Penyedia Salah Upload Dokumen: Apakah Bisa Digugurkan?

1. Pendahuluan

Dalam era digitalisasi e-Procurement, proses tender pengadaan barang/jasa pemerintah sangat bergantung pada sistem unggah dokumen (upload) melalui platform LPSE. Setiap penyedia wajib melampirkan beragam dokumen-surat penawaran, dokumen kualifikasi, jaminan penawaran, hingga file teknis-pada slot yang telah ditentukan. Meskipun mekanisme ini memudahkan verifikasi otomatis, margin untuk kesalahan manusia (human error) tetap ada. Salah satu kesalahan yang sering terjadi adalah penyedia salah mengunggah dokumen, baik itu file korup, format tidak sesuai, penempatan di slot keliru, atau bahkan keliru mengunggah dokumen paket lain. Kejadian di lapangan menunjukkan bahwa kesalahan administrasi semacam ini kerap menjadi alasan gugurnya penyedia, bahkan padahal substansi teknis dan harga penawaran mereka kompetitif. Misalnya, sebuah penyedia konstruksi kalah tender karena salah mengunggah sertifikat laik fungsi (SLF) di slot dokumen teknis, padahal SLF sebenarnya wajib diunggah pada tahap sanggahan.

Kesalahan yang tampak remeh ini memicu pertanyaan kritis: Apakah salah upload dokumen bisa menjadi dasar pengguguran? Isu ini relevan karena digitalisasi memang menekan waktu dan sumber daya, tetapi tidak meniadakan risiko kesalahan format dan pemilihan slot file. Penyedia harus memahami batas toleransi administrasi, sementara Pokja dan PPK harus menegakkan prinsip keadilan dan transparansi. Artikel ini mengulas tuntas: landasan hukum, praktik penafsiran di lapangan, ruang klarifikasi, studi kasus, hingga tips agar penyedia tidak digugurkan hanya karena kesalahan upload.

2. Landasan Hukum dan Aturan Tender

Proses unggah dokumen dalam sistem pengadaan elektronik (SPSE/LPSE) bukan hanya prosedur administratif semata, melainkan bagian krusial dari verifikasi kelayakan penyedia. Landasan hukumnya berpijak pada sejumlah regulasi inti yang mengatur prinsip, tata cara, hingga konsekuensi kesalahan unggah dokumen.

2.1. Peraturan Presiden dan Ketentuan LKPP

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Perpres Nomor 12 Tahun 2021, memberikan landasan umum mengenai evaluasi administrasi. Pasal 86 ayat (1) menyatakan secara tegas bahwa:

“Penyedia yang tidak memenuhi persyaratan administrasi dinyatakan tidak lulus evaluasi administrasi pengadaan.”

Dengan bunyi pasal yang lugas tersebut, maka proses evaluasi tidak semata menilai kelayakan isi dokumen, tetapi juga kesesuaian format, ketepatan waktu, dan keterbacaan file.

Selanjutnya, Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perlem LKPP) No. 9 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Pemerintah menjabarkan aspek teknis unggah dokumen, seperti:

  • Format file yang diizinkan adalah PDF/A.
  • Ukuran file maksimal 10 MB.
  • Tidak diperkenankan mengunggah file terenkripsi, ber-password, atau rusak (corrupt).
  • File yang sama (duplicate) di beberapa slot akan memicu peringatan sistem.

Bila syarat ini tidak dipenuhi, sistem akan menandai status unggah sebagai TMS (Tidak Memenuhi Syarat), dan Pokja tidak diperkenankan membuka file yang gagal diverifikasi secara sistemik.

2.2. Penegasan melalui Surat Edaran

Surat Edaran LKPP Nomor 8 Tahun 2023 menjadi pedoman teknis lanjutan, yang memperkenankan klarifikasi administrasi terbatas melalui fitur e-klarifikasi, dengan syarat:

  • Kesalahan bersifat minor (tidak substantif).
  • Klarifikasi dilakukan satu kali, serentak untuk semua peserta.
  • Hanya sebatas memastikan keabsahan dokumen, bukan mengganti atau memperbaiki.

