Kapan Pengadaan Bisa Menggunakan Mekanisme Swakelola?

Pendahuluan

Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) pemerintah dirancang untuk menjamin pemenuhan kebutuhan barang dan jasa secara efisien, transparan, dan akuntabel. Dalam praktiknya, mekanisme pengadaan dapat berupa tender, penunjukan langsung, hingga e-catalog. Namun ada satu metode khusus yang memungkinkan instansi pemerintah melaksanakan sendiri pekerjaan atau proyek tanpa melibatkan pihak ketiga, yaitu mekanisme swakelola. Meskipun memberikan fleksibilitas dalam pelaksanaan, swakelola tidak boleh digunakan secara sembarangan. Artikel ini mengulas secara mendalam: definisi swakelola, dasar regulasi, kriteria dan persyaratan, prosedur pelaksanaan, manfaat dan risiko, studi kasus, serta rekomendasi implementasi. Dengan pemahaman yang komprehensif, pokja dan PPK dapat menentukan kapan tepatnya menggunakan swakelola untuk mencapai hasil optimal.

1. Definisi dan Konsep Swakelola

1.1. Pengertian Swakelola

Swakelola adalah metode pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah yang tidak melibatkan penyedia eksternal sebagai pelaksana utama, melainkan dilaksanakan secara langsung oleh instansi pemerintah, lembaga non-pemerintah, organisasi kemasyarakatan, atau kelompok masyarakat. Konsep ini mengedepankan kemandirian dan pemberdayaan sumber daya internal, baik berupa tenaga kerja, keahlian, peralatan, maupun fasilitas yang dimiliki oleh instansi pelaksana.

Berbeda dengan metode pengadaan berbasis kontrak di mana pemerintah menunjuk pihak ketiga melalui proses tender atau penunjukan langsung, dalam swakelola, peran utama pelaksana berada pada instansi itu sendiri atau mitra swakelola yang telah ditetapkan secara sah. Hal ini menuntut tingkat perencanaan yang lebih terstruktur, koordinasi internal yang solid, serta akuntabilitas yang tinggi dalam pelaporan.

Swakelola dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan pelaksananya:

  • Swakelola Tipe I: Dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga/SKPD pelaksana kegiatan, menggunakan sumber daya internal instansi tersebut, baik SDM, peralatan, maupun sarana penunjang lainnya.
  • Swakelola Tipe II: Dilaksanakan oleh instansi pemerintah lain, misalnya sebuah Kementerian melibatkan universitas negeri sebagai pelaksana kegiatan.
  • Swakelola Tipe III: Dilaksanakan oleh organisasi kemasyarakatan, misalnya organisasi keagamaan, LSM terdaftar, atau lembaga sosial lainnya yang kompeten di bidangnya.
  • Swakelola Tipe IV: Dilaksanakan oleh kelompok masyarakat, seperti kelompok tani, karang taruna, atau komunitas lokal, terutama untuk proyek berbasis pemberdayaan masyarakat.

Penggunaan swakelola bukanlah sekadar alternatif dari tender, tetapi strategi penting untuk mencapai efisiensi anggaran dan memperkuat peran masyarakat atau instansi pemerintah dalam pengelolaan pembangunan secara langsung.

1.2. Luas Cakupan

Tidak semua jenis pekerjaan dalam pengadaan dapat dilakukan melalui swakelola. Penggunaan metode ini dibatasi oleh karakteristik pekerjaan, risiko teknis, kapasitas pelaksana, dan tujuan kegiatan. Secara umum, jenis kegiatan yang cocok dilaksanakan dengan swakelola mencakup:

  • Kegiatan Non-Fisik atau Sosialisasi: Seperti pelatihan, penyuluhan, kampanye kesadaran publik, seminar, dan kegiatan edukatif yang lebih mengedepankan pendekatan non-komersial dan partisipatif.
  • Pemeliharaan dan Perbaikan Sarana/Prasarana: Misalnya pemeliharaan jalan lingkungan, perbaikan fasilitas umum, perawatan taman, atau renovasi kantor dengan kompleksitas teknis rendah.
  • Pembangunan Skala Kecil: Untuk pembangunan jalan lingkungan desa, drainase, irigasi kecil, dan fasilitas umum lainnya yang dapat dilaksanakan oleh masyarakat secara gotong royong.
  • Kegiatan Pengumpulan Data dan Survei: Termasuk sensus, pemetaan partisipatif, kajian sosial, dan penelitian lapangan yang lebih tepat jika dilakukan oleh instansi atau kelompok ahli seperti perguruan tinggi atau LSM berpengalaman.

