas teknis, serta kapasitas sumber daya manusia yang tersedia.
11. Tantangan dan Solusi
Membangun struktur ideal tim pengadaan bukan perkara mudah. Di lapangan, banyak instansi pemerintah menghadapi kendala teknis, sumber daya, dan bahkan budaya organisasi yang kurang mendukung transformasi pengadaan. Agar pembentukan struktur ini tidak hanya sekadar formalitas, perlu dilakukan identifikasi tantangan secara sistematis disertai solusi berbasis praktik terbaik (best practice) yang dapat ditiru atau dimodifikasi sesuai kebutuhan lokal.
Tantangan | Solusi Best Practice |
---|---|
Kekurangan SDM Terlatih | Banyak instansi menghadapi keterbatasan jumlah ASN yang memiliki sertifikasi pengadaan. Akibatnya, satu orang bisa menangani banyak paket, yang berdampak pada kualitas evaluasi. Solusi utama adalah percepatan rekrutmen fungsional PBJ melalui seleksi terbuka, pemberian beasiswa pendidikan dan diklat sertifikasi LKPP, serta insentif bagi ASN yang bersedia mutasi ke unit pengadaan. |
Sistem LPSE Sering Error | Sistem elektronik seringkali mengalami gangguan saat jam sibuk atau ketika server pusat mengalami pemeliharaan. Untuk mengantisipasinya, instansi dapat menyiapkan backup server lokal sebagai platform darurat, menetapkan Service Level Agreement (SLA) dengan helpdesk LPSE, serta melatih tim IT internal agar bisa menangani gangguan dasar tanpa menunggu bantuan pusat. |
Resistensi terhadap Perubahan | Perubahan struktur kerja dan digitalisasi sering ditolak oleh pegawai karena dianggap menambah beban kerja atau mengancam kenyamanan lama. Solusinya adalah menerapkan change management yang baik, dimulai dengan sosialisasi manfaat secara periodik, penunjukan change ambassador di setiap unit, serta uji coba melalui proyek percontohan kecil sebelum diimplementasikan secara menyeluruh. |
Konflik Fungsi Antar Unit | Dalam beberapa kasus, perencanaan, pengadaan, dan pelaporan dilakukan oleh unit berbeda dengan ego sektoral yang kuat. Ini bisa menimbulkan konflik koordinasi. Solusinya adalah menyusun Term of Reference (TOR) yang jelas tentang peran dan tanggung jawab setiap unit, membuat MoU internal antar bidang, serta menjadwalkan rapat koordinasi lintas-unit secara rutin untuk menyelesaikan isu lapangan. |
Dengan memetakan tantangan dan merumuskan solusi yang tepat sasaran, struktur ideal tidak hanya akan terbentuk di atas kertas, melainkan mampu berjalan efektif dalam praktik sehari-hari. Hal ini menjadi pondasi penting bagi pengadaan yang efisien, transparan, dan memberi dampak positif langsung bagi pelayanan publik.
12. Rekomendasi Implementasi
Agar struktur ideal tim pengadaan tidak sekadar menjadi konsep di atas kertas, diperlukan langkah-langkah sistematis untuk implementasinya. Rekomendasi berikut dirancang agar instansi pemerintah dapat menerapkan struktur yang adaptif, profesional, dan berorientasi hasil.
12.1. Gap Analysis: Audit Struktur Saat Ini
Langkah pertama adalah melakukan gap analysis terhadap struktur yang sedang berjalan. Audit ini harus mencakup:
- Struktur Organisasi: Apakah sudah ada pemisahan antara fungsi perencanaan, pemilihan, dan pengawasan?
- Komposisi SDM: Apakah tersedia personel bersertifikat sesuai peran? Berapa banyak yang masih merangkap jabatan?
- Sistem Pendukung: Apakah sistem LPSE, e-office, dan sistem internal telah terintegrasi dan digunakan secara optimal?
- Kinerja Historis: Seberapa cepat proses berlangsung? Berapa banyak sanggahan? Apakah pernah ada temuan audit?
Output dari analisis ini adalah peta kondisi riil dan titik-titik lemah yang harus dibenahi. Instansi bisa menggunakan indikator dari LKPP atau KemenPAN-RB untuk menilai kematangan proses PBJ mereka.
12.2. Roadmap Implementasi Bertahap
Implementasi tidak perlu dilakukan secara radikal. Justru, pendekatan bertahap akan lebih realistis dan minim resistensi. Roadmap dapat disusun dalam tiga tahap berdasarkan nilai dan kompleksitas kontrak:
- Tahap 1 – Low-Value Projects (<Rp200 juta): Penataan struktur sederhana, peran Pejabat Pengadaan dipisahkan dari PPK.
- Tahap 2 – Mid-Value Projects (Rp200 juta – Rp2,5 miliar): Pokja dibentuk dengan minimal 3 anggota sesuai bidang. Mulai digunakan sekretariat khusus dan dokumentasi digital.
