Pendahuluan
Pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan salah satu aspek krusial dalam tata kelola keuangan negara. Melalui mekanisme ini, pemerintah memfasilitasi pemenuhan kebutuhan operasional, pembangunan infrastruktur, hingga penyediaan layanan publik. Salah satu metode yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah Pengadaan Langsung. Metode ini kerap dipilih karena dinilai lebih efisien dan cepat, terutama untuk nilai pengadaan yang relatif kecil. Namun di balik kemudahannya, terdapat celah-celah hukum yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan yang tidak sesuai dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan persaingan sehat. Artikel ini akan mengupas secara komprehensif definisi, dasar hukum, prosedur pelaksanaan, potensi celah hukum, dampak negatifnya, serta rekomendasi penguatan pengawasan agar praktik pengadaan langsung senantiasa berada pada koridor integritas dan kepentingan publik.
Bagian I: Definisi dan Ruang Lingkup Pengadaan Langsung
1. Pengertian Pengadaan Langsung
Pengadaan Langsung adalah metode pemilihan penyedia barang atau jasa tanpa melalui proses lelang atau seleksi yang ketat, sebagaimana difasilitasi oleh Perpres Nomor 12 Tahun 2021. Batas nilai pengadaan langsung tertinggi biasanya ditetapkan oleh masing-masing instansi sesuai ketentuan, dengan nilai maksimum hingga Rp200 juta untuk barang, jasa lain, dan jasa konsultan. Metode ini menitikberatkan pada proses yang sederhana, tidak memerlukan publikasi panjang, dan tidak ada paket kompetisi terbuka. Tujuan utamanya adalah memangkas birokrasi agar kebutuhan mendesak dapat segera terpenuhi tanpa harus menunggu jadwal lelang yang berputar setiap triwulan.
2. Ruang Lingkup dan Batasan
Pengadaan Langsung hanya dapat diterapkan untuk paket pekerjaan tertentu, seperti barang habis pakai, jasa konsultansi dengan tingkat risiko rendah, hingga pekerjaan kilat yang bersifat mendesak. Instansi pemerintah wajib menetapkan pejabat pengadaan yang berwenang memproses tender langsung, melakukan klarifikasi satu penyedia, serta menandatangani kontrak dalam jangka waktu singkat. Meskipun terkesan memudahkan, ruang lingkup ini dibatasi oleh ambang nilai keuangan agar tidak disalahgunakan untuk proyek besar yang seharusnya melalui proses tender terbuka.
Bagian II: Dasar Hukum dan Prinsip-prinsip Pengadaan
1. Landasan Peraturan
Dasar hukum pengadaan barang/jasa di Indonesia tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta Perpres Nomor 12 Tahun 2021. Dalam Perpres tersebut, Pasal 119 hingga Pasal 124 secara khusus mengatur tentang Pengadaan Langsung. Selain itu, lembaga seperti Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) mengeluarkan regulasi pelaksana yang lebih rinci dalam bentuk Perka LKPP. Landasan ini menegaskan prinsip transparansi, akuntabilitas, persaingan sehat, dan efisiensi yang wajib dipegang teguh oleh seluruh pihak terkait.
2. Prinsip-Prinsip Dasar
Setiap proses pengadaan, termasuk Pengadaan Langsung, harus mengacu pada prinsip-prinsip umum sebagai berikut:
- Transparansi: Informasi pengadaan harus terbuka, meski prosedurnya disingkat.
- Akuntabilitas: Pejabat pengadaan bertanggung jawab penuh terhadap setiap keputusan.
- Persaingan Sehat: Seleksi harus memberikan kesempatan sama bagi penyedia.
- Efisiensi dan Efektivitas: Pelaksanaan anggaran negara harus hemat biaya dan tepat manfaat.
Prinsip-prinsip ini diimplementasikan melalui dokumen pengadaan, pengumuman, klarifikasi teknis, dan mekanisme evaluasi. Namun, pada praktiknya, beberapa aspek dapat “digeser” oleh kebutuhan percepatan, sehingga memunculkan potensi celah hukum.
Bagian III: Prosedur Pelaksanaan Pengadaan Langsung
1. Penyusunan Dokumen Pengadaan
Tahap awal melibatkan pejabat pengadaan yang menyusun Kerangka Acuan Kerja (KAK), Rencana Umum Pengadaan (RUP), serta Syarat dan Ketentuan Umum (SKU). Dokumen ini memuat spesifikasi teknis, kualifikasi penyedia, dan ketentuan pembayaran. Agar sesuai regulasi, dokumen harus ditandatangani sebelum paket dibuka, namun untuk percepatan, instansi kerap mempersingkat masa review.
2. Pemilihan Penyedia
Dalam Pengadaan Langsung, pejabat pengadaan dapat langsung menunjuk satu penyedia tanpa membuka paket ke publik. Penunjukan ini berdasarkan data RUP dan daftar penyedia terdaftar dalam Sistem Informasi RUP (SIRUP). Mekanisme ini akan berjalan cepat, namun rawan konflik kepentingan jika penyedia yang ditunjuk adalah rekanan lama pejabat.
3. Evaluasi dan Negosiasi
Evaluasi teknis dilakukan secara internal dengan membandingkan penawaran satu penyedia dan harga pasar. Negosiasi harga sebaiknya dilakukan secara transparan, namun pada praktiknya, rincian negosiasi tidak dipublikasikan secara lengkap. Hal ini berpotensi menimbulkan kecurigaan mark-up atau split payment.
4. Penandatanganan Kontrak dan Pelaksanaan
Setelah harga disepakati, kontrak ditandatangani dalam waktu singkat, biasanya kurang dari 7 hari. Pelaksanaan pekerjaan juga diharapkan selesai sesuai jadwal yang telah dikurangi waktu evaluasi dan klarifikasi. Kelemahan di tahapan ini adalah minimnya audit lapangan sebelum pembayaran termin pertama, sehingga kualitas pekerjaan dapat terabaikan.
Bagian IV: Celah Hukum dalam Pengadaan Langsung
1. Pemilihan Penyedia Tanpa Publikasi
Karena tidak ada kewajiban publikasi paket pengadaan, masyarakat sipil dan pesaing potensial tidak mendapatkan informasi untuk mengajukan penyediaan alternatif. Celah ini memungkinkan terjadinya kolusi antara pejabat pengadaan dan penyedia tertentu.
2. Nilai Ambang yang Mudah Dimanipulasi
Dengan ambang batas Rp200 juta, instansi dapat memecah paket pekerjaan besar menjadi beberapa paket kecil agar setiap tahap tetap di bawah nilai ambang. Teknik splitting ini melemahkan prinsip transparansi dan persaingan terbuka, serta mengakali pengawasan internal dan eksternal.
3. Minimnya Pengawasan dan Audit
Pengadaan Langsung relatif kurang diawasi oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau Inspektorat. Proses audit yang intensif biasanya dilaksanakan pada proses tender besar, sehingga paket langsung sering luput dari pemeriksaan mendalam. Akibatnya, potensi suap atau gratifikasi sulit terdeteksi.
4. Kekaburan dalam Dokumentasi Negosiasi
Protokol negosiasi harga dan jadwal pelaksanaan tidak diatur secara rinci untuk Pengadaan Langsung. Tanpa dokumentasi yang memadai, kesepakatan lisan dapat menjadi celah untuk menggelembungkan harga (mark-up) atau mempersulit klaim pertanggungjawaban.
Bagian V: Dampak Negatif Celah Hukum
1. Potensi Korupsi dan Kolusi
Celah tersebut sering kali dimanfaatkan untuk korupsi dan kolusi. Penyedia yang memiliki kedekatan dengan pejabat pengadaan berpeluang mendapatkan kontrak tanpa persaingan. Ujungnya, anggaran negara tergerus untuk membayar harga yang tidak wajar.
2. Kualitas Pekerjaan yang Buruk
Dengan proses yang singkat dan pengawasan minimal, penyedia cenderung mengejar efisiensi biaya (membeli material murah) tanpa mempertimbangkan mutu. Dampaknya, infrastruktur yang dihasilkan kurang tahan lama, menimbulkan biaya perbaikan lebih tinggi di masa depan.
3. Berkurangnya Kepercayaan Publik
Practice “transaksi tertutup” dalam pengadaan langsung menurunkan trust masyarakat terhadap pemerintah. Curiga adanya transaksi tidak bersih dapat menimbulkan kritik dan protes, bahkan menimbulkan risiko politik bagi pejabat terkait.
4. Ketidaktercapaian Efisiensi Jangka Panjang
Walaupun jangka pendek nampak cepat dan efisien, praktik splitting dan mark-up menimbulkan beban biaya yang lebih besar dalam jangka panjang. Efek domino dari pekerjaan berkualitas rendah akan menambah belanja pemeliharaan dan revisi proyek.
Bagian VI: Studi Kasus dan Analisis
1. Kasus Pemecahan Paket (Splitting) di Kabupaten X
Pada tahun 2023, Inspektorat Kabupaten X menemukan pemecahan paket pembangunan jalan desa senilai total Rp1,5 miliar menjadi delapan paket di bawah Rp200 juta. Hasil pemeriksaan: mark-up harga rata-rata 15% dan kualitas material tidak sesuai spesifikasi. Inspektorat memproses rekomendasi sanksi, namun proses hukum berjalan lambat akibat bukti negosiasi yang minim.
2. Analisis Celah Dokumen Negosiasi
Dokumen pengadaan langsung umumnya hanya memuat lembar persetujuan penawaran tanpa rincian diskusi harga. Studi perbandingan dengan tender terbuka menunjukkan bahwa tertib administrasi dan dokumentasi negosiasi tender jauh lebih lengkap-hal ini menjadi bukti bahwa regulasi perlu mengatur standar dokumentasi serupa untuk pengadaan langsung.
Bagian VII: Upaya Penguatan dan Rekomendasi
1. Perbaikan Ambang Nilai dan Penggabungan Paket
LKPP perlu mengecek evaluasi ambang nilai tahunan. Bila inflasi dan kebutuhan mendesak meningkat, ambang batas harus disesuaikan. Di saat bersamaan, aturan antisipasi splitting harus diperketat, misalnya dengan mewajibkan audit nilai paket kumulatif dalam RUP.
2. Standar Dokumentasi Negosiasi
Regulasi perlu mewajibkan pejabat pengadaan mencatat detil proses negosiasi harga-termasuk tanggal, waktu, nama peserta, metodologi perhitungan harga wajar, dan kesimpulan tertulis. Formulir standar ini akan memudahkan audit dan menekan potensi mark-up.
3. Peningkatan Peran Inspektorat dan BPKP
Audit rutin perlu diperluas ke pengadaan langsung, tidak hanya terbatas pada laporan tahunan. Pemeriksaan acak paket-paket di bawah nilai ambang harus ditetapkan kuotanya, sehingga setiap instansi dapat dicek tiap kuartal.
4. Pemanfaatan Teknologi untuk Transparansi
Platform e-procurement terintegrasi dengan modul khusus pengadaan langsung dapat mempublikasikan ringkasan paket dan proses negosiasi secara anonim. Masyarakat dan pesaing potensial mendapat akses informasi-setidaknya nilai, objek, serta nama penyedia terpilih.
5. Pendidikan dan Pelatihan Pejabat Pengadaan
Sosialisasi regulasi dan etika pengadaan harus digelar berkala. Pejabat pengadaan perlu memahami risiko hukum dan reputasi yang muncul dari penyalahgunaan celah. Sertifikasi kompetensi dapat dijadikan syarat mutlak sebelum mendapat hak mengadakan paket langsung.
Kesimpulan
Pengadaan Langsung merupakan metode yang dirancang untuk mempercepat dan mempermudah pemenuhan kebutuhan barang/jasa pemerintah dengan nilai relatif kecil. Namun, tanpa pengaturan yang ketat dan pengawasan serius, celah hukum seperti pemecahan paket, minimnya dokumentasi negosiasi, serta kurangnya audit dapat dimanfaatkan untuk korupsi, kolusi, dan merugikan negara. Untuk menjaga integritas sistem pengadaan, perlu dilakukan penyempurnaan regulasi: meninjau ulang ambang batas nilai, mensyaratkan dokumentasi negosiasi yang komprehensif, memperkuat peran audit internal dan eksternal, serta mengoptimalkan transparansi melalui teknologi. Dengan langkah-langkah ini, Pengadaan Langsung dapat berjalan sesuai prinsip efisiensi, akuntabilitas, dan persaingan sehat, sekaligus meningkatkan kepercayaan publik terhadap tata kelola keuangan negara.