SE tersebut melarang Pokja melakukan klarifikasi yang bersifat substantif seperti:

  • Mengunggah dokumen baru yang belum ada sebelumnya.
  • Memperbaiki dokumen yang telah dianggap fatal (misalnya, mengubah isi surat penawaran).
  • Memberikan waktu khusus kepada satu peserta saja tanpa perlakuan serupa untuk peserta lain.

2.3. Prinsip Administrasi dan Validasi Sistem

Dalam proses evaluasi, Pokja mengandalkan dua lapis pemeriksaan:

  1. Validasi Sistem LPSE (Otomatis):
    • File dapat dibuka?
    • Format file sesuai?
    • File tidak rusak?
    • Metadata seperti nama file, tanggal, nomor dokumen terdeteksi sistem?
  2. Checklist Evaluasi Manual oleh Pokja:
    • Apakah dokumen sesuai dengan daftar yang dipersyaratkan dalam LDK (Lembar Data Kualifikasi)?
    • Apakah legalitas seperti akta perusahaan, izin usaha, dan surat pernyataan dipenuhi?

Kombinasi verifikasi manual dan otomatis ini bertujuan menjamin transparansi dan keadilan. Namun di lapangan, jika sistem menolak file (misalnya corrupt), Pokja tidak memiliki kewenangan untuk membukanya atau menafsirkan isinya, karena dikhawatirkan memunculkan celah intervensi.

2.4. Konsekuensi Kegagalan Administratif

Beberapa penyebab umum penyedia dinyatakan gugur dalam tahap evaluasi administrasi adalah:

  • File diunggah setelah batas waktu yang ditetapkan di LPSE.
  • File tidak sesuai format (misalnya JPG atau DOC alih-alih PDF).
  • Tanda tangan digital tidak valid atau tidak tersertifikasi.
  • File tidak dapat dibuka, atau hasil pindai buram sehingga tidak terbaca.

Dalam semua kasus ini, Pokja merujuk pada asas “dokumen yang tidak dapat diverifikasi dianggap tidak ada”. Dengan demikian, konsekuensinya adalah diskualifikasi langsung meskipun isi file sebenarnya benar atau sah secara substansi.

3. Praktik di Lapangan: Dimensi Penafsiran

Walaupun regulasi dan sistem LPSE tampak objektif dan berbasis prosedur, implementasi di lapangan masih menyisakan ruang tafsir yang cukup luas. Hal ini disebabkan oleh variasi dalam kapasitas Pokja, tekanan waktu, kultur kelembagaan, serta persepsi terhadap prinsip “keadilan versus kepatuhan teknis”.

3.1. Perbedaan Sikap Pokja: Kaku vs. Adaptif

Pokja di sebagian instansi cenderung menerapkan aturan secara tekstual. Mereka menolak seluruh dokumen jika ditemukan satu berkas tidak memenuhi syarat teknis unggah-misalnya, file tidak bisa dibuka, atau format bukan PDF/A. Bahkan kesalahan minor seperti penamaan file yang salah dapat dianggap fatal.

Namun, di instansi lain, Pokja lebih adaptif. Mereka menggunakan pendekatan proportional judgment-jika kesalahan dianggap tidak mengubah substansi dokumen, dan masih dalam batas klarifikasi administrasi, maka perbaikan diizinkan. Contohnya:

  • File bisa dibuka, namun tidak sesuai urutan slot → diberikan kesempatan untuk klarifikasi posisi.
  • File PDF belum dalam format PDF/A, tetapi terbaca jelas → diperbolehkan klarifikasi.

Sayangnya, perbedaan pendekatan ini menimbulkan kesenjangan keadilan bagi penyedia yang mengikuti tender di lintas daerah. Hal ini pula yang menjadi bahan gugatan dalam sengketa pengadaan di LKPP maupun PTUN.

