Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah rangkaian proses yang kompleks, melibatkan berbagai pihak dengan tugas dan tanggung jawab khusus. Dua aktor kunci yang sering dianggap serupa namun memiliki peran berbeda adalah Pokja Pemilihan (Kelompok Kerja Pemilihan) dan Pejabat Pengadaan. Memahami perbedaan keduanya penting agar tata kelola pengadaan berjalan efektif, transparan, dan akuntabel. Dalam artikel ini, kita akan membahas definisi, landasan hukum, tugas, wewenang, interaksi, tantangan, hingga rekomendasi best practice untuk keduanya.
1. Definisi dan Fungsi Utama
1.1 Pokja Pemilihan
Kelompok Kerja (Pokja) Pemilihan adalah tim teknis yang dibentuk oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ) untuk menjalankan proses pemilihan penyedia barang/jasa pemerintah sesuai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peran Pokja sangat krusial karena menjadi garda depan dalam memastikan proses evaluasi penawaran dilakukan secara profesional, adil, dan tidak memihak.
Dalam praktiknya, Pokja Pemilihan bekerja secara kolektif dan kolegial. Artinya, setiap keputusan hasil evaluasi merupakan hasil diskusi dan pertimbangan seluruh anggota tim, bukan keputusan sepihak. Struktur keanggotaannya biasanya mencakup unsur teknis (misalnya, ahli konstruksi atau TI), keuangan (yang memahami analisis harga), serta unsur hukum (yang menguasai aspek legalitas penyedia dan kontrak). Kombinasi ini dirancang untuk menjamin bahwa evaluasi administrasi, teknis, dan harga dapat berjalan menyeluruh dan sesuai standar.
Pokja bertugas mulai dari menyiapkan dokumen evaluasi, membuka penawaran, memeriksa dokumen legalitas, mengevaluasi spesifikasi teknis dan harga, hingga membuat berita acara hasil evaluasi yang disampaikan kepada PPK. Pokja tidak memiliki kewenangan untuk menandatangani kontrak atau menetapkan pemenang secara langsung, melainkan hanya memberikan rekomendasi yang bersifat profesional kepada PPK atau Pejabat Pengadaan.
1.2 Pejabat Pengadaan
Berbeda dengan Pokja Pemilihan yang bersifat kolektif, Pejabat Pengadaan adalah individu yang ditunjuk oleh PPK untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa secara langsung, terutama pada paket dengan nilai kecil, atau bertindak atas nama PPK dalam berbagai tahap kegiatan pengadaan.
Pejabat Pengadaan memiliki fungsi yang lebih menyeluruh dalam siklus pengadaan, mulai dari tahap perencanaan, persiapan, pemilihan penyedia, hingga pelaksanaan dan pengawasan kontrak. Dalam pengadaan langsung, Pejabat Pengadaan bertanggung jawab penuh atas proses identifikasi kebutuhan, penyusunan spesifikasi teknis, penyampaian undangan kepada penyedia, klarifikasi dan negosiasi harga, hingga penerbitan Surat Pesanan dan penandatanganan kontrak.
Pejabat Pengadaan juga bisa berperan dalam menindaklanjuti rekomendasi hasil evaluasi dari Pokja, seperti melakukan klarifikasi, menyampaikan penetapan pemenang, serta menjamin dokumen hasil evaluasi terdokumentasi dengan baik. Peran ini menuntut integritas tinggi karena berhadapan langsung dengan vendor dan pengambilan keputusan administratif yang berdampak langsung terhadap penggunaan anggaran negara.
Meskipun peran Pokja dan Pejabat Pengadaan saling terhubung dalam siklus pengadaan, keduanya tetap memiliki pembagian kerja yang tegas. Pokja berfokus pada teknis evaluasi dan analisis objektif terhadap penawaran, sementara Pejabat Pengadaan lebih ke sisi administratif, legal, dan otorisasi formal atas hasil pengadaan.
2. Landasan Hukum
2.1 Perpres No. 16/2018 dan Perubahannya
Keberadaan dan pembagian tugas antara Pokja Pemilihan dan Pejabat Pengadaan dijabarkan secara eksplisit dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, beserta perubahannya. Beberapa pasal penting dalam Perpres ini memberikan kerangka hukum bagi struktur dan fungsi masing-masing peran.
- Pasal 43
menyatakan bahwa untuk pengadaan dengan nilai tertentu, PPK dapat membentuk Pokja Pemilihan sebagai pelaksana teknis proses seleksi. Ini memperjelas bahwa Pokja tidak selalu wajib dibentuk, namun dibutuhkan untuk memastikan proses pengadaan yang kompleks dan bernilai besar dapat dikerjakan oleh tim yang kompeten dan objektif. - Pasal 44-47
mengatur secara rinci tugas Pokja Pemilihan, antara lain menyusun dokumen pemilihan, melaksanakan evaluasi administrasi, teknis, dan harga, serta menyusun berita acara evaluasi sebagai dasar penetapan pemenang oleh PPK atau Pejabat Pengadaan. - Pasal 32-42
membahas tugas, fungsi, dan kewenangan PPK serta Pejabat Pengadaan. Di sini dijelaskan bahwa Pejabat Pengadaan melaksanakan pengadaan langsung dan bertanggung jawab dalam tahapan pelaksanaan kontrak. Selain itu, dalam konteks paket-paket kecil, Pejabat Pengadaan dapat berperan penuh tanpa perlu melibatkan Pokja.
Perpres ini memberi fleksibilitas kepada UKPBJ dan PPK untuk menyesuaikan struktur pengadaan sesuai kompleksitas, nilai anggaran, serta ketersediaan sumber daya manusia.
2.2 Peraturan LKPP
Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 9 Tahun 2020 menjadi rujukan teknis penting yang melengkapi peraturan presiden. Dalam perlem ini dijelaskan secara rinci tata kerja Pokja dan Pejabat Pengadaan, termasuk standar kompetensi yang harus dipenuhi, alur kerja, serta format dokumen yang sah.
Beberapa poin penting antara lain:
- Pokja harus memiliki sertifikasi kompetensi tingkat dasar dan/atau tingkat lanjutan tergantung pada kompleksitas pengadaan.
- Pejabat Pengadaan juga wajib memahami prinsip-prinsip pengadaan serta mampu menyusun dokumen kontrak yang sah secara hukum.
- Terdapat format standar untuk Berita Acara Evaluasi, Surat Penetapan Pemenang, dan dokumen klarifikasi yang wajib digunakan agar akuntabilitas dapat dipertanggungjawabkan.
Perlem ini menjadi panduan harian bagi pelaksana pengadaan dalam menyusun proses kerja yang efektif dan patuh hukum.
2.3 Prinsip Pengadaan
Keduanya, baik Pokja maupun Pejabat Pengadaan, wajib mematuhi prinsip-prinsip pengadaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 dan Pasal 62 Perpres 16/2018, yaitu:
- Efisien: Proses pengadaan harus mengoptimalkan sumber daya tanpa pemborosan.
- Efektif: Hasil pengadaan harus sesuai kebutuhan dan tepat waktu.
- Transparan: Semua proses harus terdokumentasi dan terbuka untuk diperiksa.
- Akurat: Informasi dalam dokumen harus sahih dan terverifikasi.
- Akun tabel: Setiap keputusan harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral.
- Adil dan Tidak Diskriminatif: Semua penyedia memiliki hak yang sama tanpa keberpihakan.
Pelaksanaan prinsip-prinsip ini menuntut integritas tinggi dan profesionalisme yang konsisten dari seluruh aktor pengadaan, termasuk Pokja dan Pejabat Pengadaan.
3. Tugas Pokja Pemilihan
Tugas Pokja Pemilihan tidak hanya sebatas membuka amplop penawaran atau menghitung harga, tetapi mencakup rangkaian kerja teknis yang kompleks, sistematis, dan penuh tanggung jawab. Berikut adalah penjabaran lengkap tugas-tugas tersebut:
3.1 Menyiapkan Dokumen Evaluasi
Langkah awal Pokja adalah menyusun Dokumen Pemilihan yang mencakup kriteria dan metode evaluasi. Di sinilah Pokja menentukan apakah penilaian menggunakan sistem nilai, harga terendah, atau sistem gugur. Penyusunan ini melibatkan:
- Rubrik evaluasi teknis: misalnya poin untuk pengalaman kerja serupa, ketersediaan personel ahli, atau metode pelaksanaan.
- Price schedule: struktur pembobotan harga per komponen pekerjaan.
- Ketentuan evaluasi berjenjang atau simultan.
Dokumen ini menjadi dasar sah proses seleksi dan wajib disusun secara transparan serta konsisten dengan Rencana Umum Pengadaan (RUP) dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
3.2 Melakukan Evaluasi Administrasi
Evaluasi ini bertujuan menyaring penyedia berdasarkan legalitas awal. Pokja memverifikasi:
- Nomor Induk Berusaha (NIB), SIUP, NPWP, Sertifikat Badan Usaha (SBU).
- Tanda tangan dokumen, jangka waktu penawaran, dan surat pernyataan.
- Kesalahan atau ketidaksesuaian minor yang masih bisa diklarifikasi.
Setiap temuan dicatat dalam Berita Acara Evaluasi Administrasi yang disusun untuk menunjukkan transparansi dan akuntabilitas pemeriksaan.
3.3 Melakukan Evaluasi Teknis
Pokja kemudian mengevaluasi kesesuaian teknis penawaran terhadap spesifikasi kebutuhan. Ini termasuk:
- Verifikasi terhadap deskripsi teknis barang atau jasa.
- Pemeriksaan terhadap metode kerja, kurikulum pelatihan, atau dokumen desain.
- Validasi sample fisik atau demo produk, terutama untuk barang teknologi.
Pokja wajib menggunakan rubric penilaian yang objektif, terukur, dan didasarkan pada kebutuhan nyata unit kerja. Proses ini sering memerlukan klarifikasi ke penyedia atau konsultasi dengan tim ahli.
3.4 Melakukan Evaluasi Harga
Setelah lolos teknis, penawaran dinilai berdasarkan kewajaran harga. Pokja:
- Membandingkan harga penawaran dengan HPS.
- Mendeteksi penawaran yang terlalu rendah (unreasonably low bid).
- Melakukan klarifikasi harga dan memverifikasi rincian biaya langsung dan tidak langsung.
Evaluasi ini juga mempertimbangkan komponen PPN, biaya overhead, margin keuntungan wajar, dan durasi pelaksanaan. Kejelian Pokja menentukan apakah harga tersebut realistis untuk menghindari risiko pekerjaan mangkrak atau kualitas buruk.
3.5 Menyusun Rekomendasi Pemenang
Setelah proses evaluasi selesai, Pokja menyusun Berita Acara Hasil Evaluasi lengkap yang mencantumkan skor teknis dan harga tiap penyedia, beserta argumen pemilihan pemenang. Rekomendasi ini bersifat tertulis dan menjadi dasar bagi Pejabat Pengadaan atau PPK untuk menetapkan penyedia.
Dokumen ini penting sebagai bahan audit internal, pengawasan Inspektorat, BPK, maupun pengaduan dari penyedia yang kalah.
3.6 Menjaga Integritas Proses
Sepanjang proses, Pokja diwajibkan menjaga integritas melalui:
- Menghindari konflik kepentingan (contoh: memiliki hubungan keluarga dengan penyedia).
- Menandatangani pakta integritas.
- Merekam proses evaluasi dalam audit trail SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik).
- Tidak melakukan kontak langsung dengan penyedia kecuali untuk klarifikasi resmi.
Pokja tidak boleh memanipulasi nilai, mengubah metode evaluasi di tengah jalan, atau membocorkan informasi kepada peserta.
4. Tugas Pejabat Pengadaan
Pejabat Pengadaan adalah aktor penting dalam siklus pengadaan yang bertanggung jawab penuh terhadap aspek administratif, substantif, dan legal dalam keseluruhan proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Meskipun Pokja Pemilihan fokus pada evaluasi teknis dan administratif, Pejabat Pengadaan adalah pengambil keputusan akhir yang menetapkan pemenang dan menjamin integritas pengadaan. Tugasnya terbagi dalam beberapa tahapan penting:
a. Penetapan dan Pengumuman Tender
Tugas awal Pejabat Pengadaan dimulai setelah menerima Rencana Umum Pengadaan (RUP) dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Berdasarkan RUP, Pejabat Pengadaan menyusun Dokumen Pemilihan (DP), yang merupakan panduan formal seluruh proses seleksi penyedia. DP harus disusun sesuai regulasi yang berlaku seperti Perpres 12/2021 dan Perlem LKPP terbaru, mencakup spesifikasi teknis, syarat kualifikasi, jadwal kegiatan, serta metode evaluasi. Setelah final, DP diumumkan melalui sistem LPSE sebagai bagian dari transparansi dan akuntabilitas publik.
b. Membentuk Pokja dan Menyetujui Rekomendasi
Pejabat Pengadaan bertindak sebagai “pengarah lapangan” dalam proses pengadaan. Ia bertanggung jawab dalam membentuk Pokja Pemilihan-biasanya terdiri dari ASN atau personel bersertifikat yang memahami teknis pengadaan. Setelah Pokja melaksanakan evaluasi dokumen dan menyampaikan rekomendasi calon pemenang, Pejabat Pengadaan harus memverifikasi kesesuaian hasil tersebut terhadap DP dan regulasi. Jika ditemukan ketidaksesuaian, Pejabat Pengadaan berwenang meminta revisi atau klarifikasi ulang, memastikan tidak ada cacat prosedur yang berpotensi menjadi temuan hukum atau audit.
c. Negosiasi Pra-Award
Setelah identifikasi pemenang lelang dilakukan, Pejabat Pengadaan dapat mengadakan negosiasi sebelum kontrak ditandatangani. Negosiasi ini bisa meliputi aspek harga (agar efisien dan kompetitif), waktu pelaksanaan, ruang lingkup pekerjaan, atau persyaratan jaminan. Dalam hal ini, keterampilan komunikasi, pemahaman teknis, serta integritas mutlak diperlukan karena negosiasi adalah tahap krusial yang dapat memengaruhi efektivitas pelaksanaan proyek. Hasil negosiasi ini harus didokumentasikan dengan lengkap dalam Berita Acara Negosiasi (BAN) yang ditandatangani oleh kedua belah pihak.
d. Penetapan Pemenang dan Penandatanganan Kontrak
Setelah negosiasi selesai dan tidak ada sanggahan dari peserta lainnya, Pejabat Pengadaan menerbitkan Surat Penetapan Penyedia (SPP). Surat ini adalah dasar hukum bagi penyedia untuk memulai pekerjaan. Setelah itu, Pejabat Pengadaan menandatangani kontrak sesuai dengan nilai, jadwal, dan isi pekerjaan yang telah disepakati. Penandatanganan kontrak ini juga menandai dimulainya fase pelaksanaan pengadaan secara resmi.
e. Monitoring Pelaksanaan Kontrak
Meski pelaksanaan teknis sering menjadi tanggung jawab PPK dan pengawas lapangan, Pejabat Pengadaan tetap melakukan monitoring administratif, seperti verifikasi dokumen serah terima, jaminan pelaksanaan, dan keabsahan perubahan kontrak (addendum). Jika penyedia tidak memenuhi kewajibannya, Pejabat Pengadaan bisa menegur, memberikan peringatan tertulis, hingga mencantumkan penyedia dalam daftar hitam.
f. Pertanggungjawaban Administratif
Pejabat Pengadaan tidak hanya bekerja untuk menyelesaikan proyek, tetapi juga untuk menjamin akuntabilitasnya. Ia harus menyampaikan laporan pelaksanaan pengadaan kepada PPK, Inspektorat, dan jika diperlukan, BPK. Semua dokumen harus disimpan dengan tertib: dari DP, berita acara evaluasi, dokumen klarifikasi, surat sanggah, hingga kontrak dan bukti serah terima. Ketelitian dan transparansi dalam dokumentasi inilah yang membedakan antara proses pengadaan yang profesional dan yang rawan temuan.
Pejabat Pengadaan pada akhirnya adalah penanggung jawab utama atas sah atau tidaknya seluruh proses pengadaan. Tindakannya memiliki implikasi hukum yang serius, sehingga seluruh keputusan harus didasarkan pada prosedur baku dan bukti yang lengkap.
5. Perbandingan Pokja Pemilihan vs. Pejabat Pengadaan
Untuk memahami bagaimana proses pengadaan bekerja secara sistematis, penting untuk membedakan dua entitas utama: Pokja Pemilihan dan Pejabat Pengadaan. Kedua aktor ini sering disalahpahami publik sebagai satu entitas yang sama, padahal fungsi dan tanggung jawabnya sangat berbeda.