Namun demikian, swakelola tidak boleh digunakan untuk pekerjaan yang kompleks secara teknis, berisiko tinggi, membutuhkan teknologi khusus, atau ketika penyedia jasa profesional lebih mampu menjamin hasil sesuai standar. Pokja pemilihan dan PPK harus melakukan analisis kelayakan terlebih dahulu sebelum menetapkan suatu kegiatan dapat dilakukan dengan swakelola.

2. Dasar Hukum dan Regulasi Swakelola

2.1. Perpres PBJ No. 16 Tahun 2018 dan Perubahannya

Landasan hukum utama pelaksanaan swakelola dalam pengadaan pemerintah adalah Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana telah diubah melalui Perpres No. 12 Tahun 2021. Di dalam peraturan ini, secara khusus Pasal 82 hingga Pasal 84 mengatur tentang pelaksanaan swakelola. Beberapa poin penting dalam ketentuan tersebut meliputi:

  • Jenis pekerjaan yang dapat dilakukan melalui swakelola, seperti kegiatan yang sifatnya non-komersial, bersifat sosial atau edukatif, dan tidak tersedia penyedia jasa yang mampu secara komersial.
  • Tata cara perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan swakelola, termasuk kewajiban menyusun Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK) yang rinci, sistem pelaporan pertanggungjawaban, serta pencatatan keuangan yang mengikuti prinsip transparansi dan akuntabilitas.
  • Pelibatan instansi atau kelompok masyarakat lain, yang memungkinkan kegiatan dilakukan tidak hanya oleh satuan kerja pelaksana, tetapi juga oleh organisasi non-pemerintah yang berpengalaman dan memiliki kompetensi teknis yang relevan.

Perpres ini menegaskan bahwa swakelola merupakan metode yang sah dalam pelaksanaan pengadaan, namun harus mengikuti prinsip-prinsip good governance seperti transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas publik.

2.2. PP No. 12 Tahun 2019 dan Peraturan LKPP

Pelaksanaan teknis swakelola dipandu lebih lanjut oleh berbagai regulasi turunan. Salah satu di antaranya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang mengatur sistem penganggaran, pertanggungjawaban keuangan, dan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengelola anggaran termasuk untuk kegiatan swakelola.

Sementara itu, Peraturan LKPP-seperti Perlem LKPP No. 3 Tahun 2021 tentang Pedoman Swakelola-menyediakan arahan lebih teknis, meliputi:

  • Template dokumen swakelola, seperti format Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK), Daftar Nominatif Tenaga Swakelola, dan berita acara serah terima pekerjaan.
  • Pedoman penyusunan anggaran dan harga satuan, untuk menghitung estimasi biaya secara realistis dan mempertanggungjawabkannya.
  • Sistem pengawasan dan evaluasi, baik internal melalui Inspektorat maupun eksternal oleh BPKP atau BPK, untuk memastikan tidak terjadi penyalahgunaan anggaran atau pelaksanaan kegiatan fiktif.

Peraturan LKPP ini bersifat dinamis dan terus diperbarui untuk menyesuaikan dengan kebutuhan di lapangan serta mendukung digitalisasi sistem pengadaan, termasuk dalam kegiatan swakelola.

2.3. Kebijakan Daerah dan Satuan Kerja

Selain regulasi nasional, sejumlah pemerintah daerah, kementerian, dan lembaga menyusun kebijakan teknis turunan terkait swakelola. Hal ini mencerminkan pendekatan desentralisasi dan keberagaman jenis kegiatan yang dilaksanakan di masing-masing daerah atau sektor.

Contohnya:

  • Pemerintah Provinsi dapat menetapkan Standar Biaya Umum (SBU) khusus untuk kegiatan swakelola seperti biaya transportasi, konsumsi, narasumber, dan sewa peralatan sederhana.
  • Dinas Teknis, seperti Dinas PU atau Dinas Pertanian, dapat menetapkan protokol kerja teknis yang menjadi pedoman pelaksanaan pekerjaan lapangan oleh tenaga swakelola atau kelompok masyarakat.
  • Beberapa Satker di kementerian telah mengembangkan Sistem Informasi Swakelola berbasis elektronik yang memungkinkan pelaporan real-time dan integrasi dengan sistem keuangan.

