Pendahuluan
Pengadaan barang/jasa dalam kondisi darurat (emergency procurement) menjadi salah satu tantangan terbesar dan paling kompleks bagi instansi pemerintah di semua tingkatan. Situasi darurat bisa timbul secara tiba-tiba, tidak terduga, dan mengancam keselamatan masyarakat luas atau stabilitas pelayanan publik. Bencana alam seperti banjir, gempa bumi, dan kebakaran hutan; gangguan sistemik seperti kerusakan infrastruktur vital atau sistem informasi pemerintahan; hingga krisis kesehatan masyarakat seperti pandemi COVID-19 adalah contoh nyata bagaimana pengadaan harus dilakukan dengan segera, efisien, dan tepat sasaran dalam waktu yang sangat terbatas.
Dalam konteks ini, Kelompok Kerja (Pokja) Pengadaan memegang peran yang sangat strategis. Mereka tidak hanya menjadi pelaksana teknis yang mengeksekusi proses pengadaan, tetapi juga bertindak sebagai pengambil keputusan dalam kondisi penuh tekanan, serta penjaga transparansi dan akuntabilitas publik. Pokja harus mampu bergerak cepat tanpa mengorbankan integritas, mampu berinovasi tanpa melanggar regulasi, dan mampu menyusun strategi pengadaan yang fleksibel namun tetap bertanggung jawab secara administratif dan moral.
Artikel ini akan mengulas secara komprehensif peran Pokja dalam pengadaan darurat, dimulai dari memahami kerangka hukum yang melandasi kewenangan dan fleksibilitasnya, dilanjutkan dengan langkah-langkah praktis yang perlu disiapkan sebelum dan selama keadaan darurat, serta membedah tantangan integritas yang sangat rentan dalam situasi krisis. Pada akhirnya, artikel ini juga akan membahas bagaimana proses evaluasi dan pembelajaran dari pengadaan darurat dapat menjadi dasar reformasi berkelanjutan dalam sistem pengadaan nasional.
1. Kerangka Regulasi Pengadaan Darurat
Sebelum berbicara lebih jauh tentang bagaimana Pokja bertindak di lapangan dalam pengadaan darurat, penting untuk memahami dasar hukum dan pedoman yang membentuk ruang lingkup kewenangan mereka. Pengadaan darurat bukanlah proses yang tanpa aturan. Justru karena dilaksanakan dalam situasi kritis, maka pengaturannya harus jelas, tegas, dan tetap akuntabel.
1.1. Landasan Hukum dan Definisi Darurat
Pengadaan darurat diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan perubahannya, khususnya pada Pasal 59 serta ketentuan turunan yang dikeluarkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Selain itu, terdapat Surat Edaran dan pedoman teknis yang menjelaskan pelaksanaan pengadaan darurat dalam konteks krisis tertentu, seperti pandemi dan bencana alam nasional.
Secara umum, kondisi darurat didefinisikan sebagai keadaan yang membutuhkan pengadaan barang/jasa dengan segera untuk mencegah risiko lebih besar, seperti hilangnya nyawa, kerusakan lingkungan, gangguan layanan publik vital, atau kerugian negara yang lebih besar. Keadaan ini bersifat insidentil dan tidak dapat direncanakan secara normal dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP). Oleh karena itu, pengadaan darurat dibolehkan melakukan penyederhanaan prosedur, namun tidak berarti dapat melanggar prinsip-prinsip dasar pengadaan: efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil, dan akuntabel.
1.2. Skema Prosedur Singkat
Salah satu keunggulan pengadaan darurat adalah kemampuannya melakukan penyederhanaan proses demi menjawab kebutuhan mendesak. Skema prosedur ini dapat bervariasi tergantung pada situasi dan jenis pengadaan yang dilakukan. Namun, secara umum, pokja dapat menggunakan metode sebagai berikut:
- Penunjukan Langsung atau Pembelian Langsung: Digunakan ketika waktu sangat terbatas dan hanya terdapat sedikit penyedia yang memenuhi kriteria teknis.