- Tahap 3 – High-Value Projects (>Rp2,5 miliar): Struktur lengkap dengan Pokja multidisiplin, pendampingan APIP dari awal, serta keterlibatan perencana dan pengawas internal.
Penerapan bertahap memungkinkan adaptasi SDM, anggaran, dan sistem tanpa mengguncang proses yang sedang berjalan.
12.3. Pendampingan dari LKPP dan Instansi Teknis
Instansi dapat meminta pendampingan langsung dari LKPP atau UKPBJ tingkat provinsi. Pendampingan ini mencakup:
- Desain Struktur Organisasi: Rekomendasi jumlah dan komposisi tim.
- Pembuatan SOP: Format baku kerja tim, alur pengambilan keputusan, serta manajemen dokumen.
- Evaluasi Kompetensi SDM: Penyusunan rencana pelatihan dan sertifikasi.
Beberapa kabupaten telah memanfaatkan kerja sama ini melalui Forum Koordinasi Pengadaan (FKP) regional, dengan hasil peningkatan kualitas proses pengadaan dalam 6-12 bulan.
12.4. Sosialisasi dan Change Management
Kunci keberhasilan implementasi adalah keterlibatan pimpinan dan komunikasi lintas unit. Langkah-langkahnya meliputi:
- Workshop untuk Pejabat Tinggi: Agar pimpinan memahami manfaat struktur baru dan memberikan dukungan politik serta anggaran.
- Coaching Clinic Internal: Sesi pelatihan singkat untuk PPK, Pejabat Pengadaan, dan Pokja.
- Skema Insentif Non-Finansial: Misalnya, pengakuan prestasi melalui penghargaan kinerja pengadaan terbaik.
Pendekatan manajemen perubahan ini harus membangun kesadaran bahwa transformasi struktur bukan beban tambahan, melainkan investasi jangka panjang.
12.5. Monitoring dan Review Triwulanan
Evaluasi tidak hanya dilakukan setahun sekali, tetapi secara triwulanan untuk menjaga kontinuitas pembelajaran. Indikator evaluasi meliputi:
- SLA Pengadaan: Berapa persen paket yang selesai sesuai waktu standar?
- Persentase Tanpa Temuan Audit: Ukuran akuntabilitas dokumentasi dan pelaksanaan.
- Tingkat Kepuasan Pengguna: Penilaian dari unit teknis pengguna barang/jasa.
Hasil evaluasi ini menjadi dasar perbaikan struktur, penyusunan ulang SOP, dan identifikasi kebutuhan pelatihan lanjutan.
Dengan pendekatan sistematis dan berjenjang ini, struktur tim pengadaan yang ideal bisa ditanamkan secara berkelanjutan dalam budaya kerja instansi pemerintah.
13. Kesimpulan
Struktur ideal tim pengadaan bukan hanya persoalan jumlah personel, tetapi tentang kejelasan peran, kompetensi, integritas, dan dukungan sistemik dari organisasi. Dalam struktur yang optimal:
- PPK bertanggung jawab atas aspek perencanaan dan eksekusi kontrak.
- Pejabat Pengadaan atau Pokja Pemilihan mengelola proses seleksi penyedia secara objektif dan profesional.
- Sekretariat memastikan kelancaran administratif dan dokumentasi yang rapi.
- APIP bertindak sebagai pengawas internal yang menjaga proses tetap sesuai peraturan dan bebas konflik kepentingan.
Pembagian fungsi ini mencegah tumpang tindih, memperkuat akuntabilitas, serta menjamin efisiensi dan efektivitas proses pengadaan. Ditambah dengan skema rotasi tim, pelatihan reguler, dan evaluasi kinerja berbasis data, tim pengadaan menjadi entitas yang adaptif dan tangguh terhadap dinamika peraturan dan teknologi.
Penerapan infrastruktur pendukung-seperti sistem e-Procurement, e-Office, dan helpdesk teknis-mempercepat proses dan menurunkan potensi kegagalan sistem. Sementara itu, strategi change management dan roadmap bertahap menjadikan transisi ke struktur ideal sebagai proses yang inklusif dan terukur.
Studi kasus dari Kabupaten A dan Kota B menunjukkan bahwa adaptasi struktur sesuai kompleksitas paket mampu menurunkan waktu siklus pengadaan, meminimalkan sanggahan, dan mencegah temuan audit. Hal ini menjadi bukti bahwa desain struktur bukan sekadar formalitas administratif, tetapi fondasi tata kelola pengadaan yang bersih, transparan, dan berdaya guna.
Pada akhirnya, struktur ideal tim pengadaan harus menjadi prioritas dalam agenda reformasi birokrasi. Dengan struktur yang tepat, pemerintah daerah maupun pusat akan lebih siap menjawab tantangan pembangunan, mendukung pertumbuhan ekonomi lokal, dan memastikan setiap rupiah anggaran digunakan secara maksimal untuk kepentingan masyarakat luas.