Pendahuluan
Bencana alam dan krisis skala besar-seperti gempa bumi, banjir bandang, kebakaran hutan, atau pandemi global-sering kali datang secara tiba-tiba dan menimbulkan gangguan besar terhadap kehidupan masyarakat serta operasional pemerintahan. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah dituntut untuk bertindak cepat dan tepat dalam menanggulangi dampak yang terjadi. Salah satu langkah krusial yang harus dilakukan adalah Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) dalam situasi darurat. Namun, kondisi darurat sering kali memaksa pemerintah untuk meninggalkan prosedur normal dan memilih jalur respons cepat. Inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan-pertanyaan kritis di lapangan: barang atau jasa apa saja yang boleh dibeli tanpa melalui tender panjang? Metode pengadaan mana yang tetap sah secara hukum meski prosedurnya disingkat? Dan, langkah-langkah apa yang justru dilarang karena melanggar prinsip-prinsip dasar pengadaan, seperti transparansi dan akuntabilitas?
Artikel ini hadir untuk menjawab kebingungan tersebut secara menyeluruh dan sistematis, artikel ini menguraikan:
- Kerangka regulasi yang secara hukum mengatur PBJ dalam masa bencana;
- Metode pengadaan darurat yang dibolehkan dan yang tidak sesuai aturan;
- Jenis barang dan jasa yang menjadi prioritas dalam situasi krisis;
- Pengelolaan anggaran dan pelaporan untuk menjaga akuntabilitas;
- Studi kasus dan praktik terbaik yang sudah terbukti efektif di lapangan;
- Rekomendasi strategis untuk mendorong kecepatan sekaligus menjaga integritas.
Dengan memahami dengan baik apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam PBJ saat bencana, pelaku pengadaan akan mampu menyusun strategi yang adaptif, merespons kebutuhan secara tepat waktu, namun tetap berpijak pada prinsip efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas yang menjadi dasar tata kelola pemerintahan yang baik.
1. Kerangka Regulasi PBJ Masa Bencana
Pengadaan darurat bukanlah praktik yang lepas dari hukum. Justru sebaliknya, kondisi darurat memiliki kerangka hukum tersendiri yang memberikan fleksibilitas prosedur, namun tetap dalam koridor regulasi. Penting bagi pelaku pengadaan untuk memahami bahwa “kedaruratan” bukan berarti kebebasan mutlak, tetapi kelonggaran bersyarat dengan kontrol akuntabilitas yang ketat.
1.1. Dasar Hukum Utama
- Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menjadi rujukan utama. Pada Pasal 59 dijelaskan secara khusus mengenai pengadaan dalam keadaan darurat.
- Perpres No. 12 Tahun 2021, sebagai perubahan atas Perpres 16/2018, memperkuat detail prosedur pengadaan darurat, termasuk mengenai jenis metode yang dapat digunakan dan batasan nilai.
- Peraturan LKPP, termasuk Perlem dan Surat Edaran Kepala LKPP, memberikan pedoman teknis mengenai pengadaan darurat. Ini termasuk alur penyusunan dokumen, jenis metode, dan pelaporan hasil pelaksanaan.
- Surat Edaran Kementerian/Lembaga/Daerah, terutama yang menetapkan status darurat secara resmi. SK penetapan status darurat dari BNPB, BPBD, atau Dinas Kesehatan sangat penting sebagai dasar pelaksanaan PBJ darurat.
1.2. Definisi dan Syarat Pengadaan Darurat
Pengadaan darurat didefinisikan sebagai pengadaan barang/jasa yang dilakukan dalam rangka penanganan situasi luar biasa yang tidak dapat diprediksi sebelumnya, dan membutuhkan respons cepat untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Termasuk di dalamnya:
- Bencana alam, seperti gempa, banjir, tsunami, gunung meletus.
- Gangguan layanan vital, seperti kebocoran gas beracun, kerusakan jembatan utama.
- Krisis kesehatan masyarakat, seperti pandemi COVID-19, KLB penyakit menular.
Syarat utama pelaksanaan pengadaan darurat adalah:
- Adanya dokumen resmi yang menetapkan status darurat (SK Kepala Daerah, BNPB, atau otoritas teknis).