- Pemangkasan Tahapan: Beberapa tahapan formal seperti klarifikasi publik, pengumuman berulang, atau tahapan evaluasi multi-lapis bisa disederhanakan. Namun, tetap dilakukan evaluasi minimum untuk menjamin kualitas dan kesesuaian teknis.
- Penggunaan e-Katalog atau Referensi Harga: Dalam beberapa kasus, pengadaan dapat langsung mengacu pada produk dalam e-Katalog atau menggunakan referensi harga dari instansi teknis, selama tidak melanggar prinsip value for money.
Pedoman teknis dari LKPP biasanya menyertakan template dokumen, contoh pengisian, serta tata cara pelaporan agar prosedur ini dapat dijalankan dengan cepat tanpa mengabaikan kewajiban dokumentasi. Pokja harus tetap menyusun Berita Acara, kontrak, dan laporan evaluasi meskipun waktunya terbatas.
1.3. Batasan Nilai dan Kewenangan
Dalam kondisi normal, terdapat batasan nilai pengadaan langsung yang dibedakan berdasarkan jenis barang/jasa. Namun dalam keadaan darurat, batasan ini dapat diperluas, terutama jika penetapan status darurat sudah dikeluarkan secara resmi oleh pemerintah daerah atau nasional. PPK memiliki kewenangan khusus untuk melakukan penunjukan langsung dalam nilai yang besar, bahkan di atas Rp200 juta, dengan tetap melaporkan ke kepala instansi. Namun kewenangan ini harus dibarengi dengan tanggung jawab yang besar. Pokja harus memastikan bahwa:
- Penetapan darurat telah memiliki dasar hukum (SK status darurat)
- Pilihan penyedia memiliki justifikasi kuat: pengalaman, ketersediaan barang, kemampuan distribusi cepat
- Harga wajar dan terdokumentasi (dibuktikan dengan price list, pembanding, atau penilaian independen)
Pokja juga harus bekerja erat dengan Inspektorat dan APIP sejak awal proses agar proses pengadaan darurat tidak menjadi celah bagi pelanggaran hukum yang kelak bisa berdampak pidana. Dengan pemahaman regulasi yang kuat, Pokja dapat menjalankan fungsi pengadaan darurat secara cepat, tepat sasaran, dan tetap menjunjung tinggi prinsip akuntabilitas.
2. Persiapan Khusus oleh Pokja dalam Situasi Darurat
Dalam kondisi darurat, kesiapsiagaan bukan hanya menjadi nilai tambah, tetapi prasyarat utama bagi Pokja untuk menjalankan tugasnya secara efektif. Persiapan yang dilakukan sebelum situasi genting terjadi akan menentukan keberhasilan pengadaan saat krisis. Pokja yang profesional harus memiliki seperangkat mekanisme, SDM, dan sumber daya yang bisa langsung diaktifkan begitu keadaan darurat diumumkan.
2.1. Pembentukan Tim Darurat
Pembentukan tim darurat dilakukan sebelum bencana atau krisis terjadi. Pokja harus membentuk unit tanggap cepat yang terdiri dari:
- Personel Inti: Anggota Pokja dengan pengalaman di lapangan, kemampuan mengambil keputusan cepat, serta ketahanan fisik dan mental di bawah tekanan. Mereka harus familiar dengan proses pengadaan sekaligus memiliki fleksibilitas dalam situasi yang penuh ketidakpastian.
- Tim Pendukung: Meliputi unit logistik (untuk pengadaan dan distribusi barang), tim IT (untuk menjaga keberlanjutan sistem elektronik), dan tim komunikasi (untuk menjaga koordinasi internal serta komunikasi publik). Pembentukan tim ini perlu disertai dengan daftar kontak darurat, sistem rotasi kerja, serta protokol eskalasi untuk menghadapi berbagai skenario krisis.