Pokja pemilihan dan PPK harus merujuk tidak hanya pada Perpres dan Perlem LKPP, tetapi juga pedoman internal yang berlaku di unit kerja masing-masing untuk memastikan kesesuaian administratif dan teknis.

3. Kriteria dan Persyaratan Swakelola

Pelaksanaan swakelola dalam pengadaan barang/jasa pemerintah tidak bisa dilakukan sembarangan. Harus ada pertimbangan menyeluruh yang mencakup nilai pekerjaan, tingkat kompleksitas teknis, ketersediaan sumber daya internal, hingga kesiapan aspek administratif dan perencanaan anggaran. Pokja, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan pengguna anggaran harus memahami kriteria ini secara utuh agar pelaksanaan swakelola tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan tetap mengedepankan prinsip efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas.

3.1. Nilai Pekerjaan dan Kompleksitas Teknis

Salah satu syarat utama pelaksanaan swakelola adalah kesesuaian nilai pekerjaan dengan batasan anggaran yang diperbolehkan serta kesederhanaan pekerjaan dari sisi desain teknis. Secara umum, pekerjaan swakelola dilakukan untuk kegiatan berskala kecil hingga menengah, dengan asumsi tidak melibatkan risiko tinggi dan tidak memerlukan spesialisasi teknis tertentu.

Sebagai contoh:

  • Swakelola perorangan dapat dilakukan untuk pekerjaan dengan nilai di bawah Rp200 juta, seperti penyusunan modul pelatihan internal, kegiatan workshop skala kecil, atau pekerjaan pemeliharaan ringan.
  • Swakelola masyarakat umumnya dibatasi hingga Rp500 juta per kegiatan, mencakup pembangunan infrastruktur sederhana seperti irigasi desa, paving jalan lingkungan, atau pelatihan budidaya pertanian.

Kompleksitas pekerjaan menjadi faktor pembatas. Kegiatan yang memerlukan teknologi tinggi, pemrosesan data kompleks, atau perangkat lunak khusus tidak dianjurkan dilakukan secara swakelola. Sebaliknya, kegiatan dengan desain berulang, prosedur kerja standar, dan risiko teknis rendah lebih cocok untuk model swakelola.

3.2. Kapasitas Internal dan Sumber Daya

Kegiatan swakelola hanya bisa dijalankan bila instansi pelaksana memiliki sumber daya manusia (SDM) yang cukup, kompeten, dan tersedia selama pelaksanaan. Untuk swakelola tipe I, instansi harus memastikan ketersediaan PNS atau pegawai non-PNS yang memiliki kemampuan teknis sesuai bidang pekerjaan. Pengalaman kerja, rekam jejak proyek, dan sertifikasi teknis (jika ada) menjadi indikator penting dalam penetapan tim pelaksana.

Untuk swakelola masyarakat (tipe IV), kelompok masyarakat harus memenuhi beberapa persyaratan administratif, antara lain:

  • Terdaftar secara sah dan memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART);
  • Memiliki struktur organisasi tetap;
  • Menunjukkan bukti telah menyelenggarakan kegiatan sejenis sebelumnya;
  • Memiliki kemampuan teknis atau sosial sesuai dengan bidang kegiatan yang akan dilakukan.

PPK bertanggung jawab melakukan verifikasi administratif dan teknis terhadap pihak pelaksana swakelola, termasuk wawancara, peninjauan lapangan, atau klarifikasi dokumen legalitas sebelum memutuskan kelayakan.

3.3. Kesesuaian Anggaran dan Perencanaan

Pelaksanaan swakelola harus masuk dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP) yang telah diumumkan secara resmi. Kegiatan yang tidak tercantum dalam RUP sebagai swakelola tidak dapat secara tiba-tiba diubah metodenya dari kontraktual menjadi swakelola, kecuali dalam kondisi darurat yang dibenarkan oleh regulasi dan dengan persetujuan tertulis dari pimpinan instansi.