3.2. Contoh Kasus Lapangan

Beberapa ilustrasi nyata dari praktik di lapangan:

  • Kasus 1: Salah Slot Upload
    Seorang vendor mengunggah Surat Penawaran Harga ke slot Dokumen Kualifikasi. Karena sistem tidak membacanya di slot yang benar, Pokja menyatakan dokumen tidak ada. Meskipun vendor mengklaim isinya benar, Pokja menolak klarifikasi karena dianggap “kesalahan fatal penempatan”.
  • Kasus 2: File Korup Akibat Jaringan
    Vendor mengunggah dokumen pada menit-menit akhir. Sistem mencatat bahwa file berhasil diunggah, namun tidak dapat dibuka. Pokja menyatakan TMS karena file rusak. Vendor memohon klarifikasi dan mengirim file baru via email, namun Pokja menolak karena dianggap di luar prosedur LPSE.
  • Kasus 3: Klarifikasi Subjektif
    Dalam tender alat laboratorium, Pokja memberikan kesempatan klarifikasi hanya pada satu penyedia terkait tanda tangan digital. Peserta lain yang juga mengalami masalah serupa tidak diberi kesempatan. Hal ini menimbulkan protes dan akhirnya diadukan ke APIP karena dianggap terjadi perlakuan tidak adil.

3.3. Celah dan Risiko Abuse

Ketiadaan standar teknis nasional tentang “apa yang dianggap fatal” membuka peluang abuse:

  • Pokja dapat menggunakan alasan teknis sebagai dalih untuk menggugurkan pesaing.
  • Penyedia besar bisa menggunakan tekanan hukum agar diberikan ruang klarifikasi.
  • Potensi lobi di tahap klarifikasi mengaburkan objektivitas evaluasi.

Karena itu, praktik terbaik menuntut Pokja untuk menyusun notulen evaluasi dengan rinci, mencantumkan alasan TMS, bukti penolakan sistem, dan perbandingan perlakuan antar peserta.

3.4. Klarifikasi: Hak atau Diskresi?

LPSE menyediakan fitur klarifikasi bukan sebagai hak mutlak penyedia, melainkan diskresi Pokja. Klarifikasi hanya dapat dilakukan jika:

  • Kesalahan dinilai minor dan tidak mempengaruhi substansi teknis/administrasi.
  • Klarifikasi ditujukan kepada seluruh peserta yang mengalami kondisi serupa.
  • Proses klarifikasi terdokumentasi dan dilakukan melalui sistem (bukan komunikasi informal).

Namun, dalam praktik, vendor sering keliru menganggap klarifikasi sebagai sarana perbaikan. Mereka menunda unggah hingga mepet, berharap bisa “meminta waktu tambahan”. Ini adalah asumsi keliru dan berisiko fatal.

4. Batasan Klarifikasi: Mana yang Boleh dan Tidak Boleh

Klarifikasi dalam proses pengadaan barang/jasa bukanlah ruang bebas koreksi. Ia memiliki batasan ketat, terutama setelah sistem LPSE digunakan secara penuh. Berdasarkan Surat Edaran LKPP No.8 Tahun 2023, e-klarifikasi hanya dimungkinkan untuk kesalahan administratif ringan, dan bukan untuk memperbaiki substansi penawaran.

4.1. Klarifikasi Administratif Ringan: Batas yang Diizinkan

E-klarifikasi diperbolehkan untuk hal-hal berikut:

  • Metadata tidak lengkap atau tidak konsisten, seperti nama file tidak mencerminkan isinya, tanggal tidak sinkron dengan jadwal tender, atau dokumen lupa mencantumkan nama perusahaan di header.
  • Format file kurang tepat namun masih terbaca (misal file PDF tapi bukan PDF/A, atau ukuran file sedikit melebihi 10 MB namun tidak rusak).
  • Ketidaksesuaian minor antar dokumen, misalnya perbedaan redaksional antara surat penawaran dan lembar isian harga, selama nilai pokok penawaran tetap sama.
  • Tanda tangan digital tidak terbaca sistem padahal sertifikat elektronik aktif-Pokja dapat melakukan verifikasi ke penyedia sertifikasi (CA) atau meminta penjelasan teknis.

Namun, koreksi terhadap kesalahan di atas hanya bisa dilakukan satu kali, dan wajib melalui fitur e-klarifikasi yang terekam secara sistematis. Pokja tidak boleh melakukan klarifikasi informal melalui email, WhatsApp, atau jalur komunikasi lain yang tidak terdokumentasi di sistem LPSE.

4.2. Yang Tidak Boleh Diperbaiki melalui Klarifikasi

Ada beberapa batasan koreksi yang tidak diperkenankan, karena dianggap menyangkut substansi penawaran:

  • Mengganti atau menambahkan dokumen utama, seperti surat penawaran, jaminan penawaran, atau dokumen teknis yang belum pernah diunggah saat batas akhir penawaran.
  • Mengunggah ulang dokumen yang sebelumnya corrupt atau tidak terbaca sistem, karena dianggap tidak pernah ada dalam sistem LPSE.
  • Mengubah nilai penawaran atau komponen harga, meskipun hanya karena kesalahan ketik.
  • Mengunggah surat pernyataan atau bukti pengalaman yang sebelumnya tidak ada, karena ini berkaitan langsung dengan evaluasi kualifikasi.

Jika Pokja memberikan toleransi terhadap hal-hal di atas, maka keputusan mereka berpotensi digugat atas dasar perlakuan tidak adil (unequal treatment).

4.3. Prinsip Equal Treatment dan Transparansi

Peraturan Perpres 16/2018 secara eksplisit menuntut prinsip perlakuan setara (equal treatment) terhadap semua peserta. Ini berarti bahwa apabila Pokja memberikan klarifikasi kepada satu penyedia, maka penyedia lain yang mengalami kesalahan serupa harus diberikan hak yang sama.

Pokja tidak boleh membantu memperbaiki dokumen satu peserta secara khusus, karena hal ini membuka celah abuse of power, memperbesar potensi konflik kepentingan, dan bisa menimbulkan gugatan ke Unit Kerja Pengadaan, Inspektorat, atau bahkan lembaga hukum.

Contoh penyimpangan yang sering terjadi:

  • Pokja memperbolehkan satu vendor mengirim ulang dokumen penawaran yang rusak, tetapi vendor lain tidak diberi kesempatan sama.
  • Klarifikasi dilakukan melalui jalur luar sistem (telepon pribadi, pesan instan), tanpa dokumentasi yang dapat diverifikasi.
  • Klarifikasi dianggap sebagai diskresi Pokja tanpa mencantumkan dasar kebijakan yang jelas.

Untuk mencegah penyalahgunaan wewenang, Pokja seharusnya membuat berita acara klarifikasi, mencantumkan siapa yang diklarifikasi, apa isi klarifikasinya, dan dasar regulasi yang mendukung. Berita acara ini harus menjadi bagian dari laporan akhir proses tender.

4.4. Konsekuensi Jika Melebihi Batas Klarifikasi

Bila Pokja memperkenankan perbaikan di luar batas yang diatur, maka hasil evaluasi bisa dianggap cacat prosedur, yang berisiko dibatalkan oleh:

  • Sanggahan penyedia lainnya,
  • Unit Pengawasan Internal Pemerintah (APIP),
  • Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) jika menyangkut dugaan kolusi,
  • Dan dalam beberapa kasus, gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Sementara itu, jika penyedia gagal memenuhi dokumen wajib (misalnya tidak mengunggah surat penawaran), maka pengguguran otomatis adalah konsekuensi yang sah menurut hukum. Ini ditegaskan dalam Perpres 16/2018 Pasal 86, yang berbunyi:

“Penyedia yang tidak memenuhi persyaratan administrasi dinyatakan tidak lulus evaluasi administrasi pengadaan.”

Tidak ada ruang negosiasi untuk dokumen yang substansial dan tidak ada dalam sistem saat masa penawaran berakhir.

5. Tips Praktis untuk Penyedia Agar Tidak Gugur

Menghindari kegagalan dalam proses tender akibat kesalahan unggah dokumen adalah tanggung jawab penuh penyedia. Kesalahan sekecil apa pun-dari nama file yang ambigu hingga salah slot upload-dapat berujung pada kegagalan. Oleh karena itu, penyedia perlu membangun sistem internal yang preventif, tertib, dan disiplin.

Berikut beberapa tips praktis yang dapat diterapkan:

5.1. Susun Checklist Internal Dokumen

Sebelum proses unggah dimulai, buat daftar periksa (checklist) yang memuat:

  • Jenis dokumen (administrasi, kualifikasi, teknis, penawaran harga),
  • Format file (wajib PDF/A),
  • Slot upload di LPSE sesuai instruksi dalam dokumen pemilihan,
  • Tanda tangan digital dan tanggal dokumen.