- Adanya kebutuhan mendesak yang didukung oleh analisis teknis dari dinas terkait.
- Justifikasi tertulis yang menjelaskan mengapa prosedur normal tidak dapat diberlakukan.
1.3. Prinsip Dasar yang Tetap Berlaku
Meskipun diberi kelonggaran prosedur, prinsip dasar PBJ tetap berlaku secara utuh:
- Efisien: Pengadaan harus dilakukan dengan sumber daya minimal namun hasil maksimal.
- Efektif: Barang/jasa harus sesuai kebutuhan darurat.
- Transparan: Tetap menyediakan informasi yang bisa dilacak dan dipertanggungjawabkan.
- Bersaing: Jika memungkinkan, membandingkan minimal dua penyedia.
- Adil: Tidak diskriminatif terhadap calon penyedia.
- Akuntabel: Dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral.
Minimal, harus ada audit trail berupa:
- Bukti penunjukan penyedia
- Justifikasi teknis
- Dokumen pengiriman/penerimaan barang
- Bukti pembayaran
2. Metode Pengadaan Darurat: Yang Boleh dan Tidak
Dalam konteks pengadaan darurat, metode yang digunakan bersifat khusus dan fleksibel. Hal ini penting untuk mempercepat proses tanpa mengabaikan aspek legalitas dan pertanggungjawaban.
2.1. Metode yang Diizinkan
- Penunjukan Langsung (PL): Merupakan metode paling umum digunakan dalam kondisi darurat. Penyedia barang/jasa ditunjuk langsung tanpa melalui proses tender atau seleksi. Diatur dalam Pasal 59 Perpres 16/2018.
- Pengadaan Langsung (PD): Untuk pengadaan dengan nilai tertentu yang masih dalam batas maksimal. Digunakan untuk barang dengan spesifikasi umum yang tersedia di pasar.
- E-purchasing: Untuk barang yang tersedia di e-Katalog. Meski tidak selalu darurat, pengadaan melalui e-Katalog mempercepat proses karena semua dokumen dan harga sudah terdigitalisasi.
- Tender Cepat (Reverse Auction): Jika situasi memungkinkan, tender cepat dapat dilakukan terutama untuk pengadaan dalam jumlah besar tetapi dapat diselesaikan dalam hitungan hari.
2.2. Metode yang Dilarang
- Tender Umum Berproses Penuh: Proses ini melibatkan pengumuman, sanggahan, evaluasi teknis dan harga, klarifikasi, dan penetapan pemenang yang memerlukan waktu lama. Tidak sesuai untuk kondisi darurat.
- Pengadaan Multi-Tahap: Metode seperti Seleksi Dua Tahap atau Tender Terbatas yang membutuhkan waktu dan prosedur kompleks tidak relevan dalam situasi darurat.
- Tanpa Audit Internal: Meskipun darurat, pelaporan dan audit tetap wajib dilakukan. Melewati proses ini berarti melanggar prinsip akuntabilitas dan membuka celah penyimpangan.
2.3. Batasan Nilai Khusus Bencana
Dalam kondisi darurat, pemerintah memberikan kelonggaran terhadap batas nilai maksimal pengadaan:
- Batas nilai penunjukan langsung dapat dinaikkan hingga dua kali lipat dari ketentuan biasa, sesuai dengan Peraturan LKPP atau SE Kepala LKPP pada masa bencana.
- Nilai e-purchasing tetap mengacu pada harga katalog, namun dalam situasi darurat dapat dilengkapi dengan pembandingan harga dari sumber lain (harga pasar, referensi lain dari BNPB/BPBD).
Meski nilai batasannya dilonggarkan, proses dokumentasi tetap wajib dijalankan agar keputusan dapat diuji secara administratif dan hukum di kemudian hari.
3. Jenis Barang/Jasa Prioritas dan yang Dianggap Non-Essensial
Krisis menuntut fokus. Tidak semua barang dan jasa patut dibeli dalam situasi darurat. Oleh karena itu, penting bagi pelaku pengadaan untuk memprioritaskan pengadaan berdasarkan urgensi, dampak terhadap penyelamatan jiwa, dan keberlanjutan pelayanan dasar.
3.1. Barang/Jasa Prioritas (Boleh)
Barang dan jasa yang masuk dalam kategori “boleh” atau prioritas untuk pengadaan darurat adalah kebutuhan yang menyentuh langsung aspek keselamatan jiwa, keberlangsungan hidup, dan pemulihan infrastruktur kritis:
- Logistik Dasar: Seperti beras, air bersih dalam kemasan, makanan siap saji, tenda pengungsi, selimut, dan alas tidur. Barang-barang ini menjadi kebutuhan mendesak di hari pertama hingga minggu awal pasca-bencana.
- Peralatan Medis: Masker, sarung tangan, alat pelindung diri (APD), ventilator, oksigen portable, obat-obatan, dan peralatan gawat darurat lainnya. Digunakan untuk mendukung pelayanan di fasilitas kesehatan darurat atau rumah sakit rujukan.
- Tenaga Ahli: Penyediaan tenaga medis (dokter, perawat), paramedis, teknisi listrik, insinyur struktur bangunan, tim evakuasi, dan operator alat berat. Pengadaan jasa profesional ini dilakukan secara langsung berdasarkan referensi dari asosiasi profesi atau dinas teknis.
- Jasa Kebersihan dan Sanitasi: Seperti penyemprotan disinfektan, pengangkutan limbah medis, penyediaan toilet darurat, dan jasa sanitasi lingkungan.
3.2. Barang/Jasa Non-Essensial (Hindari)
Dalam keadaan darurat, pengadaan barang dan jasa yang tidak berdampak langsung pada penanganan bencana harus dihindari karena berpotensi menjadi temuan audit atau kritik publik:
- Konsumsi Mewah: Pengadaan makanan mewah, suvenir, cendera mata, atau paket perjalanan (travel) tidak dapat dibenarkan. Ini sering menjadi sasaran sorotan karena dinilai tidak peka terhadap krisis.
- Jasa Konsultasi Non-Darurat: Pelatihan keterampilan umum, seminar non-teknis, coaching motivasi, atau pengembangan website promosi tidak memiliki urgensi dalam situasi bencana.
- Aset Tetap Mewah: Seperti pembelian mobil dinas, renovasi besar-besaran gedung kantor, atau pembangunan infrastruktur jangka panjang yang tidak berkaitan langsung dengan tanggap darurat. Kecuali bila bangunan rusak berat dan perlu difungsikan kembali sebagai fasilitas layanan publik.
4. Pengelolaan Anggaran dan Pelaporan
Proses pengadaan dalam masa bencana tidak bisa dipisahkan dari tata kelola keuangan negara. Karena itu, pengelolaan anggaran dan pelaporan menjadi aspek penting yang harus dipatuhi untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas. Setiap rupiah yang digunakan dalam kondisi darurat tetap harus dapat dipertanggungjawabkan, baik secara administrasi maupun moral kepada publik.
4.1. Penganggaran Khusus Darurat
- Alokasi Dana Darurat: Pemerintah pusat dan daerah wajib menyisihkan cadangan anggaran dalam bentuk dana kontinjensi yang tercantum dalam APBN/APBD. Dana ini menjadi instrumen awal saat terjadi bencana, yang dapat langsung digunakan tanpa menunggu proses anggaran ulang yang panjang.
- Revisi DIPA dan APBD: Ketika kebutuhan darurat melebihi dana kontinjensi, instansi diperbolehkan melakukan revisi DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) atau APBD. Revisi dilakukan dengan mekanisme percepatan yang melibatkan persetujuan DPR/DPRD, mengingat urgensinya. Dalam proses ini, penting menjaga transparansi kepada legislatif dan publik, agar tidak muncul kecurigaan terkait alokasi baru.
- Fleksibilitas Penggunaan Anggaran: Dalam kondisi darurat, fleksibilitas alokasi antar kegiatan dan subkegiatan diperbolehkan untuk efisiensi. Namun, pencatatan dan pelaporan perubahan penggunaan anggaran harus tetap dilakukan secara rinci.
4.2. Mekanisme Pelaporan Singkat
- Laporan Ringkas dan Tepat Waktu: Meskipun prosedur pengadaan disederhanakan, setiap aktivitas tetap harus dilaporkan. Laporan memuat informasi paket pengadaan (jenis barang/jasa, penyedia, nilai kontrak, waktu pelaksanaan), serta hasil/output (jumlah barang, lokasi distribusi, kondisi barang).
- Pelaporan ke LKPP dan BPK: Laporan dikirimkan maksimal 30-60 hari setelah kegiatan selesai. Pelaporan ini menjadi dasar bagi LKPP dan BPK untuk melakukan evaluasi kebijakan serta sebagai bahan pembelajaran dan penyesuaian peraturan di masa mendatang.
- Portal Laporan Khusus: Beberapa instansi mengembangkan portal pelaporan darurat yang terhubung dengan e-Monev (monitoring dan evaluasi) nasional, sehingga laporan pengadaan darurat dapat diakses oleh pemangku kepentingan dan publik.
4.3. Audit Pasca-Darurat
- Audit Internal (Inspektorat): Dilakukan dalam jangka waktu maksimal 3 bulan pasca pelaksanaan. Audit internal memastikan dokumen kontrak, pengiriman barang, dan serah terima sesuai prosedur. Selain itu, audit juga mengevaluasi apakah barang/jasa memang digunakan untuk penanganan darurat dan sesuai spesifikasi.
- Audit Eksternal (BPK/BPKP): Audit eksternal menyasar keabsahan administratif dan efektivitas anggaran. Temuan dari audit ini bisa menghasilkan rekomendasi administratif, tuntutan ganti rugi, hingga pidana jika ditemukan unsur fraud.
- Audit Publik dan Partisipatif: Beberapa daerah mulai mengadopsi model audit sosial, di mana masyarakat dilibatkan dalam mengawasi distribusi barang darurat. Mekanisme ini terbukti menekan praktik korupsi dan meningkatkan kepercayaan publik.
Pelaporan dan audit bukan hanya kewajiban administratif, tetapi juga sarana untuk membangun akuntabilitas dan memperkuat legitimasi respons pemerintah.
5. Praktik Terbaik dan Studi Kasus
Belajar dari keberhasilan pengadaan darurat di berbagai daerah memberikan inspirasi sekaligus pedoman operasional yang lebih konkret bagi pengambil kebijakan dan pelaku PBJ.
5.1. Studi Kasus Kabupaten A (Gempa)
- Situasi: Gempa 7,4 SR melanda wilayah pegunungan Kabupaten A, merusak ribuan rumah warga dan memutus jalur distribusi logistik.
- Tindakan: Dalam waktu kurang dari 12 jam, kepala daerah menetapkan status darurat. Pokja bekerja sama dengan BPBD dan melakukan penunjukan langsung terhadap tiga penyedia lokal untuk pengadaan tenda, logistik makanan, dan genset darurat. Semua proses dilakukan dengan pencatatan manual dan digital paralel.
- Hasil: Dalam waktu 3 hari, lebih dari 90% pengungsi telah mendapatkan tempat tinggal sementara dan bantuan logistik dasar. Tidak ada sanggahan ataupun temuan audit karena semua dokumen disusun rapi dan didukung oleh logistik monitoring berbasis aplikasi.
5.2. Studi Kasus Kota B (Pandemi COVID-19)
- Situasi: Lonjakan kasus COVID-19 menyebabkan krisis ketersediaan alat pelindung diri (APD) untuk tenaga kesehatan di Kota B.
- Tindakan: Pemkot memanfaatkan fitur e-purchasing untuk pengadaan 1 juta masker dan 50 ribu APD dari tiga vendor nasional. Proses dilakukan secara online, dengan validasi harga melalui referensi e-Katalog dan survei pasar.
- Hasil: Proses pengadaan hanya memakan waktu satu minggu. Distribusi APD tepat sasaran dan tidak ditemukan penyimpangan dalam audit BPK. Kota B menjadi contoh nasional karena mengedepankan kecepatan, kepatuhan prosedur, dan transparansi publik.
5.3. Pembelajaran Kunci
- Kesiapsiagaan Sistemik: Memiliki database vendor darurat yang tervalidasi sebelum bencana, serta kerangka SOP khusus sangat membantu.
- Kolaborasi Lintas Sektor: Keberhasilan pengadaan darurat ditentukan oleh sinergi antara unit PBJ, BPBD, Dinas Kesehatan, BPKAD, dan pihak keamanan.
- Dokumentasi Real-Time: Penggunaan teknologi sederhana seperti WhatsApp Group dan Google Sheet untuk koordinasi dan pelaporan real-time mempercepat validasi dan pengambilan keputusan.
- Kepemimpinan Responsif: Keberhasilan juga dipengaruhi oleh pimpinan daerah yang sigap menetapkan status darurat dan mendorong keluwesan prosedur tanpa mengabaikan akuntabilitas.
6. Rekomendasi untuk Meningkatkan Akuntabilitas dan Kecepatan Respons
Agar pengadaan darurat tidak menjadi celah penyimpangan, tetapi justru menjadi contoh respons birokrasi yang adaptif dan akuntabel, maka perlu strategi sistemik yang terintegrasi.
6.1. Penguatan SOP Darurat
- Buat SOP khusus untuk pengadaan darurat yang memetakan alur komunikasi, siapa berbuat apa, dan tanggung jawab dokumentasi. SOP ini harus mampu menjawab situasi kompleks dan dinamis.
- SOP perlu diuji melalui simulasi tahunan, seperti drill pengadaan bencana, agar semua pihak memahami perannya.
6.2. Pemanfaatan Teknologi
- Kembangkan dashboard monitoring pengadaan darurat berbasis real-time yang terhubung ke aplikasi pelaporan lapangan.
- LKPP dan instansi pusat sebaiknya menyediakan e-Katalog khusus tanggap darurat yang bisa diakses oleh pemerintah daerah.
- Penggunaan tanda tangan digital dan e-contract dapat memangkas waktu legalisasi dokumen secara signifikan.
6.3. Pelatihan Berkala
- Selenggarakan simulasi tabletop exercise (TTX) pengadaan darurat minimal dua kali setahun.
- Sediakan modul e-learning dan microlearning untuk ASN PBJ agar dapat belajar mandiri tanpa harus menunggu pelatihan konvensional.
- Libatkan pelaku pengadaan, auditor, dan pemangku kepentingan lain dalam satu forum pelatihan agar ada pemahaman yang seragam.
6.4. Transparansi Publik
- Wajibkan publikasi pengadaan darurat di website resmi instansi. Konten minimal mencakup nama penyedia, jenis barang/jasa, nilai kontrak, dan status pengiriman.
- Buka kanal pengaduan masyarakat dan libatkan LSM atau media lokal untuk mengawasi distribusi barang.
- Terapkan prinsip Open Contracting Data Standard (OCDS) agar data pengadaan mudah diakses dan dimanfaatkan oleh publik.
Dengan kombinasi kebijakan yang tepat, teknologi, dan keterlibatan publik, pengadaan darurat bisa menjadi ajang pembuktian bahwa birokrasi Indonesia mampu bertindak cepat tanpa mengorbankan prinsip-prinsip tata kelola yang baik.
7. Kesimpulan
Pengadaan barang/jasa di masa bencana memerlukan keseimbangan antara kecepatan dan akuntabilitas. Prosedur memang dipersingkat, namun tidak berarti dikesampingkan. Dengan memahami secara mendalam apa yang diperbolehkan dan tidak, serta memperkuat SOP, pemanfaatan teknologi, dan kolaborasi lintas sektor, instansi pemerintah dapat memberi respons cepat tanpa mengorbankan prinsip pengadaan yang baik. Dalam jangka panjang, kesiapsiagaan menjadi kunci. Kapasitas Pokja, database vendor siap pakai, serta regulasi yang adaptif akan memastikan bahwa PBJ dalam masa darurat bukan hanya cepat, tetapi juga tepat dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, pengadaan darurat tidak hanya menjadi reaksi, tetapi bagian dari strategi tata kelola yang resilien.