Perencanaan swakelola dituangkan dalam dokumen Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK) yang menjadi dokumen sentral dan wajib. RPK minimal berisi:

  • Tujuan kegiatan;
  • Ruang lingkup pekerjaan;
  • Output yang diharapkan (baik kuantitatif maupun kualitatif);
  • Jadwal kerja harian dan tahapan kegiatan;
  • Struktur tim pelaksana;
  • Rencana anggaran rinci, termasuk kebutuhan bahan, honor, transportasi, dan peralatan.

RPK harus mendapat pengesahan dari PPK, dan bila perlu juga divalidasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau Pejabat Perencana agar pengalokasian anggaran sesuai dengan struktur kode belanja.

3.4. Aspek Administratif dan Pelaporan

Pelaksanaan swakelola memiliki tingkat kompleksitas administratif yang tidak kalah dibandingkan pengadaan dengan pihak ketiga. Hal ini karena dalam swakelola, tanggung jawab pelaksanaan tidak hanya pada penyedia, tetapi melekat langsung pada instansi pelaksana dan tim pelaksana.

Beberapa dokumen wajib yang harus disiapkan meliputi:

  • Surat Keputusan (SK) PPK tentang penetapan pelaksana swakelola;
  • Surat Penugasan Tim Pelaksana, termasuk rincian tugas dan wewenangnya;
  • Berita Acara Pelaksanaan untuk setiap tahapan kegiatan, seperti penyerahan bahan, hasil pekerjaan, dan monitoring;
  • Laporan Pertanggungjawaban Keuangan dan Kegiatan, lengkap dengan lampiran bukti pengeluaran, dokumentasi foto, dan rekapitulasi capaian.

Semua dokumen ini nantinya akan digunakan untuk audit oleh Inspektorat, BPKP, atau BPK. Oleh karena itu, meskipun tidak melibatkan penyedia, aspek pelaporan dalam swakelola justru menuntut konsistensi dan ketelitian ekstra dari tim pelaksana.

4. Prosedur Pelaksanaan Swakelola

Agar pelaksanaan swakelola berjalan sesuai ketentuan dan tidak menimbulkan permasalahan hukum atau administratif di kemudian hari, prosedurnya harus mengikuti tahapan yang baku sebagaimana diatur dalam peraturan LKPP dan pedoman internal masing-masing instansi. Prosedur ini mencakup tahapan dari perencanaan awal hingga pelaporan dan evaluasi akhir.

4.1. Perencanaan dan Persetujuan Awal

Langkah awal pelaksanaan swakelola adalah menyusun Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK) secara rinci. Dokumen ini harus disusun oleh PPK bersama tim teknis dan berisi informasi lengkap tentang maksud dan tujuan kegiatan, rincian pekerjaan, jadwal waktu pelaksanaan, kebutuhan anggaran, serta struktur tim pelaksana. Dalam beberapa instansi, penyusunan RPK juga melibatkan perencana anggaran agar kesesuaian belanja dengan kode akun dapat diverifikasi lebih awal.

Setelah RPK selesai disusun, dokumen ini diajukan kepada pimpinan satuan kerja atau KPA untuk memperoleh persetujuan pelaksanaan swakelola. Persetujuan ini menjadi dasar hukum dalam melanjutkan ke tahapan pembentukan tim dan pengadaan bahan penunjang.

4.2. Pembentukan Tim Pelaksana

Tim pelaksana swakelola terdiri dari unsur-unsur berikut:

  • Koordinator: Bertanggung jawab secara keseluruhan atas keberhasilan pelaksanaan kegiatan;
  • Anggota Teknis: Melaksanakan pekerjaan lapangan, seperti tukang, fasilitator, teknisi, atau narasumber tergantung jenis kegiatan;
  • Bendahara Kegiatan: Mengelola dana operasional, mencatat pembukuan, dan menyiapkan laporan keuangan.

Dalam swakelola masyarakat, instansi harus melakukan kolaborasi formal dengan kelompok masyarakat yang ditunjuk. Ini diwujudkan dalam bentuk nota kesepahaman (MoU) atau surat perjanjian kerja sama, yang menyebutkan peran masing-masing pihak, indikator keberhasilan, dan tanggung jawab administratif.

PPK wajib memastikan bahwa tim pelaksana memiliki kejelasan tugas, memahami jadwal kegiatan, dan menerima pengarahan sebelum pelaksanaan dimulai. Biasanya dilakukan rapat koordinasi awal (kick-off meeting) untuk menyamakan persepsi.

4.3. Pelaksanaan dan Pengawasan

Pelaksanaan kegiatan swakelola harus dilakukan sesuai jadwal dalam RPK. Selama proses ini berlangsung, dilakukan pengawasan rutin oleh:

  • Tim pengendali teknis (biasanya berasal dari instansi pelaksana);
  • Pejabat fungsional seperti auditor internal atau pengawas lapangan;
  • Unit pengguna hasil pekerjaan.

Pengawasan mencakup:

  • Verifikasi harian progres pekerjaan;
  • Dokumentasi kegiatan (foto, laporan harian, catatan keuangan);
  • Cross check kualitas hasil pekerjaan terhadap output yang direncanakan.

Bila ditemukan kendala teknis atau penyimpangan anggaran, maka segera dilakukan tindakan korektif dan dokumentasi sebagai bagian dari manajemen risiko. Dalam beberapa kasus, PPK dapat mengeluarkan addendum perubahan jadwal atau volume kerja bila disertai justifikasi teknis yang kuat.

4.4. Pertanggungjawaban dan Evaluasi

Setelah seluruh kegiatan selesai, tim pelaksana wajib menyusun Laporan Pertanggungjawaban (LPJ). Laporan ini terdiri dari:

  • Ringkasan kegiatan;
  • Capaian target;
  • Rincian penggunaan anggaran;
  • Hambatan dan rekomendasi untuk kegiatan sejenis di masa mendatang.

LPJ ini harus dilampiri bukti-bukti transaksi, dokumentasi visual, dan pengesahan dari PPK. Kemudian, LPJ tersebut diserahkan kepada:

  • Inspektorat internal untuk audit teknis dan administratif;
  • Unit perencanaan dan keuangan untuk pencatatan anggaran dan pengarsipan;
  • LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) bila diminta sebagai bagian dari pelaporan nasional.

Evaluasi hasil swakelola biasanya dilakukan dalam bentuk review internal oleh instansi pelaksana, yang dapat disampaikan dalam laporan akhir tahun atau menjadi bahan perbaikan SOP ke depan.

5. Manfaat dan Risiko Swakelola

Swakelola, meskipun bukan metode yang dominan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, memiliki potensi strategis untuk mempercepat pelaksanaan program dan memberdayakan sumber daya internal serta lokal. Namun, seperti setiap pendekatan pengadaan, swakelola juga menyimpan risiko-risiko yang perlu dikenali dan diantisipasi sejak awal. Oleh karena itu, pengambilan keputusan untuk menggunakan swakelola harus dilakukan dengan mempertimbangkan manfaat dan potensi dampak negatif secara berimbang.

5.1. Manfaat

1. Fleksibilitas Waktu Pelaksanaan

Salah satu keunggulan utama swakelola adalah kemampuannya untuk mempercepat pelaksanaan kegiatan. Tanpa harus melalui proses lelang, pengumuman, evaluasi penawaran, klarifikasi penyedia, dan proses kontrak yang memakan waktu, instansi dapat langsung memulai pekerjaan begitu Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK) disusun dan disetujui. Kecepatan ini sangat berguna untuk kegiatan rutin, pekerjaan darurat, atau program sosial yang bersifat mendesak dan tidak dapat menunggu proses tender yang panjang.

2. Pengoptimalan Sumber Daya Internal

Dengan swakelola, instansi dapat memberdayakan potensi SDM yang telah dimiliki. Pegawai negeri sipil (PNS), penyuluh lapangan, tenaga teknis internal, atau dosen perguruan tinggi negeri dapat dimanfaatkan langsung untuk merancang dan melaksanakan pekerjaan sesuai bidang keahlian mereka. Hal ini tidak hanya menekan biaya, tetapi juga meningkatkan rasa memiliki terhadap hasil pekerjaan. Dalam swakelola masyarakat, pelibatan kelompok lokal membuka peluang pemberdayaan sosial, transfer keterampilan, serta penguatan kohesi sosial di wilayah program.

3. Efisiensi Biaya

Karena tidak ada margin keuntungan penyedia dan biaya overhead perusahaan, swakelola berpotensi menghasilkan efisiensi anggaran yang signifikan. Biaya hanya dikeluarkan untuk komponen nyata seperti bahan, upah kerja, transportasi, dan alat. Dalam konteks keterbatasan fiskal atau kebutuhan optimalisasi APBD/APBN, model ini bisa menjadi pilihan ideal untuk kegiatan dengan output langsung dan terukur. Lebih jauh, pengeluaran dalam swakelola relatif lebih mudah dikontrol karena ditangani langsung oleh instansi pelaksana.

4. Peningkatan Partisipasi Masyarakat

Swakelola tipe III dan IV yang melibatkan organisasi kemasyarakatan dan kelompok masyarakat membuka ruang luas bagi pendekatan pembangunan partisipatif. Masyarakat tidak hanya menjadi objek, melainkan subjek dalam pembangunan. Ini berdampak pada perawatan aset pasca-program, menurunkan potensi vandalisme, serta meningkatkan keberlanjutan hasil pembangunan.

5.2. Risiko

1. Potensi Penyalahgunaan Wewenang

Karena tidak melalui proses kompetitif, swakelola membuka ruang yang lebih besar terhadap potensi kolusi dan nepotisme. Kegiatan fiktif, penggelembungan biaya, atau manipulasi hasil pekerjaan bisa terjadi jika pengawasan internal dan eksternal lemah. Oleh karena itu, setiap kegiatan swakelola harus memiliki dokumentasi yang lengkap dan transparan, serta siap diaudit kapan saja.

2. Keterbatasan Keahlian Teknis

Tidak semua instansi memiliki sumber daya manusia dengan keahlian teknis yang cukup untuk melaksanakan pekerjaan secara mandiri. Misalnya, kegiatan yang membutuhkan keterampilan khusus seperti instalasi listrik bertegangan tinggi atau rekayasa struktur seismik tinggi tidak cocok diswakelolakan jika SDM internal tidak memiliki kompetensi yang diakui. Kualitas hasil dapat menurun dan berdampak pada keselamatan, efisiensi penggunaan anggaran, dan reputasi instansi.

3. Tantangan Akuntabilitas dan Laporan Keuangan

Tanggung jawab administratif swakelola sangat besar. Instansi pelaksana bertanggung jawab mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporan keuangan dan kegiatan. Kesalahan pencatatan, kurangnya bukti transaksi yang sah, atau kelalaian dalam dokumentasi sangat rentan memicu temuan audit yang serius. Apalagi jika laporan pertanggungjawaban tidak sesuai dengan output yang dihasilkan, atau tidak dapat diverifikasi oleh auditor independen.

4. Potensi Konflik Internal

Karena pelaksana berasal dari dalam instansi, swakelola bisa memicu konflik kepentingan atau persaingan tidak sehat antarpegawai, khususnya terkait honorarium, tanggung jawab, dan beban kerja. Jika tidak dikelola dengan baik, suasana kerja bisa menjadi tidak kondusif, dan kualitas pekerjaan pun menurun.

6. Studi Kasus Implementasi Swakelola

Studi kasus nyata memberikan ilustrasi penting mengenai bagaimana swakelola dapat diterapkan secara efektif di lapangan, sekaligus memperlihatkan tantangan yang mungkin dihadapi. Berikut dua studi kasus dari dua model swakelola yang berbeda:

6.1. Swakelola Perorangan di Dinas PUPR Kabupaten X

Latar Belakang:
Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten X memiliki program pemeliharaan jalan lingkungan kampung sepanjang 1,2 km. Berdasarkan evaluasi teknis dan urgensi, diputuskan pelaksanaan melalui swakelola tipe I karena memiliki SDM teknis dan peralatan yang memadai.

Pelaksanaan:
Kegiatan dilaksanakan oleh tim teknis internal yang terdiri dari PNS berpengalaman, dibantu oleh tenaga kontrak harian. Dinas menggunakan alat berat milik sendiri (grader, roller), serta membeli material lokal dari distributor resmi. Pelaksanaan berlangsung selama 20 hari kerja.

Hasil:
Waktu pelaksanaan lebih cepat 30% dari estimasi kontraktual. Biaya pengeluaran hanya mencapai 85% dari pagu karena tidak ada margin keuntungan, dan tidak perlu menyewa alat berat. Kualitas pekerjaan diakui baik oleh pengguna jalan, dan audit internal tidak menemukan pelanggaran prosedur.

Pembelajaran:
Swakelola perorangan dapat sangat efektif bila instansi memiliki SDM teknis dan peralatan sendiri. Namun, pengawasan tetap diperlukan, terutama pada pembelian material dan pelaporan biaya.

6.2. Swakelola Masyarakat di Provinsi Y

Latar Belakang:
Pemerintah Provinsi Y merancang program peningkatan sanitasi melalui pembangunan MCK umum di 50 desa terpencil. Untuk mempercepat dan memberdayakan masyarakat, pelaksanaan dilakukan melalui swakelola tipe IV dengan melibatkan kelompok masyarakat lokal.

Pelaksanaan:
Kelompok masyarakat dibentuk dan dilegalisasi melalui surat keputusan kepala desa. Mereka menerima pelatihan teknis dari fasilitator sanitasi provinsi selama 3 hari. Dana disalurkan melalui rekening kelompok dan digunakan untuk pembelian material serta upah kerja.

Hasil:
Semua titik pembangunan selesai tepat waktu. Kualitas bangunan MCK sesuai standar, dan masyarakat merasa memiliki serta berkomitmen memelihara fasilitas. Evaluasi akhir menunjukkan biaya satuan pembangunan MCK 10% lebih rendah dibandingkan kontraktual.

Pembelajaran:
Swakelola masyarakat efektif untuk proyek berbasis sosial dengan partisipasi tinggi. Namun, proses pelatihan, pendampingan, dan pengawasan harus intensif, terutama untuk memastikan transparansi pengelolaan keuangan.

7. Rekomendasi Praktis dan Penutup

Agar pelaksanaan swakelola berhasil dan tidak menimbulkan masalah hukum maupun administratif, berikut beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan oleh Pokja, PPK, dan instansi pelaksana:

  1. Lakukan Penilaian Awal dengan Cermat:
    Pastikan bahwa jenis kegiatan memang layak diswakelolakan. Gunakan analisis risiko, kesesuaian SDM, dan pertimbangan efisiensi biaya sebagai dasar pemilihan metode pengadaan.
  2. Susun Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK) secara Detail:
    Jangan mengabaikan pentingnya RPK. RPK harus memuat informasi menyeluruh, mulai dari ruang lingkup, jadwal, hingga rencana anggaran per komponen.
  3. Tetapkan Tim yang Kompeten dan Akuntabel:
    Pilih pelaksana dengan rekam jejak baik dan sesuai keahlian. Tetapkan tugas secara tertulis dan pastikan mereka memahami kewajiban administratif.
  4. Perkuat Mekanisme Pengawasan:
    Libatkan pengawas teknis, Inspektorat, dan auditor internal sejak awal. Gunakan checklist, laporan berkala, dan dokumentasi kegiatan sebagai alat kontrol mutu.
  5. Bangun Kesadaran Pelaporan dan Pertanggungjawaban:
    Tim pelaksana harus diberi pemahaman bahwa pelaporan keuangan dan dokumentasi fisik sama pentingnya dengan hasil pekerjaan fisik.
  6. Gunakan Teknologi untuk Transparansi:
    Manfaatkan sistem informasi pengadaan dan pelaporan elektronik untuk meningkatkan efisiensi dan menghindari kehilangan data.

Penutup

Swakelola merupakan alternatif strategis dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah, khususnya dalam konteks efisiensi, pemberdayaan, dan percepatan realisasi program. Namun, keberhasilan swakelola bergantung pada kombinasi antara regulasi yang dipatuhi secara ketat, kapasitas pelaksana yang memadai, serta sistem pengawasan yang andal.

Pokja dan PPK harus memahami dengan jelas kapan dan bagaimana swakelola dapat digunakan. Dengan perencanaan matang, dokumentasi lengkap, dan pelaksanaan profesional, swakelola tidak hanya menjadi solusi teknis pengadaan, tetapi juga simbol komitmen tata kelola yang baik, efisiensi anggaran, dan pelayanan publik yang responsif.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *