Tender Alkes: Kenapa Sering Bermasalah?

Pendahuluan

Pengadaan alat kesehatan (alkes) sering menjadi sorotan publik karena frekuensi masalah yang tinggi: produk tidak sesuai spesifikasi, keterlambatan pengiriman, harga yang meroket, bahkan kasus penyuapan dan kolusi. Kompleksitas teknis alat medis, regulasi ketat, dan urgensi kebutuhan pelayanan kesehatan membuat proses tender alkes berbeda dari pengadaan barang umum. Di saat sama, nilai tender biasanya besar dan melibatkan banyak aktor – produsen, distributor, regulator, tenaga kesehatan, dan pengelola anggaran – sehingga potensi kegagalan dan manipulasi meningkat.

Artikel ini menguraikan penyebab mendasar mengapa tender alkes rawan masalah, mulai dari desain spesifikasi yang ambigu, kelemahan regulasi dan kapasitas panitia, peran vendor dan rantai suplai, hingga isu mutu, logistik, dan dinamika darurat (seperti pandemi). Selain menganalisis akar masalah, tulisan memberikan rekomendasi praktis dan teknis untuk memperbaiki proses: perbaikan tata kelola, standar teknis, mekanisme verifikasi, dukungan capacity building, serta langkah antikorupsi. Tujuannya membantu pembuat kebijakan, penanggung jawab pengadaan, dan praktisi kesehatan agar tender alkes bisa berjalan transparan, efisien, dan menghasilkan produk yang aman serta tepat guna bagi pasien.

1. Karakteristik Pasar Alkes yang Membuat Tender Rawan

Pasar alat kesehatan memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari sektor barang umum dan menjadi salah satu alasan utama tender alkes sering bermasalah.

  1. Sifat produk: banyak alkes (mis. ventilator, monitor, CT-scan) adalah barang teknis tinggi yang memerlukan standar keselamatan, sertifikasi, dan kompatibilitas dengan sistem rumah sakit. Produk semacam ini memiliki siklus hidup teknologi cepat, ketergantungan pada suku cadang spesifik, serta kebutuhan layanan purna jual dan pelatihan-semua faktor menambah kompleksitas pengadaan.
  2. Struktur industri: rantai pasok alkes kerap terfragmentasi. Produsen primer (OEM) sering berada di luar negeri; distributor lokal atau agen memegang peran utama dalam impor, sertifikasi lokal, dan layanan lapangan. Ketergantungan pada perantara ini membuka celah harga mark-up, keterlambatan impor, dan risiko “fronting” (penyedia lokal yang hanya menjadi muka). Di pasar tertentu pula, jumlah pemasok yang memenuhi standar terukur bisa terbatas-menciptakan situasi oligopoli dan menurunkan kompetisi.
  3. Regulasi dan sertifikasi: alkes tunduk pada regulasi kesehatan yang ketat-registrasi produk, uji klinis, dan persyaratan mutu (SNI/ISO/IEC). Proses registrasi butuh waktu, sehingga produk yang legal dan aman tidak selalu mudah tersedia cepat. Di sisi lain, regulasi yang rumit bisa dimanfaatkan untuk mengekang persaingan (mis. memperumit pra-kualifikasi), atau sebaliknya, regulasi longgar memungkinkan produk tidak memenuhi syarat lolos tender.
  4. Sensitivitas permintaan: permintaan alkes sering bersifat inelastis dan mendesak-rumah sakit membutuhkan alat untuk menyelamatkan nyawa. Kondisi darurat (pandemi, bencana) memperburuk hal ini karena kebutuhan mendesak memperkecil waktu evaluasi. Panitia cenderung memilih opsi cepat (direct purchase atau limited tender) yang meningkatkan risiko salah pilih dan manipulasi harga.
  5. Aspek finansial: nilai paket pengadaan alkes biasanya tinggi, menjadikan tender ini menarik bagi aktor oportunistik. Besarnya nilai juga berarti jaminan pelaksanaan, retensi, dan kapasitas pembiayaan menjadi isu-UMKM lokal sering kesulitan ikut serta. Akibatnya, pasar didominasi pemain besar yang memiliki akses modal dan jaringan internasional.

Kombinasi faktor teknis, struktur pasar, regulasi, urgensi, dan nilai membuat tender alkes penuh risiko. Tanpa mitigasi khusus-seperti pra-kualifikasi teknis yang solid, verifikasi manufaktur, dan pengelolaan rantai pasok-tender berisiko menghasilkan produk tidak aman, terlambat, atau terlalu mahal.