2.2. SOP Pengadaan Darurat Terpisah
Pokja harus memiliki SOP tersendiri untuk menghadapi pengadaan dalam situasi darurat. SOP ini tidak bisa hanya berupa penyesuaian SOP reguler, tetapi disusun secara komprehensif, mencakup:
- Diagram alir proses pengadaan darurat mulai dari perencanaan, pemilihan penyedia, hingga pelaporan akhir.
- Format dokumen darurat, termasuk kontrak ringkas, template laporan pelaksanaan, dan form checklist penerimaan barang/jasa.
- Penetapan alur komunikasi dan pengambilan keputusan yang lebih ringkas, termasuk wewenang langsung pada ketua Pokja atau PPK tanpa harus menunggu birokrasi berlapis.
SOP ini harus diujicobakan secara berkala melalui simulasi tahunan minimal sekali, bekerja sama dengan BPBD, dinas kesehatan, atau tim tanggap darurat lainnya.
2.3. Ketersediaan Database Vendor Darurat
Dalam kondisi genting, proses pencarian vendor dari awal akan memakan waktu yang sangat mahal. Oleh karena itu:
- Pokja harus menyusun database vendor siaga darurat, mencakup penyedia dengan track record baik, kapasitas logistik cepat, serta kepemilikan stok barang prioritas (seperti logistik bencana, tenda, obat-obatan, alat berat).
- Database ini perlu diperbarui secara berkala, minimal dua kali setahun, dan dilengkapi dengan verifikasi administratif serta pengecekan kondisi stok terkini.
Penyedia yang masuk ke daftar ini bisa diberi klasifikasi siaga berdasarkan kecepatan respons, lokasi geografis, dan jenis produk.
2.4. Pelatihan dan Simulasi Darurat
Pelatihan rutin sangat penting untuk membiasakan Pokja dengan protokol darurat dan mengasah respons cepat. Bentuk pelatihan meliputi:
- Tabletop Exercise (TTX): Simulasi berbasis skenario yang melibatkan berbagai pihak untuk menguji koordinasi dalam menghadapi bencana alam, ledakan permintaan alat medis, atau terputusnya jaringan komunikasi.
- Simulasi SPSE Darurat: Pokja berlatih menggunakan fitur e-Procurement dalam mode tanggap darurat, termasuk penggunaan template darurat, proses penunjukan cepat, dan upload laporan secara real-time.
Latihan ini bertujuan mengurangi waktu reaksi dan meningkatkan kesigapan teknis maupun administratif.
3. Tahapan Implementasi Pengadaan Darurat
Saat kondisi darurat terjadi, implementasi pengadaan harus dilakukan secara cepat tetapi tetap terstruktur. Pokja menjadi motor utama dalam memastikan semua tahapan berlangsung tanpa hambatan berarti, meski dalam tekanan waktu ekstrem.
3.1. Identifikasi Kebutuhan dan Draft RUP Darurat
Langkah awal adalah menyusun RUP darurat yang fleksibel tetapi tetap memiliki dasar hukum:
- Bersama tim teknis dan pengguna barang/jasa, Pokja menyusun minimum viable specifications (MVS) atau spesifikasi minimum yang wajib dipenuhi oleh penyedia. Ini untuk menghindari deadlock karena ketidaksepakatan spesifikasi saat kondisi mendesak.
- Draft RUP darurat diunggah ke SiRUP dengan penandaan khusus “pengadaan darurat”, agar tidak disalahpahami sebagai pengadaan reguler. Kejelasan informasi sangat penting untuk menghindari temuan audit.
3.2. Pemilihan Metode Pengadaan dan Penunjukan Langsung
Pengadaan darurat membolehkan metode yang lebih cepat dengan tetap menjaga transparansi:
- Pokja bersama PPK melakukan analisis cepat untuk menentukan metode yang sesuai antara pembelian langsung, penunjukan langsung, atau e-purchasing darurat.
