Pendahuluan
Dominasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam proses tender menjadi isu yang kerap memicu perdebatan publik, akademis, dan kebijakan. Di satu sisi, BUMN sebagai instrumen negara memiliki mandat melayani kepentingan publik, menjalankan proyek strategis, dan memastikan kontinuitas layanan di sektor-sektor kritikal. Di sisi lain, dominasi BUMN-atau persepsi bahwa BUMN “selalu menang”-dapat menimbulkan kekhawatiran tentang persaingan yang tidak sehat, inefisiensi anggaran, hambatan bagi sektor swasta, dan potensi penyalahgunaan wewenang. Pertanyaan inti adalah: kapan peran besar BUMN wajar sebagai alat kebijakan negara, dan kapan ia menjadi gangguan terhadap prinsip-prinsip pengadaan yang adil, transparan, dan kompetitif?
Artikel ini menyajikan analisis menyeluruh, terstruktur, dan praktis mengenai isu dominasi BUMN dalam tender. Setiap bagian membahas satu aspek kunci: definisi dan ruang lingkup dominasi; kerangka hukum dan kebijakan yang mengatur partisipasi BUMN; penyebab struktural mengapa BUMN sering unggul; dampak negatif ke pasar dan tata kelola publik; argumen pembelaan atas peran BUMN; mekanisme penguatan fairness; indikator dan pola dominasi yang bermasalah; opsi kebijakan remedial; serta checklist operasional bagi panitia pengadaan untuk memastikan keputusan defensible. Tulisan ini bertujuan membantu pembuat kebijakan, petugas pengadaan, pengusaha, dan publik menavigasi keseimbangan antara tujuan pembangunan nasional dan prinsip tata kelola pengadaan yang baik.
1. Memahami apa yang dimaksud dengan “dominasi BUMN” dalam tender
Sebelum menilai apakah dominasi BUMN bermasalah, perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan istilah itu. “Dominasi BUMN” dapat merujuk pada beberapa fenomena: tingkat kemenangan BUMN yang jauh lebih tinggi daripada pelaku swasta, pengaruh BUMN terhadap desain tender (mis. spesifikasi yang menguntungkan BUMN), preferensi kebijakan terhadap kontraktor milik negara, atau praktik kolaborasi antara otoritas publik dan BUMN yang menutup peluang kompetitif. Dominasi juga dapat muncul sebagai kombinasi faktor: BUMN yang memiliki kapasitas teknik dan modal besar, dukungan kebijakan, serta akses jaringan pemerintahan yang mempermudah memenangkan kontrak.
Ragam situasi yang perlu dibedakan:
- Dominasi struktural-ketika BUMN memang memiliki market share besar karena kapasitas dan pengalaman yang superior;
- Dominasi kebijakan-ketika aturan memberi keistimewaan pada BUMN (mis. hak prioritas atau eksklusivitas di sektor strategis);
- Dominasi proses-ketika tender didesain, dijalankan, atau dievaluasi sedemikian rupa sehingga pemenang diperkirakan dari awal; dan
- Dominasi oportunistik-praktik nepotisme, kolusi, atau intervensi politik.
Keempat kategori membawa implikasi berbeda: dominasi struktural mungkin tidak perlu dihapus jika ia menghasilkan nilai dan efisiensi, sementara dominasi kebijakan dan proses memerlukan pengawasan untuk menghindari konflik kepentingan dan inefisiensi.
Ketika menilai fenomena ini, penting juga memeriksa konteks sektoral. Di sektor-sektor capital-intensive (energi, pertambangan, infrastruktur besar), BUMN sering tampil dominan karena keahlian dan sumber daya finansial. Sebaliknya, pada kontrak layanan atau barang standar, dominasi BUMN patut dicermati lebih ketat. Kriteria evaluasi harus mempertimbangkan apakah dominasi itu menghasilkan outcome yang lebih baik (nilai ekonomis, kontinuitas layanan, transfer teknologi) atau malah menghambat persaingan, menaikkan biaya, dan mengurangi inovasi.