2. Kelemahan Desain Spesifikasi dan Dokumen Tender

Salah satu titik masalah paling sering adalah desain spesifikasi teknis yang buruk. Dokumen tender yang tidak tepat – terlalu ketat, ambigu, terlalu mengarah pada satu merek, atau malah terlalu umum – menyebabkan berbagai permasalahan: kegagalan operasional, sengketa penilaian, atau bahkan praktik kolusif.

  1. Spesifikasi over-prescriptive (mencantumkan merek). Panitia yang menuliskan merek atau parameter yang unik untuk satu produk bisa dianggap diskriminatif. Hal ini kerap terjadi bila perencanaan teknis dilakukan tanpa analisis pasar atau karena intervensi pihak berkepentingan. Dampaknya: kompetisi terbatasi dan alih-alih kualitas, proses jadi soal hubungan.
  2. Spesifikasi terlalu teknis tanpa kebutuhan klinis. Dokumen sering mengadopsi parameter teknis rumit yang tidak relevan dengan kebutuhan pelayanan. Contoh: meminta spesifikasi teknis yang hanya dipahami insinyur manufaktur namun tidak berhubungan dengan outcome klinis. Ini membuat evaluasi sulit dan memicu ketidaksesuaian antara alat dan kebutuhan pengguna akhir.
  3. Ambiguity dan kontradiksi dalam TOR. Frasa tidak jelas tentang acceptance test, standar mutu, atau layanan purna jual membuka ruang interpretasi. Vendor mungkin menafsirkan sesuai kepentingan sehingga produk yang diterima tidak sesuai harapan. Ketiadaan acceptance test yang terukur (functional test, FAT/SAT) membuat penolakan sulit.
  4. Kurangnya requirement untuk dukungan purna jual. Tender sering fokus pada harga dan spesifikasi hardware, mengabaikan garansi, availability suku cadang, training operator, dan kontrak maintenance. Padahal alat medis memerlukan kalibrasi dan service rutin; ketiadaan ketentuan ini berdampak pada downtime dan biaya operasional tinggi.
  5. Ketiadaan uji lapangan dan pilot. Untuk alat dengan dampak klinis besar, model pilot atau evaluasi di fasilitas percontohan dapat mengurangi risiko kesalahan akuisisi. Namun tender banyak yang langsung memesan volume besar tanpa uji kelayakan.

Untuk memperbaiki, tim perencanaan harus melibatkan tim klinis, teknis, dan logistik sejak awal. Spesifikasi harus berbasis outcome (performance-based specification) bukan hanya atribut fisik. Sertakan acceptance test jelas (parameter, prosedur, criteria), requirement maintenance & spare parts (MTBF, waktu respon teknisi), serta klausul training dan transfer knowledge. Bila perlu, lakukan market sounding dan draft tender review oleh pihak independen untuk mencegah klausul yang mengarahkan.

3. Kapasitas Panitia dan Governance Pengadaan

Kualitas panitia pengadaan memainkan peran sentral. Seringkali masalah muncul karena panitia kurang kompeten secara teknis dan manajerial untuk menilai produk alkes yang kompleks. Ketidakmampuan ini menimbulkan risiko kebijakan keliru dan mempermudah manipulasi.

  1. Kekurangan kompetensi teknis: panitia yang menyusun dan mengevaluasi tender alkes harus memahami aspek klinis, standar keselamatan, interoperability, dan kebutuhan pelayanan. Namun di banyak instansi, panitia terdiri dari pegawai administrasi yang dilatih singkat tanpa dukungan dokter, biomedical engineer, atau teknisi alat kesehatan. Hasilnya spesifikasi buruk, evaluasi tidak mendalam, dan klaim vendor sulit diverifikasi.
  2. Conflict of interest dan governance lemah: bila anggota panitia memiliki hubungan bisnis atau personal dengan vendor, keputusan tender bisa condong. Mekanisme deklarasi konflik, rotasi personel, dan audit independen sering tidak diterapkan ketat. Selain itu, tekanan politis atau tuntutan cepat (misal dari pimpinan rumah sakit) menambah peluang kompromi integritas.
  3. Proses evaluasi yang tidak standar. Ada panitia yang mengutamakan harga tanpa penyeimbangan technical scoring yang baik. Tata cara scoring yang kabur memicu keberatan dan gugatan. Evaluasi harus transparan, terdokumentasi, dan menggunakan kriteria kuantitatif – mis. bobot teknis x, komersial y, service z – serta rubrik penilaian yang jelas.
  4. Keterbatasan sistem informasional. Penggunaan e-procurement tanpa integrasi data teknis dan riwayat vendor membuat panitia kesulitan melakukan due diligence. Sistem seharusnya menyimpan record performance vendor, klaim garansi, dan feedback pengguna sehingga panitia berikutnya bisa referensi.
  5. Lemahnya mekanisme oversight & audit. Tanpa audit operasional rutin, pola problematic berulang tak terdeteksi. Badan pengawas internal atau eksternal perlu memeriksa ketepatan proses, penggunaan jaminan, dan aduan. Adanya saluran whistleblower yang bergaransi kerahasiaan membantu deteksi dini praktik curang.

Perbaikan kapasitas harus mencakup training periodik untuk panitia (teknis alkes, evaluasi risiko), pembentukan tim review klinis dan teknis, aturan mandatory conflict of interest, deployment SOP evaluasi kualitatif-kuantitatif, dan penguatan sistem e-procurement dengan modul technical checklist. Penguatan governance akan mengurangi subjektivitas dan meningkatkan akuntabilitas.

4. Korupsi, Kolusi, dan Konflik Kepentingan

Tender alkes berisiko tinggi terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme karena kombinasi nilai besar, kompleksitas teknis, dan kebutuhan mendesak. Bentuk buruknya dapat berupa pengaturan pemenang, suap, penggelembungan harga, hingga penyusunan spesifikasi untuk menguntungkan pihak tertentu.

  1. Bid rigging – beberapa pelaku pasar berkolusi untuk mengatur pemenang. Mereka bisa berbagi informasi harga, menahan penawaran tertentu, atau menyusun strategi pembagian wilayah sehingga seolah-olah kompetisi terjadi tetapi hasil sudah ditentukan. Bid rigging sulit dideteksi tanpa analisis forensik tender (pattern of bids, win rates, improbable pricing).
  2. Suap dan komisi tersembunyi juga terjadi: vendor membayar kompensasi kepada oknum panitia atau pemutus kebijakan untuk memuluskan proses. Di samping dana langsung, fasilitas lain seperti kontrak maintenance jangka panjang atau subkontrak kepada pihak terafiliasi menjadi cara memindahkan benefit.
  3. Fronting dan fake joint-ventures digunakan untuk memenuhi syarat lokal atau MWBE (minority/women-owned business) sementara pekerjaan sesungguhnya dikerjakan oleh entity besar. Ini merugikan kebijakan pemberdayaan lokal dan menutup peluang UMKM.
  4. Insider procurement – ketika informasi internal bocor ke calon pemenang (seperti daftar calon pemenang, evaluasi awal, atau draft ruh tender)-memudahkan vendor memposisikan diri. Mekanisme kontrol akses informasi dan logging aktivitas sistem e-procurement harus diperketat.

Dampak praktik ini bukan hanya kerugian finansial-membayar lebih mahal untuk produk yang tidak sesuai-tetapi juga membahayakan pasien ketika kualitas alat dipertaruhkan. Selain itu, reputasi lembaga rusak dan potensi litigasi meningkat.

Untuk mitigasi, perlu kombinasi pendekatan: penguatan transparansi (publikasi TOR, pemenang, evaluation report), audit independen, pengenaan sanksi pidana/administratif yang tegas, penggunaan analitik anti-fraud (detect unusual patterns), serta saluran pengaduan yang terlindungi. Rotasi panitia, aturan gift/entertainment policy, dan mandatory cooling-off period bagi pegawai yang hendak bekerja untuk vendor juga mengurangi risiko.

Pencegahan budaya korupsi memerlukan komitmen pimpinan, dukungan unit anti-korupsi, serta kolaborasi dengan KPK/badan anti-korupsi setempat untuk pengawasan khusus pada pengadaan bernilai tinggi seperti alkes.

5. Isu Mutu, Verifikasi, dan Pengujian Alat

Masalah mutu merupakan inti dari isu tender alkes. Alat kesehatan yang dibeli tetapi tidak memenuhi spesifikasi, atau datang tanpa dokumentasi dan sertifikasi yang valid, mengancam keselamatan pasien serta operasional fasilitas kesehatan.

  1. Verifikasi dokumen dan sertifikasi. Sertifikat registrasi obat/alkes (BPOM/Notified Body/CE/ FDA equivalents), SOP instalasi, manual operasi, dan sertifikat kalibrasi harus diverifikasi. Namun praktik verifikasi sering superfisial: dokumen dipindai tanpa konfirmasi ke badan penerbit atau tanpa cross-check authenticity. Penerapan e-verification dan direct confirmation ke regulator meningkatkan keandalan.
  2. Lack of acceptance testing (FAT & SAT). Factory Acceptance Test (FAT) dan Site Acceptance Test (SAT) adalah prosedur penting untuk memastikan alat bekerja sesuai klaim sebelum serah terima. Banyak tender tidak mensyaratkan FAT/SAT yang terukur atau membiarkan acceptance berdasarkan dokumen tanpa pengujian fungsional, menyebabkan penerimaan alat yang cacat.
  3. Quality control in delivery & installation. Alat kompleks memerlukan instalasi oleh teknisi berkompeten. Kegagalan instalasi menyebabkan alat tidak optimal. Klausul kontrak harus mencakup requirement sertifikasi teknisi, waktu instalasi, dan acceptance criteria.
  4. Spare parts & service level. Ketersediaan suku cadang dan waktu respon teknisi menjadi penentu uptime. Konkretkan dalam kontrak: MTTR (Mean Time To Repair), MTBF (Mean Time Between Failures), waktu respon teknis 24/48 jam, stock spare tertentu di wilayah, dan penalty untuk downtime berlebih.
  5. Data & traceability. Sistem pelacakan batch, serial number, dan history maintenance harus dipelihara. Ini penting untuk recall atau penanganan kasus safety. Permintaan dokumentasi traceability dalam tender membantu mitigasi.

Solusi: memperjelas requirement FAT/SAT dalam TOR dengan checklist pengujian, mewajibkan produsen menyediakan teknisi bersertifikat untuk instalasi, menetapkan SLA maintenance dan stock suku cadang, menggunakan third-party testing labs atau klinis auditor independen untuk verifikasi, dan memanfaatkan digital tools (asset management, QR code) untuk traceability. Pengadaan harus memperlakukan mutu sebagai bagian dari total cost of ownership, bukan hanya biaya pembelian.

6. Tantangan Logistik, Import, dan Rantai Suplai

Rantai suplai alkes global menyebabkan tantangan logistik yang memengaruhi waktu pengiriman, biaya, dan keandalan pengadaan. Keterlambatan, bea masuk, dan kesalahan handling dapat merusak alat sensitif.

  1. Ketergantungan impor. Banyak komponen/keseluruhan alkes diimpor. Proses impor memerlukan dokumen tersendiri: sertifikat asal, lisensi importir, clearance bea cukai. Jika panitia tidak mengantisipasi lead time impor (customs clearance, shipping), kebutuhan kritis terlambat terpenuhi.
  2. Pengendalian suhu dan penanganan khusus. Beberapa alat atau komponen (sensor, reagent) memerlukan cold chain atau kondisi penyimpanan spesifik. Handling yang salah selama transit dapat menyebabkan kerusakan yang tidak terlihat sampai instalasi, berdampak pada kegagalan fungsi.
  3. Ketergantungan pada distributor tunggal. Jika hanya ada satu distributor resmi di negara, masalah pasokan suku cadang dan garansi bertumpu pada satu pihak. Ini meningkatkan risiko monopoli harga dan downtime bila distributor tidak responsif.
  4. Perizinan impor darurat vs prosedur standar. Dalam situasi darurat, pemerintahan mungkin melonggarkan proses impor-tetapi jika tidak diatur rapih, pelonggaran ini disalahgunakan untuk mengimpor produk yang tidak sesuai standar atau palsu. Prosedur darurat perlu checklist quality assurance minimal.
  5. Logistik domestic & in-country distribution. Pengiriman dari pelabuhan ke fasilitas kesehatan wilayah terpencil memerlukan penanganan lanjutan: pengangkutan darat, izin transportasi, dan fasilitas penyimpanan di rumah sakit. Infrastruktur buruk menambah risiko keterlambatan.