- Prosedur penunjukan langsung dilakukan dengan batas waktu ketat, maksimal 3-5 hari kerja. Penilaian kelayakan vendor berdasarkan rekam jejak dan ketersediaan barang/jasa langsung dikonfirmasi melalui panggilan atau kunjungan cepat.
3.3. Negosiasi Cepat dan Finalisasi Kontrak
Negosiasi dalam kondisi darurat tidak bisa dilakukan dengan prosedur panjang:
- Pokja menetapkan harga kewajaran berdasar pembanding dari e-Katalog atau harga pasar lokal yang dapat diverifikasi. Fokus utama adalah kecepatan penyelesaian dan kualitas memadai, bukan harga termurah.
- Kontrak darurat dibuat ringkas, dengan mencantumkan klausul force majeure, penalti minimal, dan fleksibilitas dalam hal pengiriman bertahap.
3.4. Pelaksanaan Pengiriman dan Inspeksi Mutu
Begitu kontrak diteken, Pokja harus memastikan logistik berjalan dengan cepat dan efisien
- Koordinasi dengan dinas terkait dan vendor untuk jalur distribusi tercepat. Jika perlu, fasilitasi penggunaan jalur khusus (jalan tol, jalur udara/darat dengan prioritas).
- Inspeksi dilakukan di titik distribusi menggunakan metode spot check atau pemeriksaan acak. Dokumentasi foto, video singkat, dan form penerimaan menjadi bukti penerimaan barang/jasa.
3.5. Pencatatan dan Pelaporan Singkat
Transparansi tetap wajib meskipun kondisi darurat. Pokja harus:
- Menyusun laporan pelaksanaan dalam format singkat mencakup: nama penyedia, jenis barang/jasa, nilai kontrak, waktu pengiriman, dan bukti penerimaan.
- Laporan disampaikan ke pimpinan, BPK, APIP, dan LKPP sebagai bentuk akuntabilitas publik.
- Simpan semua bukti dalam sistem e-Proc atau cloud bersama untuk memudahkan proses audit.
Dengan pelaksanaan yang sistematis, Pokja tidak hanya menjamin barang/jasa sampai tepat waktu, tetapi juga menjaga kepercayaan publik dan lembaga pengawas terhadap sistem pengadaan pemerintah.
4. Tantangan Integritas dan Kepatuhan
Dalam situasi darurat, tekanan untuk bertindak cepat dapat membuka celah bagi penyimpangan. Oleh karena itu, integritas dan kepatuhan tetap harus dijaga agar proses pengadaan tidak melanggar etika maupun hukum. Tantangan ini memerlukan strategi mitigasi yang sistematis dan kolektif dari seluruh anggota Pokja.
4.1. Risiko KKN dalam Pengadaan Darurat
Dalam kondisi krisis, godaan untuk mempercepat proses tanpa kontrol yang memadai bisa menimbulkan konflik kepentingan, suap, atau nepotisme:
- Peluang intervensi pihak tertentu meningkat karena adanya urgensi tinggi, yang membuat beberapa tahapan formal terlewatkan.
- Penunjukan penyedia bisa disalahgunakan untuk memberi keuntungan pada kelompok tertentu.
Untuk itu, Pokja harus:
- Menerapkan rotasi personel untuk menghindari dominasi satu individu atau kelompok dalam proses penunjukan.
- Melakukan pemeriksaan silang dokumen secara acak antar anggota tim.
- Menjalankan audit internal mendadak, bahkan di tengah masa tanggap darurat, sebagai langkah preventif.
- Melibatkan pihak pengawas sejak awal agar keputusan tetap dalam koridor hukum dan etika.
4.2. Transparansi Terbatas – Mengimbanginya
Keterbatasan waktu membuat proses darurat tidak bisa mengikuti seluruh tahapan seperti pengadaan reguler. Namun, prinsip transparansi tetap harus dijaga:
- Lakukan publikasi ringkas mengenai nama paket, nilai kontrak, dan penyedia di portal resmi instansi atau LPSE.
- Setelah masa darurat berlalu, buat laporan pelaksanaan terbuka dan upload dokumen pelengkap ke SIRUP atau sistem pengadaan lainnya.
- Undang lembaga pengawas eksternal atau komisi etik internal untuk mengulas prosedur pengadaan darurat secara independen.
4.3. Audit dan Verifikasi Pasca-Darurat
Audit tidak hanya penting untuk mendeteksi penyimpangan, tetapi juga menjadi sarana pembelajaran organisasi:
- Minimal tiga bulan setelah pelaksanaan, lakukan audit internal oleh Inspektorat atau pengawas independen.
- Verifikasi dokumen kontrak, faktur, bukti pengiriman barang, dan laporan penerimaan dari pengguna barang/jasa dilakukan secara sistematis.
- Audit juga sebaiknya mencakup kepatuhan pada batas nilai, kesesuaian barang/jasa yang disediakan, serta dampak terhadap masyarakat.
5. Evaluasi dan Pembelajaran
Setiap pengadaan darurat harus ditutup dengan proses refleksi dan evaluasi menyeluruh. Pokja tidak hanya bertugas mengeksekusi pengadaan, tetapi juga menjadi aktor penting dalam manajemen pengetahuan kelembagaan.
5.1. Evaluasi Pasca-Implementasi
Evaluasi dilakukan melalui sesi post-mortem review yang melibatkan:
- Semua anggota Pokja, PPK, pengguna barang/jasa, serta auditor.
- Penilaian berbasis KPI, seperti:
- Kecepatan eksekusi (dari permintaan hingga pengiriman)
- Kecukupan mutu dan volume sesuai kebutuhan
- Kesesuaian anggaran dengan rencana awal
- Kepuasan pengguna, baik internal maupun eksternal
Evaluasi juga bisa memanfaatkan survei, wawancara mendalam, dan analisis gap terhadap prosedur standar.
5.2. Pembaruan SOP dan Kebijakan
Hasil evaluasi perlu ditindaklanjuti dalam bentuk:
- Revisi SOP pengadaan darurat agar lebih adaptif namun tetap akuntabel.
- Pembaruan kebijakan internal terkait wewenang, koordinasi lintas unit, dan tata kelola pengadaan saat krisis.
- Integrasi prosedur tanggap darurat dalam manual pengadaan nasional atau Peraturan Kepala Daerah/Instansi.
5.3. Penguatan Kapasitas dan Knowledge Management
Pengadaan darurat menjadi momen penting untuk memperkuat kapasitas jangka panjang:
- Susun dokumen pembelajaran (lesson learned) dan best practice dalam bentuk artikel, modul, atau video pembelajaran.
- Buat arsip digital yang bisa diakses oleh generasi Pokja berikutnya untuk referensi di masa krisis mendatang.
- Kembangkan modul e-learning atau blended learning tentang pengadaan darurat yang bisa digunakan dalam pelatihan internal maupun nasional.
6. Kesimpulan
Peran Pokja dalam pengadaan darurat sangat strategis dan menuntut kompetensi tinggi, karena menyatukan dua kutub ekstrem: kecepatan dan akuntabilitas. Di tengah tekanan publik, keterbatasan data, serta kompleksitas kebutuhan instansi, Pokja harus mampu mengambil keputusan cepat namun tetap sah secara hukum dan etis. Melalui pemahaman mendalam atas regulasi, skema prosedur singkat yang tepat, mitigasi risiko integritas, serta evaluasi pasca pelaksanaan, Pokja mampu menjadi tulang punggung keberhasilan pengadaan dalam situasi darurat. Proses ini bukan hanya soal logistik, tetapi juga tentang ketahanan tata kelola, ketepatan pelayanan publik, dan komitmen terhadap reformasi birokrasi. Dengan menjadikan pengadaan darurat sebagai momentum peningkatan kapasitas dan inovasi, Pokja dapat memperkuat kepercayaan publik dan membangun sistem pengadaan yang lebih adaptif dan tangguh di masa depan.