Checklist ini harus dikonfirmasi ulang oleh dua pihak: petugas admin tender dan penanggung jawab legal atau teknis. Dengan sistem ini, peluang kelupaan atau salah unggah bisa ditekan drastis.

5.2. Lakukan Simulasi Upload di LPSE Training (VT)

Gunakan fitur LPSE Virtual Training (VT) untuk latihan upload. Hal ini bermanfaat untuk:

  • Memahami alur dan tampilan sistem LPSE,
  • Mengetahui batas ukuran file dan format valid,
  • Mencoba fitur pratinjau dokumen,
  • Melatih staf yang baru terlibat dalam pengadaan.

Dengan simulasi ini, penyedia tidak lagi “trial and error” pada saat penawaran sebenarnya.

5.3. Gunakan PDF/A dan Isi Metadata Secara Lengkap

Dokumen harus dalam format PDF/A (archivable), yang dijamin dapat dibuka oleh sistem dalam jangka panjang. Metadata file juga penting:

  • Judul dokumen,
  • Nama perusahaan,
  • Tanggal pembuatan,
  • Penulis (authorized person).

Nama file juga harus deskriptif, misalnya: DokPenawaran_VendorX_230724.pdf, bukan dok1.pdf.

5.4. Bukti Unggah: Screenshot dan Bukti Penerimaan Sistem

Setelah unggah dokumen:

  • Ambil screenshot dari halaman konfirmasi LPSE.
  • Unduh bukti penerimaan (receipt) dari sistem sebagai arsip.

Ini penting jika nantinya terjadi dispute atau sanggahan. Penyedia bisa membuktikan bahwa dokumen sudah terunggah tepat waktu dan sesuai format.

5.5. Pastikan Tanda Tangan Elektronik Sah

Gunakan tanda tangan elektronik tersertifikasi dari penyelenggara sertifikasi elektronik (PSrE) yang diakui oleh Kominfo. Hindari tanda tangan hasil scan manual, karena tidak memiliki metadata dan bisa dianggap tidak sah.

Beberapa dokumen kritis yang wajib ditandatangani elektronik:

  • Surat Penawaran,
  • Surat Pernyataan,
  • Dokumen Kontrak (jika menang).

5.6. Buat SOP Internal Tender

Terapkan SOP internal untuk proses tender, yang mencakup:

  • Siapa yang bertugas menyiapkan dokumen,
  • Siapa yang bertugas mengecek,
  • Siapa yang mengunggah,
  • Tenggat waktu internal (misal H-2 sebelum upload resmi).

Hindari satu orang mengerjakan semuanya; prinsip check and balance antar staf sangat membantu menghindari kesalahan.

5.7. Rutin Update Informasi Pengadaan

Tim tender internal harus rutin mengikuti:

  • Update regulasi dari LKPP dan Perpres,
  • Jadwal pelatihan LPSE atau bimtek pengadaan,
  • Forum diskusi vendor LPSE.

Dengan wawasan regulasi yang memadai, penyedia akan lebih sigap menyikapi perubahan prosedur dan tidak terjebak dalam kesalahan administrasi berulang.

6. Kesimpulan

Pada dasarnya, salah upload dokumen bisa menjadi dasar pengguguran jika kesalahan tersebut fatal-mengenai dokumen utama yang wajib dan tidak dapat dikoreksi lewat e-klarifikasi. Regulasi Perpres 16/2018 dan Perlem LKPP memberikan ruang klarifikasi terbatas untuk kesalahan administratif ringan; di luar itu, sistem menegakkan gugur administrasi. Penyedia harus meningkatkan kedisiplinan teknis dan administratif: memanfaatkan checklist, simulasi LPSE, dan proof of submission. Sementara itu, Pokja dan PPK perlu menegakkan prinsip keadilan dan transparansi dalam mengelola klarifikasi agar tidak terjadi abuse of power.

Kunci keberhasilan terletak pada pemahaman prosedur e-Procurement serta implementasi yang konsisten antara regulasi dan praktik. Dengan upaya bersama, kesalahan upload tidak lagi menjadi momok menakutkan bagi penyedia yang kompeten, dan proses tender dapat berjalan lebih lancar serta terpercaya.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *