Pendahuluan
Tender konstruksi merupakan salah satu jenis pengadaan barang dan jasa pemerintah yang memiliki risiko tinggi, baik dari segi teknis, administratif, maupun anggaran. Proyek konstruksi seperti pembangunan jalan, gedung sekolah, fasilitas air bersih, hingga jembatan, memiliki tingkat kompleksitas yang lebih tinggi dibanding pengadaan barang biasa. Oleh sebab itu, keberhasilan tender sangat ditentukan oleh kesiapan dokumen, kejelasan teknis, serta akurasi proses evaluasi.
Namun dalam praktiknya, banyak tender konstruksi yang gagal terlaksana. Kegagalan ini dapat berbentuk tender ulang karena tidak ada peserta yang memenuhi syarat, semua penawaran melebihi HPS, peserta dinyatakan tidak lolos evaluasi, atau bahkan tender dibatalkan karena muncul sanggahan yang tidak terselesaikan. Kegagalan seperti ini bukan sekadar hambatan teknis, tetapi juga berdampak pada tertundanya layanan publik, inflasi biaya akibat penundaan, dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap tata kelola proyek pemerintah.
Peran Pokja Pengadaan menjadi sangat krusial dalam mencegah kegagalan tender. Pokja tidak hanya bertanggung jawab menyusun dokumen dan mengevaluasi penawaran, tetapi juga memastikan keseluruhan proses dapat berjalan transparan, adil, dan kompetitif. Sayangnya, berbagai kesalahan mendasar yang dilakukan Pokja kerap terulang, mulai dari kelalaian dalam penyusunan dokumen, perencanaan yang tidak matang, hingga salah tafsir dalam evaluasi teknis dan harga.
Artikel ini membedah secara menyeluruh kesalahan-kesalahan umum yang kerap terjadi dalam proses tender konstruksi yang gagal, serta menawarkan rekomendasi berbasis praktik baik (best practices) untuk mencegah hal serupa terulang. Melalui pemahaman ini, diharapkan seluruh pemangku kepentingan pengadaan-terutama Pokja dan PPK-mampu meningkatkan kualitas perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan proyek konstruksi secara profesional dan akuntabel.
1. Kesalahan Umum dalam Perencanaan Tender
1.1. Rencana Umum Pengadaan (RUP) Tidak Komprehensif
RUP adalah fondasi awal dari seluruh rangkaian pengadaan. Namun, di lapangan, tidak jarang RUP hanya dijadikan formalitas administratif: mencantumkan judul kegiatan, nilai perkiraan, dan waktu pelaksanaan secara sekilas tanpa dilandasi analisis mendalam. Ketidaktepatan informasi dalam RUP berdampak langsung pada dokumen tender yang tergesa-gesa dan tidak kontekstual. Akibatnya, peserta tender tidak dapat menyusun penawaran dengan baik karena informasi teknis dan administratif belum matang.
RUP yang ideal harus memuat uraian kegiatan, ruang lingkup pekerjaan, spesifikasi awal, estimasi anggaran berbasis analisis pasar, metode pemilihan penyedia, serta justifikasi teknis jika diperlukan. Ketika RUP dibuat asal-asalan, tender berisiko gagal sejak awal karena Pokja tidak memiliki pijakan informasi untuk menyusun dokumen yang logis dan dapat diikuti pelaku usaha.
1.2. Kurangnya Market Sounding
Market sounding atau penjajakan pasar merupakan mekanisme penting untuk mengukur ketersediaan pelaku usaha yang memiliki kapasitas teknis dan finansial sesuai dengan kebutuhan proyek. Sayangnya, langkah ini sering diabaikan. Tanpa market sounding, Pokja cenderung membuat syarat kualifikasi yang tidak realistis atau justru terlalu longgar.
Contoh umum: proyek bangunan bertingkat di daerah terpencil ditawarkan dengan syarat memiliki pengalaman proyek minimal Rp50 miliar. Dalam kenyataan, tidak ada penyedia lokal yang pernah menangani proyek sebesar itu. Hasilnya? Tidak ada peserta yang lolos administrasi atau bahkan tidak ada yang mendaftar. Sebaliknya, jika syarat terlalu longgar, justru membuka peluang peserta tidak kompeten ikut tender.
Market sounding seharusnya dilakukan dengan pendekatan terbuka: mengundang asosiasi kontraktor, menggali referensi harga, dan menyesuaikan kompleksitas proyek dengan kondisi lapangan. Dengan begitu, persyaratan yang dibuat akan proporsional dan realistis.
1.3. Perhitungan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang Melenceng
HPS bukan sekadar angka perkiraan biaya, melainkan referensi penting untuk mengevaluasi kewajaran harga penawaran peserta. Namun, banyak HPS yang dibuat terburu-buru tanpa survei harga riil di lapangan, apalagi memperhitungkan faktor inflasi, fluktuasi harga material, atau risiko geografis.
Akibatnya, jika HPS terlalu tinggi, peserta cenderung mengajukan harga mendekati HPS meski biaya nyata lebih murah, sehingga anggaran menjadi tidak efisien. Jika HPS terlalu rendah, peserta khawatir tidak mampu menyelesaikan pekerjaan dengan nilai tersebut dan memilih tidak ikut.
Perhitungan HPS seharusnya melibatkan tenaga ahli, menggunakan data dari proyek sejenis, serta memperhitungkan komponen langsung dan tidak langsung secara realistis. Keterlibatan konsultan perencana dalam penyusunan HPS juga perlu disoroti agar tidak terjadi konflik kepentingan atau manipulasi harga.
2. Dokumen Tender Cacat
2.1. Spesifikasi Teknis yang Ambigu
Salah satu penyebab utama kegagalan tender konstruksi adalah spesifikasi teknis yang tidak jelas, tidak konsisten, atau malah copy-paste dari proyek lain. Spesifikasi teknis yang ambigu dapat menimbulkan multi tafsir. Misalnya, menyebut “lantai keramik kualitas tinggi” tanpa menyebut ukuran, warna, merek atau standar mutu tertentu.
Ambiguitas spesifikasi membuat peserta menafsirkan sesuai pemahaman masing-masing, dan pada akhirnya menimbulkan ketidaksesuaian saat pelaksanaan. Hal ini berpotensi menjadi bahan sanggahan atau perselisihan di tengah jalan.
Solusi terbaik adalah menyusun spesifikasi teknis yang detail, berbasis desain yang sudah disetujui (gambar kerja), disertai dengan standar mutu (SNI, ASTM, ISO), dan indikator evaluasi teknis yang terukur. Komponen seperti jenis pekerjaan, material, dimensi, serta cara pengukuran hasil pekerjaan harus dirinci secara eksplisit.
2.2. Syarat Administratif dan Teknis yang Tumpang Tindih
Dokumen pengadaan sering kali mencampuradukkan antara persyaratan administratif (misalnya legalitas perusahaan, izin usaha) dengan persyaratan teknis (seperti pengalaman kerja dan tenaga ahli). Hal ini menyebabkan kebingungan bagi peserta tender dalam menyusun dokumen dan menimbulkan interpretasi berbeda di kalangan Pokja saat mengevaluasi.
Lebih parah, tumpang tindih ini dapat membuka ruang gugurnya peserta bukan karena substansi kualitas, tapi hanya karena kekeliruan administratif. Dalam banyak kasus, peserta yang berkualitas justru gugur karena kelalaian administratif kecil yang tidak berkaitan langsung dengan kemampuan menyelesaikan proyek.
Dokumen tender yang baik harus membagi dengan tegas dan sistematis:
- Persyaratan administrasi umum
- Persyaratan teknis proyek
- Kriteria evaluasi dan bobot nilai
Hal ini tidak hanya memudahkan penyusunan dokumen, tetapi juga meningkatkan kredibilitas proses evaluasi.
2.3. Dokumen Kontrak Standar yang Tidak Sesuai Risiko
Pokja cenderung menggunakan dokumen kontrak baku tanpa menyesuaikan dengan risiko khas pekerjaan konstruksi yang akan dilaksanakan. Misalnya, proyek pembangunan jembatan di daerah rawan banjir, tapi kontraknya tidak mengatur tanggung jawab jika ada keterlambatan akibat cuaca ekstrem.
Tanpa klausul spesifik yang mengatur risiko pekerjaan, peserta cenderung menambahkan biaya risiko dalam penawarannya, atau malah enggan mengikuti tender. Lebih buruk lagi, jika kontrak tetap dijalankan tanpa klarifikasi risiko, maka perselisihan dan klaim bisa terjadi di tengah pelaksanaan.
Idealnya, dokumen kontrak harus mencakup:
- Jadwal kerja realistis dan fleksibilitas cuaca
- Klausul eskalasi harga untuk material fluktuatif
- Tanggung jawab pihak terkait dalam kejadian luar biasa (force majeure)
- Mekanisme penyelesaian sengketa
Dengan begitu, kontrak menjadi alat perlindungan yang adil bagi kedua belah pihak, bukan jebakan yang merugikan salah satu pihak.
3. Kriteria Kualifikasi Tidak Realistis
Salah satu penyebab tender konstruksi gagal adalah penetapan kriteria kualifikasi yang tidak proporsional terhadap skala dan kompleksitas proyek. Tujuan awal dari kriteria kualifikasi adalah untuk memastikan hanya penyedia yang kompeten yang dapat ikut serta. Namun, dalam praktiknya, Pokja sering menetapkan kualifikasi yang terlalu tinggi atau tidak relevan, sehingga justru menyulitkan partisipasi penyedia potensial, terutama dari kalangan kontraktor kecil-menengah.
3.1. Pengalaman dan Kapasitas yang Berlebihan
Pokja terkadang mensyaratkan pengalaman sebelumnya dalam proyek dengan nilai yang sama atau lebih tinggi dari nilai proyek saat ini. Misalnya, untuk proyek senilai Rp5 miliar, Pokja meminta bukti pengalaman menangani proyek minimal Rp10 miliar dalam tiga tahun terakhir. Syarat semacam ini langsung mendiskualifikasi banyak kontraktor lokal yang memiliki kemampuan teknis memadai, namun belum pernah mendapatkan proyek besar.
Implikasinya bukan hanya mempersempit jumlah peserta, tetapi juga dapat mengarah pada praktik pinjam pengalaman atau penggunaan pihak ketiga yang tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan proyek. Pokja seharusnya menyesuaikan syarat pengalaman dengan sifat pekerjaan, bukan hanya nilai proyek. Untuk pekerjaan sederhana, cukup pengalaman sejenis secara teknis, meskipun dengan nilai lebih kecil.
3.2. Persyaratan Keuangan yang Mencekik
Kriteria finansial seperti rasio lancar, modal kerja bersih, dan saldo rekening koran seringkali ditetapkan tanpa mempertimbangkan realitas keuangan pelaku usaha di wilayah setempat. Permintaan modal kerja minimal Rp2 miliar untuk proyek senilai Rp3 miliar, misalnya, bisa menjadi kendala besar bagi kontraktor lokal yang cash flow-nya ketat.
Penetapan kriteria keuangan harus proporsional dan relevan dengan karakteristik pekerjaan serta risiko pelaksanaannya. Pokja dapat menggunakan acuan SE LKPP atau mengacu pada prakiraan kebutuhan kas selama proyek berlangsung, bukan sekadar mematok angka absolut.
3.3. Sertifikat Standar Internasional yang Tidak Relevan
Permintaan dokumen seperti ISO 9001 (manajemen mutu), ISO 45001 (keselamatan kerja), atau OHSAS 18001 untuk proyek konstruksi kecil (misalnya pembangunan pagar sekolah atau saluran drainase desa) menunjukkan ketidaktepatan dalam merumuskan kualifikasi.
Standar tersebut memang relevan untuk proyek besar dan kompleks, tetapi untuk pekerjaan berskala kecil, memintanya justru mempersempit partisipasi. Sebagian besar kontraktor lokal belum memiliki sertifikasi tersebut karena biaya dan proses pengurusannya tidak sebanding dengan skala usaha mereka.
Pokja harus memisahkan mana kriteria wajib (mandatory) dan mana yang bersifat nilai tambah (preferable). Jika memang ingin mendorong mutu, sertifikasi dapat dijadikan komponen penilaian teknis, bukan syarat administrasi mutlak.
4. Evaluasi Teknis dan Harga yang Keliru
Evaluasi penawaran adalah tahap krusial yang menentukan pemenang tender. Kesalahan dalam menyusun atau melaksanakan evaluasi dapat menyebabkan hasil yang tidak mencerminkan kompetensi terbaik. Beberapa Pokja terjebak pada pendekatan kuantitatif yang kaku, tanpa memperhatikan konteks dan kualitas yang ditawarkan penyedia.
4.1. Bobot Evaluasi yang Tidak Seimbang
Dalam banyak tender, Pokja terlalu menitikberatkan pada evaluasi harga, bahkan sampai 50% bobot atau lebih, dengan alasan efisiensi anggaran. Padahal, dalam proyek konstruksi, aspek teknis seperti metode kerja, spesifikasi bahan, pengalaman tim pelaksana, dan ketersediaan alat jauh lebih menentukan keberhasilan proyek.
Terlalu menekankan harga mengakibatkan pemilihan kontraktor yang sekadar murah tapi lemah secara teknis. Akibatnya, pekerjaan bisa molor, mutu rendah, dan dalam kasus ekstrem, proyek mangkrak.
Solusinya adalah menerapkan sistem nilai (value for money) dengan proporsi evaluasi teknis yang lebih besar (misal 70:30). Penilaian teknis harus berdasarkan kriteria objektif, seperti studi teknis, jadwal pelaksanaan, dan bukti dukung nyata, bukan semata format dokumen.
4.2. Proses Klarifikasi yang Berbelit
Pada tahap klarifikasi, Pokja memiliki kewenangan untuk meminta penjelasan atau konfirmasi dari peserta terhadap informasi dalam dokumen penawaran. Namun, proses ini sering berlarut-larut tanpa dokumentasi yang transparan, seperti tidak adanya berita acara klarifikasi, atau hasil klarifikasi tidak dituangkan dalam addendum.
Peserta pun menjadi bingung apakah perubahan dianggap sah, dan peserta lain tidak memiliki akses informasi yang setara. Hal ini dapat memicu sanggahan beruntun, bahkan pelaporan ke APIP atau LKPP.
Fase klarifikasi harus disertai prosedur tertulis, disampaikan kepada semua peserta secara terbuka (jika berdampak luas), dan dijadikan rujukan resmi dalam evaluasi akhir.
4.3. Minimnya Pengujian Dokumen di Lapangan
Pokja sering kali mengandalkan dokumen pengalaman, daftar personel, dan daftar alat yang disampaikan penyedia tanpa verifikasi lapangan. Akibatnya, ada kasus di mana personel ternyata fiktif, alat tidak tersedia di lokasi, atau pengalaman proyek ternyata milik afiliasi, bukan peserta tender.
Untuk proyek besar atau berisiko tinggi, Pokja seharusnya menjadwalkan kunjungan lapangan (site verification) ke alamat penyedia, melihat langsung kantor, alat, dan ketersediaan tenaga kerja. Ini akan memperkuat validitas evaluasi teknis dan mencegah manipulasi informasi.
5. Komunikasi Buruk dengan Calon Vendor
Komunikasi antara Pokja dan calon penyedia sangat menentukan tingkat partisipasi dan kejelasan penawaran. Sayangnya, komunikasi sering kali tidak dikelola secara proaktif, hanya sebatas mempublikasikan tender di LPSE dan menunggu peserta. Padahal, komunikasi efektif bisa meningkatkan kualitas dan jumlah peserta yang memenuhi syarat.
5.1. Sosialisasi Tender yang Minim
Banyak tender konstruksi diumumkan secara formal di LPSE tanpa sosialisasi ke asosiasi kontraktor, komunitas penyedia lokal, atau media informasi yang lazim digunakan oleh pelaku usaha. Hal ini membuat calon peserta tidak mengetahui adanya tender, atau mengetahui saat tenggat waktu sudah mepet.
Pokja seharusnya mengirimkan informasi tender ke asosiasi (seperti Gapensi atau Inkindo), dinas terkait di kabupaten/kota, dan melakukan publikasi melalui kanal resmi dinas. Dengan memperluas saluran komunikasi, partisipasi dapat meningkat, terutama dari penyedia lokal yang potensial namun tidak melek teknologi.
5.2. Tidak Ada Sesi Pre-Bid Meeting
Pre-bid meeting atau aanwijzing adalah forum penting untuk memberi penjelasan teknis dan administratif, menjawab pertanyaan peserta, serta menjembatani perbedaan interpretasi. Sayangnya, beberapa Pokja melewati tahap ini atau menganggap tidak perlu karena hanya beberapa peserta yang mendaftar.
Padahal, forum ini dapat mencegah kesalahan penawaran, memperkuat kepercayaan peserta, dan mengurangi sanggahan di kemudian hari. Bahkan dalam tender elektronik, pre-bid meeting bisa dilakukan daring menggunakan platform video conference dan dihadiri seluruh calon peserta.
5.3. Balasan Klarifikasi Lambat
Ketika peserta mengajukan pertanyaan atau permintaan klarifikasi, Pokja memiliki tanggung jawab memberikan jawaban cepat, lengkap, dan terbuka. Dalam praktiknya, jawaban Pokja sering terlambat, tidak komprehensif, atau hanya dikirim ke satu peserta, bukan dipublikasikan untuk semua.
Hal ini melanggar prinsip kesetaraan dan keterbukaan dalam pengadaan. Informasi yang diberikan kepada satu peserta harus diberikan kepada semua, agar tidak menimbulkan ketimpangan informasi. Pokja perlu memanfaatkan fitur klarifikasi di sistem LPSE secara optimal dan menetapkan jadwal tanggapan yang disiplin.
6. Manajemen Risiko yang Lemah
Manajemen risiko dalam pengadaan konstruksi seharusnya menjadi bagian integral dari setiap tahap, mulai dari perencanaan, penyusunan dokumen, hingga pelaksanaan tender. Namun, dalam banyak kasus tender yang gagal, manajemen risiko justru tidak dijalankan secara sistematis. Pokja cenderung hanya berfokus pada prosedur formal-tanpa menyusun peta risiko (risk register) atau skenario kontingensi. Akibatnya, ketika tantangan muncul, respons yang diberikan bersifat reaktif, lambat, dan mahal.
6.1. Tidak Ada Risk Register untuk Tender
Risk register adalah dokumen yang berisi identifikasi, klasifikasi, analisis dampak, dan rencana mitigasi atas risiko yang mungkin terjadi selama siklus proyek. Dalam konteks tender konstruksi, risiko bisa berupa:
- Risiko geoteknik: kondisi tanah tidak stabil, rawan longsor, atau memiliki kadar air tinggi.
- Risiko cuaca: musim hujan berkepanjangan yang bisa mengganggu progres kerja.
- Risiko sosial: potensi gangguan dari masyarakat lokal atau kelompok kepentingan.
- Risiko legalitas: perizinan belum lengkap, sengketa lahan, atau batas wilayah tidak jelas.
- Risiko fiskal: anggaran dipangkas atau direalokasi di tengah proses pengadaan.
Tanpa dokumen risk register, Pokja tidak punya basis untuk menyusun strategi mitigasi seperti memperpanjang waktu kerja jika musim hujan datang, menyederhanakan spesifikasi pada lokasi berisiko tinggi, atau memasukkan klausul fleksibilitas kontrak.
Contohnya, proyek pembangunan embung di Kabupaten P gagal tender karena Pokja tidak menyadari bahwa lahan yang dimaksud belum bebas. Saat penyedia menyampaikan sanggahan bahwa lahan masih dalam status sengketa, Pokja tidak bisa memberikan justifikasi valid. Akhirnya tender dibatalkan, dan waktu pelaksanaan habis sebelum tahun anggaran berakhir.
6.2. Tidak Ada Mekanisme Escalation
Escalation mechanism adalah jalur pengambilan keputusan ketika risiko aktual muncul di lapangan atau terjadi hambatan yang tidak terduga. Dalam tender konstruksi, eskalasi bisa melibatkan PPK, atasan langsung Pokja, atau unit teknis terkait untuk memberikan solusi strategis.
Tanpa mekanisme ini, semua persoalan dibebankan pada Pokja, padahal Pokja tidak selalu memiliki wewenang penuh. Misalnya, ketika kontraktor meminta penyesuaian harga karena material naik signifikan (harga aspal, semen, baja), tidak ada prosedur untuk mengescalate ke pihak keuangan atau perencana anggaran untuk membuat addendum logis. Akibatnya, kontraktor mundur, dan proyek batal.
Ketiadaan jalur eskalasi juga berdampak pada lambatnya respons ketika terjadi permasalahan teknis yang kritis. Dalam beberapa kasus, kontraktor sudah menyampaikan kendala lapangan sejak awal, tapi tidak ada respons dari pihak internal karena Pokja tidak punya prosedur untuk meneruskan isu secara formal dan terdokumentasi.
Pokja seharusnya membuat protokol tanggap cepat dan melibatkan unit perencana, pengendali mutu, serta aparat pengawasan internal (APIP) sebagai bagian dari sistem eskalasi risiko yang terintegrasi.
7. Penanganan Sanggahan Tidak Optimal
Sanggahan adalah mekanisme formal yang diberikan kepada peserta tender untuk mengajukan keberatan terhadap proses atau hasil tender. Dalam banyak kasus tender gagal, sanggahan tidak dikelola secara profesional. Pokja terkadang memandang sanggahan sebagai gangguan, bukan sebagai instrumen kontrol kualitas. Alhasil, sanggahan tidak ditanggapi cepat atau bahkan dijawab dengan jawaban normatif tanpa dasar hukum yang kuat.
7.1. Lambat Merespon Sanggahan
Regulasi pengadaan mensyaratkan bahwa sanggahan harus dijawab dalam waktu maksimal 5 hari kerja. Namun, di lapangan, Pokja sering menunda penanganan sanggahan dengan alasan internal: belum ada rapat, anggota Pokja belum lengkap, atau masih menunggu arahan pimpinan.
Dalam beberapa kasus kritis, respons terhadap sanggahan baru diberikan mendekati batas waktu, tanpa analisis mendalam. Ini membuat peserta merasa aspirasinya diabaikan. Lebih buruk lagi, jika sanggahan menyangkut dugaan kecurangan atau manipulasi, keterlambatan respons bisa memicu pelaporan ke aparat hukum, menyebabkan proyek tertunda atau bahkan dibatalkan.
Pokja perlu memiliki SOP Tanggapan Cepat, misalnya:
- Mengklasifikasikan jenis sanggahan (administratif, teknis, prosedural).
- Menyusun tim kecil untuk menyusun jawaban dalam waktu maksimal 48 jam.
- Melibatkan legal dan auditor internal bila sanggahan bersifat sensitif.
Dengan mekanisme respons cepat, Pokja dapat mengelola sanggahan secara profesional dan mencegah konflik berkepanjangan.
7.2. Pertimbangan Subjektif dalam Putusan
Sering terjadi, keputusan atas sanggahan tidak didasarkan pada analisis obyektif terhadap dokumen tender, regulasi LKPP, atau fakta lapangan, melainkan berdasarkan penilaian subjektif anggota Pokja atau tekanan internal.
Contohnya: seorang peserta menyanggah karena dokumen teknis mengandung syarat diskriminatif yang mengarah pada satu merek tertentu. Namun Pokja menolak sanggahan dengan alasan “sudah sesuai prosedur”, tanpa menjelaskan dasar teknisnya. Padahal, peserta menyampaikan bukti jelas bahwa persyaratan teknis hanya bisa dipenuhi oleh satu produsen saja.
Sikap seperti ini menimbulkan ketidakpercayaan peserta terhadap integritas Pokja. Untuk mencegahnya, Pokja perlu membuat risalah analisis sanggahan, mengacu pada pasal-pasal peraturan pengadaan yang berlaku, dan memberikan jawaban secara transparan di LPSE. Bila perlu, Pokja dapat menyampaikan bahwa sanggahan ditolak karena data pendukung tidak memenuhi, bukan hanya menyatakan “tidak sesuai” tanpa dasar.
8. Studi Kasus Kegagalan Tender
Untuk memberi gambaran nyata, berikut dua studi kasus kegagalan tender konstruksi akibat kesalahan Pokja dalam perencanaan dan pelaksanaan tender.
8.1. Pengadaan Jembatan di Kabupaten Z
Proyek pembangunan jembatan penghubung antardesa di Kabupaten Z ditenderkan pada triwulan kedua. Nilai HPS yang disusun berdasarkan estimasi awal perencana adalah Rp 3,5 miliar. Namun dalam proses evaluasi, semua penawaran peserta berada jauh di atas HPS, yakni sekitar Rp 4-4,5 miliar.
Setelah ditelusuri, ternyata Pokja tidak melakukan uji tanah atau soil test sebagai bagian dari perencanaan. Tanah lokasi jembatan ternyata bersifat lunak dan membutuhkan pondasi tiang pancang, bukan pondasi batu kali seperti diasumsikan awal. Hal ini membuat semua peserta menambahkan biaya struktur pondasi yang lebih kuat dalam penawaran mereka.
Akibatnya, semua penawaran dianggap tidak wajar dan tender dinyatakan gagal. Proyek ini kemudian diulang dua kali dengan revisi HPS, tetapi karena waktu pelaksanaan sudah mepet dan musim hujan mendekat, tender ketiga juga gagal. Proyek pun dialihkan ke tahun anggaran berikutnya, dan masyarakat dua desa tetap harus menyeberangi sungai dengan rakit selama satu tahun penuh.
8.2. Renovasi Gedung Sekolah di Kota W
Sebuah proyek renovasi gedung sekolah di Kota W bernilai Rp 2 miliar mengalami kegagalan tender karena Pokja menetapkan kualifikasi peserta terlalu tinggi. Persyaratan mensyaratkan pengalaman minimal tiga proyek serupa dengan nilai kontrak masing-masing di atas Rp 3 miliar, memiliki ISO 9001, dan memiliki tenaga ahli dengan SKA Madya.
Kontraktor lokal di Kota W kebanyakan adalah penyedia kecil-menengah yang biasa mengerjakan proyek Rp 500 juta – Rp 1,5 miliar. Akibatnya, tidak satu pun penyedia mendaftar dalam tender tersebut.
Kondisi ini mencerminkan kurangnya market sounding dan perumusan kualifikasi yang realistis. Jika saja Pokja melakukan penjajakan pasar dan menyesuaikan syarat kualifikasi dengan kemampuan lokal, tender bisa berjalan sukses dan proyek selesai tepat waktu.
9. Rekomendasi Praktis: Strategi Mencegah Gagal Tender Secara Sistematis
Mencegah kegagalan tender tidak cukup hanya dengan mengikuti prosedur formal. Pokja harus membangun sistem yang adaptif dan berbasis risiko untuk menyusun, melaksanakan, serta mengevaluasi pengadaan konstruksi secara cermat. Berikut adalah serangkaian rekomendasi praktis yang dapat diterapkan secara bertahap namun efektif:
9.1. Lakukan Market Sounding dan Studi Kelayakan Sebelum Susun RUP
Sebelum paket pekerjaan diinput ke dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP), instansi perlu melakukan market sounding kepada pelaku pasar setempat. Ini mencakup identifikasi kontraktor yang aktif, kapasitas usaha mereka, pengalaman terakhir, dan hambatan aktual yang mereka hadapi.
Studi kelayakan juga harus mencakup analisis kebutuhan, kondisi geografis, kesiapan lahan, dan potensi risiko lingkungan. RUP yang disusun berbasis data ini akan jauh lebih akurat dan dapat meminimalkan revisi di tengah jalan.
Contoh implementasi: Pemerintah Kota A mewajibkan setiap OPD untuk mengunggah laporan hasil penjajakan pasar sebelum membuat RUP. Hasilnya, partisipasi tender meningkat dan rerata waktu tender yang gagal menurun 60%.
9.2. Gunakan Spesifikasi Teknis Final Drawing dan BQ (Bill of Quantity) yang Valid
Dokumen tender tidak boleh bersifat asumtif. Final drawing dan BoQ yang digunakan harus sudah diverifikasi oleh tenaga ahli teknik, disesuaikan dengan lokasi fisik, serta mempertimbangkan ketersediaan material di daerah proyek.
Menggunakan gambar perencanaan awal (preliminary design) dan BoQ tentatif hanya akan menimbulkan multitafsir, kesalahan harga penawaran, atau klaim pekerjaan tambahan di tengah jalan.
Standarisasi penggunaan final design juga dapat dibarengi dengan checklist teknis untuk setiap item, sehingga Pokja dapat melakukan validasi cepat terhadap penawaran yang masuk.
9.3. Kualifikasi Realistis: Pecah Paket Besar Menjadi Sub-Paket Sesuai Segmentasi Pasar
Salah satu penyebab kegagalan tender adalah terlalu sempitnya basis peserta karena kualifikasi terlalu tinggi. Untuk mengatasinya, Pokja harus mempertimbangkan pemecahan paket berdasarkan skala pekerjaan. Paket-paket kecil dapat dibuka untuk kontraktor kecil-menengah dengan pengalaman lokal, sementara paket besar bisa dikonsolidasikan bagi penyedia besar dengan manajemen risiko yang lebih kompleks.
Langkah ini tidak hanya memperluas partisipasi pasar, tapi juga memperkuat ekosistem usaha jasa konstruksi di daerah. Untuk mendukung ini, Pokja dapat merujuk ke Peraturan LKPP tentang segmentasi pasar dan batasan nilai pengadaan berdasarkan klasifikasi usaha (kecil, menengah, besar).
9.4. Bobot Evaluasi yang Proporsional dan Libatkan Pihak Independen
Evaluasi tender sebaiknya mengedepankan kualitas dan kapabilitas teknis penyedia. Sistem nilai dengan bobot 70:30 untuk aspek teknis dan harga lebih ideal untuk proyek konstruksi, terutama jika menyangkut pekerjaan kompleks atau yang berada di wilayah rawan bencana.
Agar evaluasi berjalan objektif, Pokja sebaiknya menggandeng panel teknis independen, seperti tenaga ahli dari asosiasi profesi, universitas teknik, atau konsultan pengawasan yang berkompeten namun tidak terlibat langsung dalam proyek. Mereka dapat membantu menilai metodologi kerja, jadwal pelaksanaan, dan inovasi teknis yang ditawarkan penyedia.
9.5. Adakan Pre-Bid Meeting dan Publikasikan Q&A secara Terbuka
Pre-bid meeting bukan hanya forum formalitas. Ini adalah sesi krusial untuk menyamakan persepsi, menjawab keraguan peserta, dan memperbaiki kekurangan dokumen teknis jika ditemukan. Semua Q&A dalam forum ini harus dipublikasikan secara terbuka di LPSE, bukan hanya dikirim kepada peserta yang hadir.
Dokumen klarifikasi ini wajib dianggap sebagai bagian tidak terpisahkan dari dokumen pemilihan. Ini memberi dasar hukum kuat jika di kemudian hari ada sanggahan atau perbedaan tafsir.
9.6. Siapkan Risk Register dan Mekanisme Eskalasi
Dokumen risk register harus disusun oleh PPK atau pejabat teknis dan dijadikan lampiran dalam dokumen pemilihan. Risiko harus diklasifikasikan berdasarkan:
- Kemungkinan terjadinya (frekuensi),
- Dampaknya terhadap waktu, biaya, dan mutu,
- Strategi mitigasi (preventif dan responsif).
Pokja juga wajib memiliki jalur eskalasi formal, misalnya melalui kepala dinas teknis, bagian hukum, atau APIP, jika terjadi kendala teknis atau konflik sanggahan.
9.7. Terapkan SOP Penanganan Sanggahan dengan Panel Objektif
Respon sanggahan tidak boleh bersifat subjektif dan sepihak. Pokja harus memiliki tim sanggahan lintas unit, terdiri dari legal, teknis, dan perwakilan auditor internal.
Idealnya, jawaban sanggahan disampaikan maksimal dalam 48 jam, disertai analisis objektif terhadap dokumen dan aturan hukum yang berlaku. Hal ini dapat mencegah eskalasi konflik dan memperkuat posisi instansi jika kelak dilaporkan ke lembaga pengawas eksternal seperti LKPP, APIP, atau bahkan aparat penegak hukum.
10. Penutup: Saatnya Pokja Bertindak Strategis dan Profesional
Tender konstruksi bukan sekadar proses administratif yang berujung pada pemilihan penyedia, melainkan jantung pelaksanaan proyek pembangunan yang menyentuh masyarakat luas. Kegagalan tender tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menghambat penyediaan layanan dasar-jalan, jembatan, sekolah, air bersih-bagi warga.
Berbagai kesalahan pokja, seperti perencanaan yang terburu-buru, dokumen yang tidak valid, evaluasi yang dangkal, atau komunikasi yang buruk, dapat dihindari dengan pendekatan yang lebih profesional dan strategis. Pokja harus memahami bahwa setiap tahapan pengadaan-mulai dari input RUP hingga evaluasi akhir-adalah bagian dari rantai tanggung jawab publik yang perlu dijalankan secara akuntabel dan transparan.
Dengan menerapkan rekomendasi praktis yang telah dijabarkan-dari market sounding hingga SOP sanggahan-instansi pemerintah akan memiliki sistem tender yang lebih tangguh, efisien, dan minim risiko. Lebih dari itu, Pokja dapat menjadi agen perubahan dalam membangun kepercayaan publik terhadap tata kelola proyek infrastruktur yang bersih dan berorientasi hasil.
Kini saatnya Pokja mengubah paradigma tender: bukan sekadar memilih yang paling murah, tetapi yang paling mampu menyelesaikan proyek dengan baik, tepat waktu, tepat mutu, dan tepat biaya.