Aspek | Pokja Pemilihan | Pejabat Pengadaan |
---|---|---|
Status | Tim teknis ad hoc | Pejabat fungsional mandiri |
Direktif Pembentukan | Dibentuk oleh PPK atau PA | Diangkat langsung oleh PPK/PA |
Ruang Lingkup | Fokus pada evaluasi penawaran (administrasi, teknis, harga) | Mengawal keseluruhan siklus pengadaan dari DP hingga pelaporan akhir |
Wewenang | Memberi rekomendasi pemenang | Menetapkan pemenang dan menandatangani kontrak |
Dokumentasi Utama | Berita Acara Evaluasi Penawaran | Dokumen Pemilihan, Surat Penetapan, Kontrak, dan Laporan Akhir |
Akuntabilitas | Bertanggung jawab pada PPK dan auditor internal | Bertanggung jawab penuh secara hukum terhadap validitas proses pengadaan |
Interaksi | Menyampaikan hasil evaluasi kepada Pejabat Pengadaan | Memberi arahan dan masukan kepada Pokja, serta melakukan pengawasan dokumen |
Dengan memahami perbedaan-perbedaan ini, pelaku pengadaan di tingkat K/L/PD dapat menghindari tumpang tindih peran serta memperjelas jalur akuntabilitas. Pokja berperan sebagai technical reviewer, sedangkan Pejabat Pengadaan adalah decision maker. Pokja tidak memiliki otoritas untuk menetapkan pemenang, hanya merekomendasikan. Sebaliknya, Pejabat Pengadaan tidak ikut campur dalam detil evaluasi, namun bertanggung jawab secara penuh atas hasil akhirnya. Keduanya harus saling menghormati batas kewenangan agar integritas pengadaan tetap terjaga.
6. Alur Kerja dan Kolaborasi
Kerja sama antara Pokja Pemilihan dan Pejabat Pengadaan tidak bisa dianggap sebagai hubungan vertikal-otoritatif semata. Dalam praktiknya, mereka saling melengkapi dan harus bekerja secara sinkron. Kegagalan dalam membangun komunikasi dan kolaborasi yang baik akan menyebabkan miskomunikasi, proses molor, hingga potensi sanggah dari peserta.
a. Perencanaan
Semuanya dimulai dari tahap perencanaan. PPK menetapkan kebutuhan pengadaan berdasarkan anggaran yang tersedia dalam RKA/DPA dan RUP. Di sinilah peran Pejabat Pengadaan menjadi kunci. Ia harus merinci kebutuhan tersebut menjadi Dokumen Pemilihan yang operasional: menjabarkan spesifikasi teknis, menetapkan metode evaluasi yang adil, serta menjamin keterbukaan jadwal. Setelah DP rampung, Pejabat Pengadaan membentuk Pokja untuk melaksanakan proses seleksi penyedia.
b. Evaluasi
Begitu masa pemasukan dokumen selesai, Pokja bertugas mengevaluasi penawaran secara berurutan: administrasi → teknis → harga. Hasil evaluasi harus didukung data objektif dan analisis rasional. Bila ditemukan ketidaksesuaian dokumen atau harga yang tidak wajar, Pokja harus memberikan klarifikasi kepada peserta. Setelah evaluasi selesai, hasilnya diserahkan kepada Pejabat Pengadaan, disertai Berita Acara Evaluasi. Rapat klarifikasi biasanya digelar untuk memastikan bahwa rekomendasi pemenang memang berdasar. Pejabat Pengadaan bisa menerima, menolak, atau meminta perbaikan atas rekomendasi tersebut.
c. Penetapan
Setelah proses evaluasi dan klarifikasi tuntas, Pejabat Pengadaan mengesahkan pemenang lelang dengan menerbitkan SPP. Kontrak pun ditandatangani sesuai ketentuan. Pada tahap ini, ketelitian Pejabat Pengadaan terhadap aspek legal sangat penting-apakah jaminan pelaksanaan sesuai, apakah dokumen teknis selaras dengan DP, serta apakah penyedia memahami seluruh klausul. Jika terjadi kelalaian di tahap ini, akibatnya bisa serius: pekerjaan terhambat, kontrak perlu diubah, atau bahkan berujung litigasi.
d. Monitoring & Pelaporan
Meskipun pelaksanaan fisik pekerjaan dilakukan oleh penyedia dan diawasi oleh PPK serta pengawas teknis, Pokja tetap dapat dimintai bantuan untuk monitoring teknis tertentu. Misalnya, bila terdapat dispute dalam spesifikasi atau metode kerja. Di sisi lain, Pejabat Pengadaan memiliki tugas administratif untuk mengarsipkan seluruh dokumen dan menyampaikan laporan ke Inspektorat, PPK, dan stakeholder lainnya.
Kolaborasi yang baik antara Pokja dan Pejabat Pengadaan harus dibangun sejak awal melalui rapat koordinasi, pembagian tugas yang jelas, dan pemahaman yang sama terhadap tujuan akhir pengadaan. Semua keputusan harus didokumentasikan secara tertulis-tidak hanya untuk audit, tetapi juga sebagai pelajaran untuk pengadaan selanjutnya.
7. Tantangan di Lapangan dan Best Practices
Dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa, baik Pokja Pemilihan maupun Pejabat Pengadaan menghadapi sejumlah tantangan praktis yang tidak jarang menimbulkan kesalahan administrasi, keterlambatan proses, bahkan potensi pelanggaran etika. Tantangan-tantangan ini dapat bersifat teknis, organisasi, maupun bersumber dari tekanan eksternal. Untuk menjamin integritas dan efisiensi proses, sejumlah best practices perlu diterapkan secara konsisten. Berikut penjabaran lebih lanjut:
7.1 Potensi Konflik Kepentingan
Salah satu tantangan utama yang jamak terjadi di banyak instansi adalah konflik kepentingan-baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Misalnya, salah satu anggota Pokja memiliki relasi keluarga atau hubungan profesional sebelumnya dengan salah satu peserta tender. Jika tidak diidentifikasi sejak awal, hal ini dapat merusak kredibilitas hasil evaluasi dan membuka peluang sengketa hukum.
Solusi:
Praktik terbaik untuk mengatasi konflik kepentingan adalah menerapkan rotasi berkala anggota Pokja dan Pejabat Pengadaan, agar tidak menangani jenis paket pengadaan yang sama secara berulang. Selain itu, seluruh anggota tim wajib menandatangani Pernyataan Bebas Konflik Kepentingan secara tertulis, yang harus diarsipkan bersama dokumen pengadaan. Pernyataan ini menjadi instrumen akuntabilitas dan dapat menjadi dasar penindakan jika terjadi pelanggaran etika.
7.2 Ketidaksepahaman Teknis
Tidak semua anggota Pokja atau Pejabat Pengadaan memiliki latar belakang teknis sesuai dengan komoditas yang ditangani. Akibatnya, terjadi kekeliruan dalam menilai dokumen teknis peserta, misalnya gagal mengenali perbedaan antara spesifikasi asli dan yang bermasalah. Hal ini dapat menyebabkan pemilihan penyedia yang tidak memenuhi standar mutu atau performa.
Solusi:
Untuk mencegah kekeliruan ini, praktik terbaiknya adalah melibatkan ahli teknis eksternal, seperti konsultan, akademisi, atau praktisi profesional, dalam proses klarifikasi atau evaluasi teknis. Selain itu, panitia juga bisa mengadakan pra-evaluasi internal atau forum diskusi teknis sebelum sidang evaluasi resmi dimulai. Metode ini membantu menyamakan persepsi dan meningkatkan pemahaman terhadap spesifikasi yang kompleks.
7.3 Pressure dari Pihak Eksternal
Dalam beberapa kasus, Pokja atau Pejabat Pengadaan menerima tekanan dari pihak eksternal-baik secara halus (misalnya permintaan lobi) maupun terang-terangan (misalnya intervensi pejabat tinggi). Tekanan ini bisa memaksa perubahan penilaian atau manipulasi dokumen, yang pada akhirnya merusak integritas proses.
Solusi:
Untuk menangkal tekanan ini, setiap komunikasi informal atau permintaan intervensi harus dicatat dan didokumentasikan secara tertulis, misalnya melalui notulen, email, atau log percakapan resmi. Jika tekanan bersifat memaksa atau mengarah ke pelanggaran, maka panitia wajib melaporkannya kepada Inspektorat atau APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) sebagai bentuk perlindungan diri dan transparansi institusional.
7.4 Dokumen yang Rumit
Salah satu masalah klasik adalah kompleksitas dokumen pengadaan, baik pada tahap pemilihan maupun pelaksanaan. Dokumen yang terlalu teknis, tidak terstruktur, atau minim petunjuk dapat menyulitkan Pokja dalam mengevaluasi dan menyulitkan Pejabat Pengadaan dalam verifikasi akhir.
Solusi:
Best practice-nya adalah menggunakan template standar untuk seluruh dokumen kunci-seperti Kerangka Acuan Kerja (KAK), Berita Acara Hasil Pengadaan (BAHP), dan Surat Penunjukan Penyedia. Selain itu, Pokja harus membiasakan menggunakan checklist terstruktur sebagai acuan evaluasi, sehingga proses menjadi lebih objektif dan terdokumentasi rapi. Pelatihan sistem LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) juga wajib dilakukan secara berkala, agar panitia mampu menavigasi sistem secara efektif.
8. Studi Kasus Ilustratif
Agar pembaca memahami perbedaan dan sinergi antara Pokja Pemilihan dan Pejabat Pengadaan secara praktis, berikut dua ilustrasi nyata dari lapangan:
Kasus 1 – Tender IT Pemerintah Daerah
Sebuah dinas di salah satu provinsi melakukan pengadaan sistem informasi terpadu senilai Rp2 miliar. Pokja Pemilihan menetapkan pemenang berdasarkan penawaran harga terendah tanpa melakukan pendalaman spesifikasi teknis secara menyeluruh. Setelah kontrak ditandatangani oleh Pejabat Pengadaan dan pelaksanaan berjalan, ditemukan bahwa software yang dikembangkan tidak kompatibel dengan infrastruktur eksisting milik dinas.
Setelah enam bulan pengerjaan, proyek mengalami stagnasi, dan Pejabat Pengadaan akhirnya memutus kontrak sepihak. Akibatnya, negara dirugikan secara waktu, biaya, dan reputasi. Dalam audit internal, baik Pokja maupun Pejabat Pengadaan mendapat teguran tertulis karena lalai dalam penilaian dan validasi.
Pembelajaran:
Kolaborasi yang buruk dan minim verifikasi teknis menyebabkan proses gagal. Hal ini menekankan pentingnya sinkronisasi teknis dan klarifikasi lintas fungsi antara Pokja dan Pejabat Pengadaan, terutama untuk paket-paket dengan nilai dan kompleksitas tinggi.
Kasus 2 – Pengadaan Alat Kesehatan Darurat
Dalam situasi darurat kesehatan di tahun 2023, salah satu rumah sakit pemerintah membutuhkan pengadaan alat bantu pernapasan dalam waktu sangat cepat. Pokja Pemilihan membentuk tim evaluasi cepat dan menyusun checklist teknis secara ringkas namun terverifikasi, yang dibantu oleh seorang dokter spesialis.
Dalam waktu kurang dari 48 jam, proses evaluasi selesai. Pejabat Pengadaan kemudian menindaklanjuti hasil evaluasi tersebut dan langsung menandatangani kontrak setelah memeriksa legalitas dan kesesuaian administrasi. Proses ini berjalan tanpa sanggahan, dengan hasil pengadaan memuaskan.
Pembelajaran:
Dalam kondisi darurat, kolaborasi intensif, penyusunan alat bantu evaluasi yang presisi, dan kecepatan dalam validasi menjadi kunci keberhasilan. Perbedaan peran Pokja dan Pejabat Pengadaan tidak menjadi hambatan, justru menjadi sinergi yang saling melengkapi jika komunikasi dan pembagian tanggung jawab dijalankan dengan benar.
9. Rekomendasi Praktis
Agar peran Pokja Pemilihan dan Pejabat Pengadaan berjalan optimal serta terhindar dari kesalahan administratif atau hukum, berikut adalah rekomendasi praktis yang dapat diterapkan oleh instansi pemerintah di semua tingkat:
9.1 Klarifikasi Awal
Langkah pertama yang perlu dilakukan oleh Pokja adalah mensosialisasikan Dokumen Pemilihan (DP) kepada para calon peserta sebelum tenggat waktu penawaran. Tujuannya adalah memastikan bahwa semua peserta memahami syarat-syarat teknis, administrasi, dan harga dengan benar. Klarifikasi ini membantu menurunkan risiko sanggahan dan meningkatkan kualitas penawaran.
9.2 Standarisasi Template Dokumen
Instansi pengadaan harus menggunakan format dokumen yang seragam, seperti Berita Acara Hasil Pemilihan (BAHP), Surat Penunjukan Penyedia (SPP), dan Kontrak. Template ini perlu mengikuti lampiran Peraturan LKPP terbaru. Standarisasi membantu mempercepat proses, mempermudah audit, serta mengurangi potensi kesalahan atau tumpang tindih antarunit kerja.
9.3 Pelatihan Rutin
Salah satu penyebab kegagalan pengadaan adalah minimnya pemahaman teknis dan regulatif dari Pokja dan Pejabat Pengadaan. Oleh karena itu, instansi perlu menjadwalkan pelatihan rutin, baik secara daring maupun luring, yang membahas:
- Update regulasi terbaru (misalnya Perpres 12/2021 atau Perlem LKPP),
- Teknik evaluasi teknis,
- Strategi mitigasi konflik kepentingan,
- Praktik terbaik dalam pengarsipan dan pelaporan.
9.4 Review Internal Pra-Pengumuman
Sebelum tender diumumkan, sebaiknya dilakukan review dokumen pengadaan oleh APIP atau tim independen internal. Tujuannya adalah mengidentifikasi potensi kesalahan redaksional, konflik peraturan, atau kelemahan spesifikasi teknis. Prosedur ini dapat mencegah sanggahan dan pengulangan proses yang merugikan waktu serta reputasi institusi.
9.5 Transparansi Proses
Setelah evaluasi selesai, hasilnya sebaiknya dipublikasikan dalam bentuk ringkasan melalui portal resmi LPSE atau website instansi. Ini mencakup siapa saja peserta yang lulus/tidak lulus dan alasan teknisnya. Transparansi ini menunjukkan bahwa proses pengadaan dilakukan secara profesional dan terbuka, sehingga meningkatkan kepercayaan publik dan penyedia.
10. Kesimpulan
Pokja Pemilihan dan Pejabat Pengadaan adalah dua aktor sentral dalam ekosistem pengadaan barang/jasa pemerintah yang masing-masing memiliki peran spesifik namun saling melengkapi. Pokja Pemilihan bertugas memastikan bahwa proses seleksi penyedia dilakukan secara obyektif, terukur, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Mereka menjadi garda depan dalam menjaga kualitas evaluasi penawaran, memeriksa kesesuaian dokumen, dan melakukan klarifikasi serta verifikasi teknis dan administratif terhadap peserta lelang. Setiap keputusan Pokja-baik lulus maupun gugur-harus berdiri di atas dasar hukum yang kuat, logika analitis yang transparan, dan dokumentasi yang akurat. Di sisi lain, Pejabat Pengadaan memainkan peran administratif dan legal yang tidak kalah penting: mulai dari menetapkan HPS, menandatangani kontrak, hingga memastikan seluruh tahapan dilaksanakan dengan tertib dan sesuai prosedur. Mereka adalah penghubung antara proses teknis yang dijalankan Pokja dan proses administratif yang harus dipertanggungjawabkan kepada pimpinan instansi, APIP, maupun publik.
Sinergi antara keduanya menjadi prasyarat mutlak bagi terciptanya pengadaan yang tidak hanya cepat dan tepat, tetapi juga akuntabel dan bernilai tambah. Kolaborasi yang solid mencegah terjadinya duplikasi pekerjaan, konflik kewenangan, dan bahkan potensi penyimpangan. Kegagalan memahami batas peran kerap menimbulkan salah kaprah di lapangan: Pokja yang mengambil alih peran Pejabat Pengadaan, atau sebaliknya, Pejabat yang turut campur dalam evaluasi teknis penyedia. Di sinilah pentingnya pelatihan bersama, pembekalan regulasi terkini, serta forum koordinasi antarunit agar semua pihak bergerak pada jalur yang sama dengan pemahaman yang seragam. Selain itu, implementasi prinsip-prinsip pengadaan-efisiensi, efektivitas, transparansi, bersaing, adil, dan akuntabel-tidak cukup hanya dikumandangkan, tetapi harus diwujudkan dalam keputusan harian mereka, termasuk dalam hal penetapan pemenang, penanganan sanggah, dan pengelolaan kontrak.
Oleh karena itu, memperkuat kapasitas Pokja dan Pejabat Pengadaan bukan hanya soal meningkatkan skill teknis atau mempercepat proses lelang, melainkan sebuah langkah strategis untuk menjamin bahwa setiap rupiah dari anggaran negara menghasilkan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. Di tengah kompleksitas regulasi, dinamika pasar, dan tekanan dari berbagai pihak, keduanya dituntut untuk menjadi profesional yang tidak hanya patuh pada aturan, tetapi juga bijak dalam mengambil keputusan yang berimplikasi hukum dan sosial. Jika sinergi ini dijaga, peran masing-masing dihormati, dan proses terus diperbaiki melalui evaluasi serta pembelajaran, maka sistem pengadaan Indonesia akan semakin kredibel, adaptif, dan mampu menjadi instrumen pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Proses pengadaan tidak lagi hanya dilihat sebagai prosedur belanja, tetapi sebagai manifestasi nyata dari tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan pelayanan publik yang berorientasi pada hasil (result-oriented public service).