Pemahaman yang jelas mengenai bentuk dominasi membantu merancang respon kebijakan: dari transparansi yang ditingkatkan, pembatasan konflik kepentingan, hingga reformasi tender untuk membuka ruang bagi pelaku swasta pada paket yang sesuai kapasitasnya.
2. Kerangka hukum dan kebijakan yang mengatur partisipasi BUMN
Peran BUMN diatur oleh kombinasi hukum korporasi, peraturan pengadaan, serta kebijakan sektor spesifik. Secara umum, BUMN adalah entitas komersial yang juga menjalankan mandat publik – posisi ganda ini tercermin dalam peraturan yang kadang memberi mereka keistimewaan (mis. tugas penyedia layanan publik, kepercayaan anggaran, atau kondisi kerjasama antar-pemerintah). Oleh karena itu, kerangka hukum harus menyeimbangkan dua hal: mempertahankan kemampuan BUMN untuk memenuhi mandat publik dan memastikan persaingan yang adil.
Peraturan pengadaan publik biasanya memuat prinsip-prinsip transparansi, kompetisi, non-diskriminasi, dan value for money. Dalam banyak yurisdiksi, ketentuan khusus mengatur bagaimana BUMN dapat berpartisipasi-mis. larangan pembelian dari entitas tertentu tanpa tender yang adil, kewajiban mempublikasikan rencana pengadaan, dan ketentuan conflict of interest bila panitia terafiliasi dengan BUMN. Ada pula peraturan yang memperbolehkan BUMN memperoleh mandat tanpa tender pada kasus tertentu (strategis, keamanan, atau layanan publik esensial), asalkan ada justifikasi hukum dan audit ex-post.
Konsep subsidiaritas dan segregasi fungsi penting: entitas BUMN yang menjadi policy-maker tidak boleh sekaligus menjadi bidder; pemerintah harus memisahkan peran regulator/pembuat kebijakan dan peran operasional BUMN. Banyak negara juga mengatur “ring-fencing” antara BUMN dan purchasing entity-misalnya, pejabat pengadaan harus melaporkan hubungan afiliasi dan disingkirkan dari proses evaluasi bila ada linkage.
Selain itu, terdapat aturan antimonopoli dan persaingan yang mencegah abuse of dominant position, walau penerapan terhadap BUMN sering kompleks karena unsur kepemilikan negara. Di beberapa konteks, badan antimonopoli mengeluarkan pedoman tentang perlakuan BUMN: tata cara evaluasi, monitoring subsidi, dan pelaksanaan remedial jika praktik persaingan sehat terganggu.
Pada level kebijakan, pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan industri yang mendukung BUMN untuk alasan pembangunan-mis. pengembangan infrastruktur nasional. Kebijakan seperti itu harus bersifat time-bound, transparan, dan disertai mekanisme kompensasi agar tidak merusak pasar jangka panjang. Intinya, kerangka hukum yang baik menyediakan ruang bagi BUMN untuk menjalankan mandatnya namun disertai kontrol yang mencegah dominasi yang merugikan kepentingan publik.
3. Mengapa BUMN sering unggul: keunggulan struktural dan akses sumber daya
BUMN seringkali unggul di tender karena beberapa keunggulan struktural dan akses yang tidak dimiliki pelaku swasta biasa.
- Skala dan modal: proyek infrastruktur besar memerlukan modal besar dan rasio leverage yang lebih mudah dikelola oleh BUMN dengan dukungan fiskal atau akses pembiayaan pemerintah.
- Akses jaringan: BUMN biasanya memiliki jaringan luas ke regulator, lembaga pembiayaan negara, hingga sub-distributor, yang mempermudah proses perizinan dan kolaborasi teknis.
- Pengalaman historis dan kapasitas teknis: banyak BUMN beroperasi puluhan tahun dan mengakumulasi pengalaman proyek besar, tim teknis, dan sistem manajemen proyek yang matang.
- Keberpihakan kebijakan: pemerintah sering memprioritaskan BUMN untuk proyek strategis demi kontrol terhadap infrastruktur kritikal, keamanan nasional, atau pelayanan publik-hal ini dapat langsung meningkatkan peluang BUMN di tender tertentu.
- Insentif non-komersial: BUMN terkadang menginternalisasi tujuan sosial dan politik-mis. menjaga lapangan kerja lokal-yang membuat mereka menerima kontrak dengan marjin rendah demi tujuan jangka panjang.
- Akses ke informasi pasar: BUMN sering berada lebih dekat dengan pemegang kebijakan, mendapatkan insight awal mengenai proyek dan kebutuhan teknis, sehingga dapat mempersiapkan penawaran yang lebih matang dan sesuai ekspektasi panitia.
Namun keunggulan ini tidak selalu berarti superioritas efisiensi. Dalam beberapa kasus, dukungan fiskal membuat BUMN menawar harga rendah (subsidized bids) yang menekan pesaing namun kemudian menimbulkan isu keberlanjutan finansial dan distorsi pasar. Lebih jauh, keunggulan non-komersial dapat menciptakan chilling effect bagi pelaku swasta-mereka malas ikut tender jika peluang menangnya kecil walau kompetitif. Oleh sebab itu, walaupun keunggulan BUMN sering beralasan, pengaturannya harus transparan agar tidak mengorbankan prinsip persaingan sehat.
4. Dampak dominasi BUMN: distorsi pasar dan implikasi ekonomi
Dominasi BUMN dalam tender membawa dampak yang kompleks. Di satu sisi, keterlibatan BUMN dapat menjamin ketersediaan layanan publik dan stabilitas proyek strategis. Di sisi lain, dominasi berlebihan menimbulkan distorsi pasar dan implikasi ekonomi negatif.
- Kompetisi. Jika BUMN hampir selalu menang, insentif bagi perusahaan swasta untuk berinvestasi dan bersaing berkurang. Akibatnya, dalam jangka menengah harga menjadi kurang kompetitif, kualitas turun, dan inovasi melambat.
- Risk of crowding out-sumber daya (tenaga kerja terampil, supplier) terserap oleh BUMN sehingga perusahaan swasta kesulitan mengakumulasi kapasitas.
- Aliran subsidi bersyarat: ketika BUMN menerima dukungan fiskal, mereka bisa bertahan meski proyek tidak efisien. Hal ini menimbulkan beban fiskal terselubung bagi negara dan mengurangi tekanan pada BUMN untuk meningkatkan produktivitas.
- Distorsi harga dan pasar: praktik preferensi BUMN dapat mendorong penawaran bertendensi price-politics, bukan price-based efficiency-sehingga nilai uang publik tidak optimal.
- Penciptaan lapangan kerja dan wilayah bisa ambivalen; BUMN cenderung menyerap tenaga kerja besar, namun pekerjaan ini mungkin kurang produktif dibandingkan kesempatan yang diciptakan sektor swasta yang kompetitif.
- Risiko governance: dominasi BUMN meningkatkan peluang konflik kepentingan dan pengaruh politik dalam proses pengadaan, yang pada gilirannya meningkatkan risiko korupsi dan erosi kepercayaan publik.
- Penurunan investasi swasta-baik investor domestik maupun asing melihat pasar yang tertutup atau terlalu terpolitisasi sehingga memilih tidak masuk. Oleh karena itu, penting untuk menyeimbangkan peran BUMN: mempertahankan kapasitas untuk tujuan strategis sambil memastikan aturan yang mendorong kompetisi dan akuntabilitas agar sumber daya publik digunakan efisien.
5. Argumen pembelaan peran besar BUMN: kepentingan publik dan sektor strategis
Di sisi lain dari debat, ada argumen kuat mengapa BUMN harus memiliki posisi kuat di beberapa tender-baik demi kepentingan publik, keamanan nasional, maupun pembangunan jangka panjang.
- BUMN adalah alat kebijakan publik: mereka mampu mengeksekusi proyek-proyek yang kurang menarik bagi sektor swasta karena risk-return yang rendah tetapi memiliki externalities tinggi (mis. listrik pedesaan, jaminan akses air minum). Dalam hal ini, dominasi BUMN bukan sekadar keuntungan pasar tetapi target sosial-ekonomi.
- Di sektor-sektor strategis-pertahanan, energi, telekomunikasi infrastruktur-kontrol dan integritas layanan menjadi sangat penting. Pemerintah mungkin perlu mengandalkan BUMN demi keamanan pasokan dan pengawasan atas teknologi sensitif.
- BUMN dapat memfasilitasi program transfer teknologi dan kapasitas lokal: melalui skema kontrak besar, BUMN bisa mensubkontrakkan pekerjaan ke pemasok lokal, mendukung pelatihan, dan membangun rantai nilai domestik.
- BUMN sebagai stabilizer ekonomi: pada masa krisis, BUMN dapat menjadi peredam gejolak-misalnya mempertahankan produksi komoditas penting atau menyerap tenaga kerja berlebih.
- Adanya mandat pelayanan publik membuat solvabilitas BUMN relatif lebih terjamin-ini memungkinkan pelaksanaan proyek jangka panjang dengan komitmen negara yang sulit ditawarkan oleh swasta.
Meski demikian, pembelaan ini bukan pembenaran tanpa batas. Argumen kebijakan harus disertai requirement akuntabilitas kuat: kinerja BUMN harus dipantau secara transparan, kompensasi fiskal dihitung jelas, dan privilese harus bersifat temporer serta disertai target peningkatan kapasitas. Tanpa kontrol tersebut, argumen kepentingan publik bisa diselewengkan untuk kepentingan politis atau ekonomi sempit.
6. Mekanisme tata kelola untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan fairness
Untuk menjaga agar peran BUMN tetap produktif tanpa mengerosi pasar, diperlukan mekanisme tata kelola yang kuat.
- Transparansi penuh: setiap proses pengadaan yang melibatkan BUMN harus terdokumentasi dengan baik dan dipublikasikan-dari rationale pengadaan, kriteria evaluasi, hingga justifikasi jika terjadi direct award. Transparansi mengurangi persepsi favoritisme dan memudahkan audit.
- Conflict of interest policies: pejabat pengadaan dan regulator harus mengungkap hubungan apa pun dengan BUMN. Panel evaluasi harus bebas dari afiliasi yang berpotensi bias; bila tak mungkin, anggota tersebut harus digantikan atau diwajibkan deklarasi terbuka.
- Separasi fungsi: pemerintah yang mengatur pasar tidak boleh menjadi buyer sekaligus pemilik entitas yang mengikuti tender; struktur kelembagaan harus meminimalkan dual role.
- Usage of competitive procurement wherever possible: bahkan untuk BUMN, proses kompetitif harus diutamakan kecuali ada justifikasi kuat-mis. alasan keamanan atau emergensi. Jika non-kompetitif digunakan, harus ada approval tertulis dari otoritas independen dan audit ex-post.
- Performance-based contracting & benchmarking: kontrak yang mengikat BUMN harus memuat KPI jelas, mekanisme penalti, serta perbandingan kinerja dengan standar industri.
- Oversight independent bodies: lembaga audit, komisi pengawas tender, atau lembaga anti-korupsi harus diberi akses untuk menilai kesesuaian tindakan. Mereka juga dapat membuat rekomendasi terkait policy regarding BUMN participation.
- Sunset clauses pada preferential policies: bila pemerintah memberi keistimewaan pada BUMN untuk alasan pengembangan sektor, kebijakan ini sebaiknya memiliki jangka waktu dan indikator evaluasi yang jelas.
- Capacity building and disclosure: tingkatkan kapasitas panitia pengadaan untuk menilai nilai riil penawaran dan menganalisis total cost of ownership. Publikasikan rationale setiap award yang melibatkan BUMN sehingga publik bisa menilai apakah keputusan tersebut benar-benar berdasar value for money dan kepentingan umum.
7. Indikator dan pola yang menunjukkan dominasi problematik
Agar dapat melakukan intervensi tepat waktu, pembuat kebijakan dan pengawas harus mampu mengenali indikator awal dominasi problematik. Berikut pola dan indikator yang umumnya muncul:
- Tingkat kemenangan BUMN jauh melebihi pangsa pasar yang wajar: jika BUMN memenangkan tender di hampir semua kategori, padahal pelaku swasta kompetitif tersedia, ini sinyal perlu penyelidikan.
- Seringnya direct awards atau pengecualian tender: jika banyak kontrak diberikan tanpa kompetisi dan justification lemah, itu merupakan red flag.
- Spesifikasi tender yang repetitif mengacu pada kapabilitas BUMN: normalnya TOR bersifat netral; jika spesifikasi selalu cocok untuk BUMN tertentu, mungkin ada tailoring.
- Pola sub-contracting ke pihak yang sama: BUMN sering menggunakan subkontraktor tertentu; ketika pola ini eksklusif dan berulang, dapat menandakan kolusi.
- Perubahan aturan mendadak yang menguntungkan BUMN: misalnya, perubahan threshold yang memungkinkan direct award pada jenis proyek yang didominasi BUMN.
- Keluhan terus-menerus dari pelaku swasta: laporan tentang hambatan administrasi, akses informasi, atau intimidasi patut diinvestigasi.
- Harga yang konsisten lebih tinggi dibanding benchmarking: jika proyek-pusat yang dimenangkan BUMN menunjukkan premi harga signifikan tanpa alasan teknis, perlu diperiksa.
Deteksi dini via kombinasi data analytics (win-rate analysis, price variance, pattern recognition) dan mekanisme whistleblowing sangat efektif. Lalu, audit khusus yang menelaah tender history, deliberasi panel, dan komunikasi internal dapat mengungkap apakah dominasi terjadi karena legitimasi atau manipulasi.
Dalam praktik, bukan satu indikator yang menentukan, melainkan keterkaitan beberapa indikator yang membuat kasus kuat. Kebijakan yang responsif memerlukan prosedur investigasi yang cepat dan sanksi yang jelas ketika penyalahgunaan ditemukan.
8. Kebijakan remedial dan opsi reformasi untuk menciptakan level playing field
Setelah mengidentifikasi masalah, pembuat kebijakan dapat menerapkan paket kebijakan remedial. Pilihan harus disesuaikan konteks: reformasi bertahap lebih efektif daripada perubahan sekaligus yang berisiko membingungkan pasar.
1. Kebijakan pro-kompetisi
Terapkan aturan yang mendorong kompetisi: wajibkan tender terbuka untuk kategori tertentu, batasi direct award, dan tetapkan ambang minimum peserta. Selain itu, atur lotting untuk memecah paket besar supaya UKM dan pelaku swasta bisa ikut.
2. Phased preferential policy
Jika tujuan mendukung BUMN atau industri lokal, gunakan phasing: preferensi diberikan selama periode tertentu dan dikaitkan dengan target capaian (transfer teknologi, enhancement kapasitas supplier lokal). Setelah target tercapai, preferensi dikurangi.
3. Penguatan lembaga pengawas
Perkuat peran auditor eksternal, komisi pengadaan, dan otoritas persaingan; berikan wewenang investigasi dan rekomendasi sanksi administratif. Transparansi hasil audit publik meningkatkan deterrence.
4. Market development programs
Untuk mengurangi dominance yang tidak sehat, pemerintah bisa mendukung program capacity building bagi supplier swasta: kredit murah, training, fasilitas testing, dan inkubator bisnis. Ini meningkatkan kompetensi pasar swasta.
5. Requirements equivalence & procurement design
Desain persyaratan kualifikasi yang proporsional dan equivalence: terima kombinasi pengalaman international + key personnel lokal. Hindari persyaratan merek atau spesifikasi teknis yang terlalu tertutup.
6. Penggunaan third-party oversight
Untuk tender strategis, gunakan independent observers atau third-party evaluators untuk menambah legitimasi. Selain itu, gunakan e-procurement untuk mengurangi discretionary intervention.
7. Remedial sanctions
Kenakan sanksi administratif atau pembatalan kontrak bila ditemukan manipulasi process. Sanksi harus cukup besar untuk menjadi deterrent.
Kombinasi tindakan-sproactive (market development) dan repressive (sanksi) memberikan keseimbangan-mendorong persaingan sehat tanpa mengikis peran BUMN dalam menjalankan tugas publik yang sah.
9. Checklist operasional untuk panitia pengadaan agar proses adil walau ada BUMN peserta
Panitia pengadaan berada di garis depan penerapan kebijakan. Berikut checklist praktis yang membuat proses tetap adil ketika BUMN ikut serta:
Pra-Tender
- Lakukan market sounding untuk memastikan ada peserta swasta; dokumentasikan hasilnya.
- Desain TOR berbasis performance, bukan brand-specific.
- Tetapkan kategori paket (lotting) agar UMKM/pelaku kecil bisa berpartisipasi.
- Publikasikan procurement plan jauh-jauh hari untuk leveling expectations.
During Tender
- Terapkan conflict-of-interest declaration: anggota panel ungkap hubungan dengan BUMN.
- Gunakan anonymized bid opening untuk mengurangi bias.
- Verifikasi kualifikasi secara objektif (rubric tertulis dan terukur).
- Jika hanya BUMN yang mendaftar, lakukan market sounding ulang dan benchmarking harga sebelum award.
Evaluasi
- Simpan evaluasi scoring sheet lengkap dengan justifikasi.
- Minta validasi harga via benchmarking independen (market price, previous tenders).
- Libatkan fiscal/finance unit untuk analisis total cost of ownership.
Award & Post-Award
- Jika award diberikan ke BUMN, publish summary justification (market sounding, price analysis, mitigation).
- Terapkan performance guarantees, SLA, retention, dan right-to-audit.
- Jadwalkan audit ex-post dan monitoring independen.
- Pastikan kontrak mencakup transfer ilmu, subkontrak ke lokal bila ada target kapasitas.
Jika indikasi manipulasi
- Hentikan proses sementara dan laporkan ke unit compliance.
- If warranted, tutup tender, revisi TOR, dan lakukan re-tender.
- Gunakan mekanisme sanggah/sengketa untuk menangani keberatan.
Checklist ini membantu panitia membuat keputusan yang defensible di hadapan auditor dan publik, menjaga integritas proses sekaligus memastikan bahwa jika BUMN menang, keputusan tersebut bisa dipertanggungjawabkan dari sisi nilai publik.
Kesimpulan
Isu dominasi BUMN dalam tender adalah masalah multi-dimensi yang menuntut pendekatan seimbang. Di satu sisi, BUMN memainkan peran strategis dalam menyediakan layanan publik, menjalankan proyek besar, dan menstabilkan ekonomi. Di sisi lain, dominasi yang tidak terkontrol-baik melalui regulasi preferensial, desain tender yang bias, atau penyalahgunaan wewenang-berpotensi merusak persaingan, menurunkan efisiensi, dan menimbulkan beban fiskal. Kunci kebijakan adalah memastikan transparansi, segregasi peran, dan mekanisme pengawasan yang efektif sehingga BUMN dapat memenuhi mandat publiknya tanpa mengorbankan prinsip pengadaan yang baik.
Secara operasional, panitia pengadaan harus menerapkan praktik-proaktif: market sounding, desain TOR berbasis performa, conflict-of-interest declaration, benchmarking harga, dan audit ex-post. Pada level kebijakan, opsi reformasi meliputi phasing preferential policies, capacity building untuk pelaku swasta, serta penguatan lembaga pengawas. Dengan kombinasi kebijakan yang tegas namun proporsional, serta praktik tata kelola yang ketat, negara dapat memaksimalkan manfaat BUMN sekaligus menjaga pasar terbuka yang kompetitif – demi efisiensi anggaran, kualitas layanan publik, dan kesempatan ekonomi bagi sektor swasta.