Mitigasi: buat perencanaan lead time yang realistis, libatkan logistic officer sejak perencanaan tender, sertakan requirement handling and storage conditions di dokumen, pastikan distributor resmi memiliki fasilitas stock regional dan SLA untuk spare parts. Untuk impor, establish pre-clearance channels dengan bea cukai, dan gunakan trusted freight forwarders berpengalaman di alkes. Dalam situasi darurat, tetap terapkan rapid QA: sample testing and batch verification sebelum commissioning.

7. Peran Vendor dan Praktik Penawaran

Vendor adalah aktor kunci. Taktik bisnis, strategi harga, dan etika vendor berdampak besar pada hasil tender. Perilaku vendor yang oportunistik memicu masalah kualitas, layanan, dan kepatuhan.

  1. Pricing strategy & low-balling. Vendor terkadang memasang harga sangat rendah untuk memenangkan tender (low-balling), berharap menutup melalui perubahan pesanan (change orders), penjualan spare parts mahal, atau mengurangi layanan purna jual. Untuk mencegah ini, evaluasi harga harus mempertimbangkan total cost of ownership-harga, warranty, training, dan siklus maintenance-bukan hanya harga awal.
  2. Penyediaan dokumentasi palsu. Seperti disebut sebelumnya, vendor bisa menyerahkan sertifikat, jaminan bank palsu, atau referensi fiktif. Verifikasi dokumenter dan referensi lapangan penting.
  3. Manajemen aftersales. Vendor yang buruk sering terlambat merespon servis. Dalam kontrak, penalties untuk non-kompliance SLA, jaminan uptime, dan requirement stock suku cadang harus diterapkan.
  4. Partnership dan capacity building. Vendor baik tidak hanya menjual produk tetapi juga transfer knowledge: training staf, dokumentasi teknis bahasa lokal, dan dukungan remote. Negosiasikan deliverables terkait training dan knowledge transfer secara eksplisit.
  5. Strategi konsorsium. Vendor bisa membentuk konsorsium untuk memenuhi requirement tender (mis. perusahaan importir + distributor lokal + service provider). Kontrak harus menjelaskan tanggung jawab masing-masing pihak-lead vendor tetap bertanggung jawab-untuk menghindari passing-the-buck.

Untuk pengadaan yang sehat, panitia harus mensyaratkan: proof of performance (case studies, references), capacity evidence (local service centers), financial standing, SCA/KPI performance, serta mekanisme perubahan kontrak yang transparan. Evaluasi non-price scoring memberikan bobot pada aftersales dan kapasitas lokal, menyeimbangkan kemenangan atas dasar harga semata.

8. Tantangan Pengadaan Darurat: Belajar dari Pandemi

Pandemi COVID-19 mengungkapkan kelemahan pengadaan alkes saat kondisi darurat: kebutuhan mendesak, pasar global terguncang, dan risiko penyediaan barang berkualitas rendah meningkat. Namun ada pelajaran yang dapat diambil.

Selama krisis, banyak pemerintah menerapkan direct procurement atau penyederhanaan prosedur untuk mempercepat pembelian. Meskipun efektif untuk speed, langkah ini membuka ruang salah pilih: alat tanpa sertifikasi, kontrak harga tinggi, dan tindak lanjut pelayanan yang lemah. Oleh karena itu perlu keseimbangan: cepat tapi tetap menerapkan QA minimal.

Krisis menyoroti ketergantungan impor. Ketika rantai global terganggu, akses ke alkes kritikal (PPE, ventilator) menipis. Strategi mitigasi meliputi pengembangan kapasitas manufaktur lokal, diversifikasi supplier, dan pre-agreements (framework agreements) untuk akses prioritas.

Transparansi juga jadi isu penting: procurement in emergency harus disertai publikasi kontrak singkat dan daftar vendor untuk mengurangi persepsi nepotisme. Beberapa negara sukses karena menerapkan rapid procurement + transparency: kontrak dipublish, dan ada audit pasca-event.

Pandemi juga memicu inovasi: kolaborasi sektor swasta-akademia untuk produksi lokal, reuse of open-source ventilator designs, dan penggunaan platform digital untuk match-making supply-demand. Namun penggunaan desain open-source harus disertai verifikasi klinis.

Rekomendasi untuk pengadaan darurat: siapkan pre-approved supplier list dengan due diligence di waktu normal; tetapkan emergency procurement protocol yang mencakup minimal QA & testing; gunakan framework contracts with price caps; lakukan post-procurement audit; dan invest in local manufacturing resilience. Kesiapan ini mengurangi kebutuhan melakukan pembelian panik tanpa kontrol saat krisis.

9. Solusi Praktis dan Rekomendasi Kebijakan

Mengatasi masalah tender alkes memerlukan intervensi pada beberapa level: regulasi, organisasi, teknis, dan pasar. Berikut rekomendasi praktis yang bisa diimplementasikan.

  1. Perbaikan spesifikasi berbasis outcome
    • Gunakan performance-based specifications. Libatkan tenaga klinis dan biomedical engineer saat menyusun TOR. Terapkan checklist FAT/SAT yang wajib dilampirkan untuk acceptance.
  2. Strengthen procurement governance
    • Bentuk tim pengadaan khusus alkes yang beranggotakan klinisi, teknisi, procurement officer. Terapkan rota dan deklarasi konflik kepentingan. Gunakan rubrik evaluasi kuantitatif-kuantitatif.
  3. Capacity building & knowledge sharing
    • Pelatihan reguler bagi panitia: standar alkes, QA, dan evaluasi teknis. Buat pusat sumber daya (guideline, model TOR, benchmark harga) untuk referensi nasional/regional.
  4. Transparansi & digitalisasi
    • Publikasikan dokumen tender, pemenang, dan evaluation report. Integrasikan e-procurement dengan registri vendor, track record, dan mekanisme verifikasi sertifikat. Sistem registri alat dan maintenance record memperkaya data evaluasi.
  5. Pre-qualification & framework agreements
    • Lakukan pra-kualifikasi vendor berdasarkan performance, capacity service center, dan financial health. Gunakan framework contracts untuk kebutuhan rutin sehingga purchase orders bisa lebih cepat dan vetted.
  6. Guarantee lokal service & spare parts
    • Syaratkan minimal stock spare di regional hub dan waktu respon maksimal. Sertakan penalti untuk non-compliance SLA.
  7. Anti-fraud measures
    • Implementasikan analytics untuk detect anomalous bidding patterns, rotasi panitia, audit eksternal, dan saluran whistleblower. Terapkan sanksi administrasi dan pidana yang jelas.
  8. Encourage local industry & diversification
    • Dorong transfer teknologi, insentif manufaktur lokal untuk alat sederhana, dan partnerhip public-private untuk memperkuat ketahanan supply.
  9. Emergency procurement playbook
    • Siapkan protokol darurat dengan daftar pre-approved suppliers, rapid QA checklist, dan post-event audit requirement.
  10. Monitoring & evaluation (M&E)
    • Tetapkan KPI: waktu penyelesaian tender, tingkat kepatuhan FAT/SAT, downtime alat, waktu respon servis, dan tingkat keberhasilan implementasi. Hasil M&E dipublikasikan untuk accountability.

Kombinasi policy reform, capacity building, dan solusi teknologi menciptakan lingkungan pengadaan alkes yang lebih kuat-mengurangi risiko kegagalan, meningkatkan keselamatan pasien, dan memastikan anggaran kesehatan dipergunakan secara efektif.

Kesimpulan

Tender alat kesehatan sering bermasalah karena perpaduan faktor: sifat teknis produk, fragmentasi pasar, kelemahan desain spesifikasi, kapasitas panitia yang terbatas, praktik korupsi/kolusi, serta tantangan logistik dan kondisi darurat. Dampaknya bukan sekadar kerugian finansial-kesalahan pengadaan dapat mengancam keselamatan pasien dan menurunkan kepercayaan publik. Namun masalah ini bukan tak terselesaikan. Pendekatan komprehensif yang menggabungkan perbaikan teknis (performance-based specs, FAT/SAT), penguatan governance (tim khusus, anti-conflict policies), digitalisasi dan transparansi, dukungan kapasitas vendor lokal, serta kebijakan untuk kesiapsiagaan darurat dapat mengurangi frekuensi dan dampak masalah.

Kuncinya adalah kolaborasi lintas-disiplin: klinisi, teknisi biomedical, procurement specialist, regulator, dan civil society harus terlibat sejak tahap perencanaan. Investasi pada kemampuan institusional-pelatihan, sistem informasi, dan mekanisme audit-membayar kembali dalam bentuk pengadaan yang lebih cepat, aman, dan bernilai. Dengan langkah-langkah praktis dan komitmen politik yang kuat, tender alkes bisa berubah dari titik lemah menjadi komponen andalan dalam sistem pelayanan kesehatan yang andal dan berkelanjutan.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *