Pendahuluan
Daftar Harga Satuan (DHS) adalah komponen kunci dalam perencanaan anggaran dan proses pengadaan barang/jasa pemerintah maupun swasta. DHS menetapkan patokan harga satuan untuk berbagai jenis pekerjaan atau barang, sehingga menjadi dasar perhitungan total anggaran, penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS), dan evaluasi penawaran. Jika DHS disusun sembarangan-tanpa data pendukung, analisis pasar, atau metode yang transparan-maka dapat memicu sengketa, audit temuan, dan sengketa hukum. Artikel ini mengulas secara panjang dan mendalam bagaimana membuat DHS yang robust, dapat dipertanggungjawabkan, dan bebas masalah, sehingga menjadi landasan kokoh bagi semua tahapan pengadaan.
1. Landasan Hukum dan Prinsip Dasar
Penyusunan Daftar Harga Satuan (DHS) dalam pengadaan barang/jasa bukanlah sekadar proses administratif, melainkan tindakan strategis yang memiliki implikasi hukum, fiskal, dan reputasional bagi instansi pengadaan. Untuk itu, penyusunannya harus berpijak pada dasar hukum yang kuat dan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance). Berikut penjabaran lebih dalam:
1.1 Peraturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Dalam konteks sektor publik, semua kegiatan pengadaan, termasuk penyusunan HPS dan DHS, wajib mengikuti ketentuan hukum yang berlaku. Peraturan Presiden (Perpres) No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan perubahannya melalui Perpres No. 12 Tahun 2021 menjadi rujukan utama.
Pasal 49 dari Perpres tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa Harga Perkiraan Sendiri (HPS) disusun berdasarkan data harga pasar yang aktual dan relevan, referensi harga dari katalog elektronik (e-katalog), serta data survei yang valid. Karena HPS merupakan hasil perhitungan dari DHS, maka penyusunan DHS harus tunduk pada prinsip-prinsip yang sama: akurat, rasional, dan berbasis data.
Lebih lanjut, dalam Peraturan LKPP No. 9 Tahun 2018 tentang Pedoman Harga Perkiraan Sendiri, disebutkan bahwa DHS harus mencerminkan harga satuan yang wajar dan diperoleh melalui metode yang dapat diaudit. Penggunaan data yang usang, tidak didukung bukti, atau bersumber dari vendor tunggal (monopoli) sangat tidak dianjurkan.
Penyimpangan dalam penyusunan DHS dapat berujung pada:
- Temuan audit dari APIP atau BPK
- Kejanggalan hukum yang dimanfaatkan dalam proses sanggahan lelang
- Indikasi kolusi atau mark-up harga
Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat-baik Pokja, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), maupun pejabat teknis-harus memahami dan mematuhi kerangka hukum yang berlaku.
1.2 Prinsip Value for Money
Prinsip Value for Money (VfM) merupakan salah satu pilar penting dalam pengadaan barang/jasa yang efisien. Konsep ini tidak sekadar menekankan pada aspek “harga murah”, tetapi pada keseimbangan antara:
- Kualitas (Quality): Barang harus sesuai spesifikasi teknis yang dibutuhkan.
- Biaya (Cost): Total biaya seumur hidup barang atau proyek (life-cycle cost), bukan hanya harga beli.
- Waktu (Time): Barang/jasa tersedia tepat waktu sesuai kebutuhan.
Dalam penyusunan DHS, prinsip VfM tercermin pada cara menilai harga satuan. Misalnya, dua vendor menawarkan AC dengan harga berbeda: Vendor A menawarkan AC seharga Rp4.500.000 tanpa garansi resmi, sementara Vendor B menjual AC Rp5.000.000 dengan garansi 3 tahun dan layanan purna jual. Dalam konteks VfM, harga dari Vendor B justru lebih menguntungkan dalam jangka panjang.
DHS yang berorientasi pada VfM juga mempertimbangkan biaya pemeliharaan, efisiensi energi, keandalan, serta risiko kerusakan barang. Oleh karena itu, selain data harga, DHS idealnya dilengkapi catatan teknis singkat untuk menjelaskan keunggulan fungsional atau total ownership cost (TOC).
1.3 Transparansi dan Akuntabilitas
DHS yang sah bukan hanya akurat, tetapi juga dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti proses penyusunannya harus terbuka (transparan) dan terdokumentasi dengan baik (audit trail). Prinsip ini penting karena:
- Menjamin keadilan bagi semua peserta lelang
- Memudahkan proses audit internal dan eksternal
- Menjadi alat kontrol pengawasan publik dalam tata kelola keuangan negara
Transparansi berarti bahwa DHS dan seluruh data pendukungnya dapat diakses oleh pemangku kepentingan yang berwenang, termasuk APIP, LKPP, dan BPK. Sementara akuntabilitas berarti bahwa setiap harga dalam DHS bisa dijelaskan asal-usulnya, metode perhitungannya, dan siapa yang menyusunnya.
Dalam praktiknya, setiap dokumen DHS harus menyertakan:
- Tanggal dan lokasi survei harga
- Identitas penyusun
- Lampiran bukti survei (penawaran vendor, tangkapan layar katalog, bukti email)
- Berita acara validasi internal
Dokumen ini tidak boleh bersifat rahasia, kecuali dalam pengadaan strategis yang ditetapkan oleh peraturan khusus.
2. Tahapan Penyusunan Daftar Harga Satuan
Proses penyusunan DHS yang benar ibarat fondasi dalam pembangunan rumah. Bila fondasinya lemah-berupa data harga yang asal ambil, tidak relevan, atau manipulatif-maka seluruh proses pengadaan bisa bermasalah. Berikut pengembangan dan penjelasan lengkap tiap tahapan penting dalam menyusun DHS:
2.1 Identifikasi Item dan Unit Satuan
Langkah awal adalah mendata seluruh komponen pekerjaan atau barang yang akan dibeli. Proses ini disebut juga breakdown pekerjaan. Hal-hal yang harus diperhatikan:
- Gunakan nomenklatur baku sesuai standar KAK (Kerangka Acuan Kerja) atau SNI
- Pastikan tidak terjadi tumpang tindih antar item
- Satuan harus logis dan sesuai karakteristik item
Catatan Tambahan:
Hindari penggunaan satuan yang ambigu seperti “paket” tanpa rincian isi. Sebaliknya, uraikan komponen paket menjadi satuan terukur seperti unit, set, m², atau m³.
Contoh buruk:
- Paket ATK: Rp1.000.000
Contoh baik:
- Pulpen: unit – Rp3.000
- Kertas A4 80gsm: rim – Rp60.000
Pemilahan yang jelas seperti ini akan mempermudah validasi dan mencegah markup tersembunyi.
2.2 Pengumpulan Data Harga Pasar (Survei Pasar)
Tahapan ini merupakan inti dari DHS karena menyangkut pencarian harga riil. Metode pengumpulan data harus bervariasi agar hasil lebih representatif dan tidak bias.
Beberapa metode tambahan yang bisa digunakan:
- E-Katalog LKPP: Sebagai referensi utama untuk barang/jasa standar
- Marketplace: Data dari platform B2B (Bukalapak Mitra, Tokopedia Bisnis, dsb) bisa digunakan asal sumbernya dapat dibuktikan
- Harga Satuan Regional: Dinas PUPR, Dinas Perdagangan, atau dinas teknis sering memiliki daftar harga satuan pekerjaan konstruksi per provinsi/kabupaten yang bisa digunakan sebagai acuan
Tips Penting:
Jangan hanya mengandalkan vendor lokal yang berdekatan secara geografis. Kombinasikan dengan vendor luar wilayah untuk mendapatkan pembanding harga yang adil.
Setelah data terkumpul, susun tabel yang menyajikan:
- Nama barang/jasa
- Harga dari masing-masing sumber
- Tanggal data diambil
- Keterangan kondisi (termasuk apakah sudah termasuk PPN, biaya kirim, dsb)
2.3 Analisis Statistik dan Penentuan Harga Rata-Rata
Dari data yang dikumpulkan, jangan asal ambil harga terendah atau tertinggi. Lakukan analisis:
- Mean (rata-rata aritmatika) berguna untuk menunjukkan tren umum
- Median berguna jika ada harga ekstrem (outlier)
- Mode (harga yang paling sering muncul) bisa berguna untuk validasi
- Standar Deviasi untuk mengukur sebaran harga antar vendor
Rekomendasi Praktis:
Bila harga vendor bervariasi terlalu jauh (>15-20%), lakukan validasi tambahan untuk mengetahui penyebabnya: apakah perbedaan kualitas, lokasi, atau kelengkapan layanan.
Selain itu, tambahkan faktor penyesuaian seperti:
- Biaya transportasi
- Pajak (PPN, PPh)
- Inflasi (untuk proyek multi-tahun)
Harga akhir yang dipilih bukan sekadar angka di tengah-tengah, tetapi harus mempertimbangkan kelengkapan layanan, kualitas barang, dan risiko pasokan.
2.4 Validasi Teknis dan Anggaran
Validasi sangat penting agar DHS tidak hanya akurat dari sisi harga, tapi juga layak teknis dan relevan anggaran.
Langkah-langkah validasi:
- Teknis: Bandingkan spesifikasi barang dari vendor dengan spesifikasi yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan
- Anggaran: Total nilai dari DHS harus rasional dan tidak melampaui pagu anggaran atau Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang direncanakan
Contoh Kasus:
Jika DHS laptop ditetapkan Rp8 juta, tapi dalam spesifikasi diminta RAM 16GB dan prosesor i7 generasi terbaru, maka harga tersebut tidak realistis. Hal ini dapat menimbulkan gugatan dari peserta saat tender berjalan.
Dalam beberapa kasus, validasi dilakukan dalam rapat internal teknis yang melibatkan bagian perencanaan, keuangan, dan pengguna barang/jasa.
2.5 Penyusunan Dokumen DHS
Langkah akhir adalah menyusun dokumen DHS dalam format yang standar, lengkap, dan terdokumentasi rapi.
Dokumen DHS minimal berisi:
- Cover Page
Berisi nama kegiatan, tahun anggaran, satuan kerja, dan tim penyusun - Pendahuluan dan Dasar Hukum
Jelaskan latar belakang penyusunan DHS dan dasar hukum yang digunakan - Metodologi Survei
Jelaskan proses pengumpulan data, sumber data, dan pendekatan perhitungan - Tabel Harga Satuan
Susun per item lengkap dengan satuan, harga vendor, analisis statistik, dan harga akhir - Lampiran Data Pendukung
Masukkan scan penawaran, tangkapan layar katalog, berita acara survei, dan daftar vendor - Pernyataan Kebenaran Data
Ditandatangani oleh Ketua Pokja/PPK dan disahkan oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) - Berita Acara Validasi Internal
Menunjukkan bahwa DHS telah dibahas dan disetujui oleh tim teknis
Catatan Penting:
Simpan semua dokumen dalam bentuk digital dan cetak. Gunakan penyimpanan terpusat (server instansi) agar tidak hilang atau berubah sewaktu-waktu.
3. Detail Metodologi Perhitungan
Membuat Daftar Harga Satuan (DHS) yang akurat dan sah secara administratif tidak cukup hanya dengan mengambil rata-rata dari survei harga. Metodologi yang digunakan harus disusun dengan dasar analisis yang kuat agar bisa dipertanggungjawabkan baik dalam aspek teknis maupun akuntabilitas publik. DHS adalah acuan penting dalam estimasi biaya dan evaluasi penawaran, sehingga apabila penyusunannya asal-asalan atau tidak disertai metode yang jelas, maka dapat menimbulkan masalah saat audit atau bahkan menjadi sengketa dalam proses pengadaan.
Berikut tiga pendekatan metodologis yang disarankan:
3.1. Metode Rata‑Rata Tertimbang (Weighted Average)
Dalam penyusunan Daftar Harga Satuan (DHS), pendekatan rata-rata tertimbang merupakan salah satu metode analisis harga yang paling disarankan, terutama ketika data harga yang diperoleh berasal dari sumber atau vendor yang bervariasi dalam kapasitas, volume, atau kualitas pelayanan. Metode ini digunakan untuk mendapatkan nilai yang lebih representatif dari kondisi pasar, sekaligus mempertimbangkan perbedaan bobot masing-masing sumber data agar hasil akhir tidak bias.
Secara sederhana, weighted average adalah metode yang menghitung rata-rata berdasarkan pembobotan tertentu. Bobot diberikan kepada setiap data harga berdasarkan parameter yang disepakati, seperti volume penjualan, frekuensi transaksi, kualitas penyedia, atau kedekatan lokasi terhadap titik proyek. Tujuannya adalah menghasilkan angka satuan harga yang tidak hanya rata-rata secara aritmetis, tetapi juga proporsional terhadap relevansi dan keandalan sumber datanya.
Contoh Praktis:
Misalkan Tim Pokja memperoleh data harga satu jenis semen dari tiga vendor dengan volume penawaran berbeda:
-
Vendor A: Harga Rp70.000/sak untuk 1.000 sak
-
Vendor B: Harga Rp72.000/sak untuk 500 sak
-
Vendor C: Harga Rp68.000/sak untuk 1.500 sak
Jika menggunakan rata-rata biasa (simple average), maka:
(Rp70.000 + Rp72.000 + Rp68.000) ÷ 3 = Rp70.000
Namun hasil ini tidak mencerminkan kenyataan bahwa Vendor C menawarkan harga paling rendah dan dalam jumlah paling besar. Oleh karena itu, metode weighted average digunakan dengan rumus:
(Harga × Volume) ÷ Total Volume
= [(70.000×1.000) + (72.000×500) + (68.000×1.500)] ÷ (1.000+500+1.500)
= (70.000.000 + 36.000.000 + 102.000.000) ÷ 3.000
= 208.000.000 ÷ 3.000 = Rp69.333/sak
Dengan hasil ini, kita mendapatkan harga satuan yang lebih akurat karena mencerminkan struktur pasar secara proporsional berdasarkan volume aktual penawaran.
3.2. Metode Lowest‑High Middle (Trimmed Mean)
Dalam banyak kasus, data survei bisa mengandung outlier-baik terlalu rendah maupun terlalu tinggi. Misalnya, satu vendor memberi harga sangat murah karena salah ketik, atau vendor lain memberikan harga sangat tinggi karena kekeliruan konversi mata uang. Jika harga seperti itu langsung dihitung, hasilnya bisa menyesatkan.
Solusinya adalah trimmed mean, yaitu membuang 10% harga teratas dan terbawah (jika jumlah data mencukupi), kemudian mengambil rata-rata dari sisanya. Teknik ini menjaga agar perhitungan tetap merefleksikan nilai wajar.
Contoh:
- Harga dari 10 vendor: 850k, 880k, 890k, 900k, 905k, 910k, 920k, 930k, 1.100k, 1.500k
- Buang 1 nilai terendah (850k) dan 1 tertinggi (1.500k)
- Rata-rata dari 8 harga tengah = Rp918.125
Cara ini sangat direkomendasikan saat survei dilakukan ke vendor umum yang heterogen.
3.3. Penyesuaian Indeks Harga
Jika DHS dibuat untuk kebutuhan jangka menengah atau tahunan, maka perubahan harga akibat inflasi, fluktuasi pasar, dan biaya logistik harus diantisipasi. Oleh karena itu, disarankan menyertakan price adjustment clause berdasarkan indeks resmi.
Beberapa indeks yang bisa dijadikan acuan:
- Indeks Harga Konsumen (IHK) BPS
- Indeks Harga Konstruksi (IHK) BPS untuk proyek infrastruktur
- Indeks Nilai Tukar Petani untuk bahan baku pertanian
- Kurs Tengah Bank Indonesia jika ada komponen impor
Klausul ini ditulis dalam catatan DHS sebagai:”Harga satuan dapat disesuaikan berdasarkan perubahan IHK Konstruksi BPS per semester apabila DHS berlaku lebih dari 6 bulan.”
Langkah ini memberi perlindungan baik kepada pihak penyedia maupun PPK agar tidak terjebak dengan harga yang tidak relevan secara waktu.
4. Penyusunan Harga Satuan Khusus
Beberapa komponen dalam pengadaan barang/jasa tidak dapat dinilai hanya dari survei pasar biasa. Faktor-faktor teknis, biaya tersembunyi, serta karakteristik kegiatan lapangan membuat harga satuan untuk item tertentu perlu perhitungan yang lebih terperinci dan profesional. Berikut beberapa contohnya:
4.1. Upah Tenaga Kerja
Komponen tenaga kerja tidak bisa disamaratakan. Masing-masing memiliki struktur biaya dan standar upah berbeda, tergantung tingkat keahlian dan wilayah kerja.
- Tenaga Ahli: Konsultan, insinyur, atau teknisi bersertifikasi. Gaji mengacu pada SBU (Standar Biaya Umum) atau harga pasar tenaga profesional.
- Mandor: Memiliki tanggung jawab pengawasan harian di lapangan. Upah dihitung lebih tinggi dari buruh biasa karena memiliki tanggung jawab manajerial.
- Buruh Harian Lepas: Pekerja lapangan non-spesifik. Upah dihitung berdasarkan UMK setempat atau data Dinas Tenaga Kerja.
Jika lokasi proyek di daerah terpencil, perlu ditambahkan tunjangan transportasi dan akomodasi.
Contoh format penyusunan:
Jenis Pekerja | Jumlah | Upah/Hari | Lama Kerja | Total |
---|---|---|---|---|
Tenaga Ahli | 2 | Rp500.000 | 20 hari | Rp20.000.000 |
Mandor | 1 | Rp300.000 | 20 hari | Rp6.000.000 |
Buruh | 5 | Rp150.000 | 20 hari | Rp15.000.000 |
Total Upah = Rp41.000.000
4.2. Sewa Alat Berat
Harga sewa alat berat seperti ekskavator, bulldozer, atau crane tidak hanya tergantung durasi sewa. Banyak komponen tambahan yang harus dimasukkan:
- Biaya bahan bakar harian
- Gaji operator (biasanya per hari atau per jam)
- Perawatan berkala dan suku cadang
- Biaya mobilisasi dan demobilisasi alat
Contoh perhitungan:
- Sewa bulanan ekskavator: Rp50.000.000
- Operator: Rp200.000/hari × 25 hari = Rp5.000.000
- Solar: Rp300.000/hari × 25 hari = Rp7.500.000
- Perawatan dan oli: Rp2.000.000/bulan
- Total = Rp64.500.000
Sumber data dapat diperoleh dari Dinas PUPR, asosiasi alat berat, atau vendor penyedia resmi.
4.3. Material Impor
Pengadaan barang impor seperti suku cadang khusus, perangkat laboratorium, atau perangkat teknologi tinggi, menuntut penyesuaian harga dengan mempertimbangkan biaya tambahan:
- Bea masuk (misalnya 10%)
- PPN Impor (11%)
- Biaya pengiriman internasional dan lokal
- Kurs yang digunakan (kurs jual Bank Indonesia saat estimasi)
Contoh:
- Harga barang: USD 1.000
- Kurs BI: Rp15.500/USD
- Harga rupiah = Rp15.500.000
- Bea masuk 10% = Rp1.550.000
- PPN 11% = Rp1.705.000
- Biaya freight dan handling = Rp2.000.000
Total = Rp20.755.000
DHS harus menyertakan dokumentasi pendukung seperti invoice, kurs BI, dan tarif bea cukai resmi.
5. Penguatan Dokumen dan Audit Trail
Dokumentasi menjadi fondasi utama agar DHS tidak dipermasalahkan di kemudian hari, baik oleh auditor internal (APIP), BPK, maupun LKPP. Dokumen pendukung menunjukkan bahwa penyusunan harga tidak fiktif, tidak manipulatif, dan dapat ditelusuri sumbernya. Audit trail bukan hanya formalitas, tapi bukti akuntabilitas.
Komponen Dokumen Pendukung yang Wajib Disertakan:
5.1. Surat Tugas Survei Harga
Dokumen ini menunjukkan bahwa survei dilakukan secara resmi oleh pihak yang berwenang. Biasanya dikeluarkan oleh PPK atau kepala dinas, ditujukan kepada tim teknis atau staf pengadaan. Surat ini juga mencantumkan lokasi survei, waktu pelaksanaan, serta nama dan NIP petugas.
5.2. Berita Acara Survei Lapangan
Berisi daftar penyedia yang disurvei, tanggal kunjungan, serta harga yang ditawarkan. Jika survei dilakukan secara daring (via email, marketplace, atau e-katalog), maka dilampirkan screenshot penawaran, rekaman percakapan (chat), atau tangkapan layar halaman produk. Setiap harga perlu dicantumkan sumbernya secara jelas, termasuk alamat toko, nama penjual, dan nomor kontak jika memungkinkan.
5.3. Rincian Perhitungan
Spreadsheet perhitungan harga wajib disimpan dengan jelas:
- Rumus yang digunakan
- Metode perhitungan (rata-rata biasa, tertimbang, trimmed mean)
- Referensi harga
- Tanggal update data
- Jika menggunakan formula otomatis, gunakan protection sheet agar tidak ada yang mengubah isi secara sembarangan
Format spreadsheet juga harus mudah dibaca dan diaudit.
5.4. Berita Acara Penetapan DHS
Berisi hasil rapat tim penyusun DHS, ditandatangani oleh PPK, Pokja/Pejabat Pengadaan, serta saksi dari unit lain (misalnya staf teknis). Dokumen ini menetapkan bahwa harga tersebut akan digunakan sebagai acuan pengadaan untuk periode tertentu.
Jika DHS digunakan lintas kegiatan (misalnya dalam satu DPA digunakan untuk beberapa subkegiatan), cantumkan juga justifikasi konsistensinya.
5.5. Penyimpanan dan Backup
Semua dokumen digital disarankan disimpan dalam sistem file server yang terenkripsi. Gunakan sistem cloud (misalnya OneDrive, Google Drive, atau server Pemda) sebagai cadangan.
Checklist Proteksi Data:
- ☐ File dikunci dengan password
- ☐ Hanya tim pengadaan dan auditor yang punya akses
- ☐ File tidak boleh diubah tanpa persetujuan resmi
- ☐ Backup mingguan di dua lokasi berbeda
Dengan sistem dokumentasi yang tertata dan transparan, risiko temuan audit akan sangat minim dan DHS akan menjadi dokumen yang kuat secara hukum.
6. Kesalahan Umum dan Cara Menghindarinya
Dalam praktik penyusunan Daftar Harga Satuan (DHS), berbagai kesalahan dapat terjadi akibat keterbatasan data, minimnya pengalaman tim, atau kurangnya pemahaman terhadap kondisi pasar. Kesalahan ini bukan hanya berisiko menimbulkan ketidaktepatan anggaran, tetapi juga dapat berujung pada temuan audit, gugatan dari peserta lelang, bahkan kerugian negara. Berikut adalah empat kesalahan paling umum beserta solusi sistematisnya:
6.1 Data Tidak Terverifikasi
Salah satu kesalahan mendasar adalah menggunakan data harga dari sumber yang tidak jelas atau tidak dapat diverifikasi. Misalnya, mengambil harga dari satu vendor tanpa bukti penawaran tertulis, atau menggunakan harga hasil obrolan lisan yang tidak terdokumentasi.
Solusi: Untuk menghindari hal ini, tim penyusun DHS wajib menggunakan setidaknya tiga sumber harga yang valid dan independen. Validitas sumber dapat dibuktikan dengan dokumen resmi seperti penawaran tertulis, tangkapan layar e-Katalog, atau kuitansi pembelian aktual dari instansi serupa. Dokumen sumber ini harus disimpan dengan baik, baik dalam bentuk fisik maupun digital, dan disertai metadata seperti tanggal, nama responden, serta tanda tangan atau cap perusahaan. Selain itu, proses survei sebaiknya dilakukan oleh tim yang telah dilatih, dengan form standar dan instruksi pengisian yang rinci.
6.2 Mengabaikan Fluktuasi Musiman
Beberapa komoditas seperti bahan bangunan, bahan pokok, dan produk pertanian sangat dipengaruhi oleh musim atau kondisi pasar global. Menggunakan harga yang dikumpulkan di luar konteks waktu pelaksanaan dapat menyebabkan DHS menjadi tidak akurat.
Solusi: Cara mengantisipasi fluktuasi ini adalah dengan menambahkan margin antisipasi berdasarkan pola indeks harga konsumen (IHK) atau data historis musiman. Misalnya, harga semen yang cenderung naik saat musim hujan karena peningkatan permintaan. Oleh karena itu, DHS harus menyertakan komponen “cadangan harga” sebesar 5-10% sesuai tren fluktuatif. Selain itu, penggunaan data indeks harga dari BPS atau Bank Indonesia dapat memberikan acuan kuantitatif yang objektif untuk memperkirakan kenaikan atau penurunan harga.
6.3 Harga Sekali Pakai vs Barang Investasi
Kesalahan lain adalah menyamakan pendekatan harga untuk semua jenis barang. Padahal, barang habis pakai (seperti ATK atau bahan makanan) memiliki dinamika harga berbeda dibanding barang investasi (seperti komputer atau mesin).
Solusi: Langkah pertama adalah melakukan klasifikasi DHS berdasarkan umur ekonomis barang. Untuk barang habis pakai, survei harga dapat dilakukan secara triwulanan atau bulanan. Sementara itu, barang investasi memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif, mencakup survei spesifikasi teknis, harga garansi, biaya pengiriman, dan ketersediaan layanan purna jual. Selain itu, pertimbangan umur pakai, biaya perawatan, dan dukungan teknis harus diintegrasikan ke dalam analisis harga satuan.
6.4 Dokumen Tidak Transparan
Transparansi dokumen sering kali diabaikan. Padahal, DHS yang tertutup atau tidak dapat diakses publik menimbulkan kecurigaan dan membuka peluang terjadinya penyimpangan.
Solusi: Untuk menjamin akuntabilitas, DHS yang telah difinalisasi sebaiknya dipublikasikan di portal internal pengadaan atau website resmi instansi. Selain itu, sebelum ditetapkan, draf DHS dapat dikonsultasikan dengan pemangku kepentingan seperti unit pengguna barang/jasa, inspektorat internal, atau bahkan vendor terverifikasi untuk mendapatkan masukan relevan. Format DHS juga perlu dirancang agar mudah dipahami, mencantumkan semua elemen: item, satuan, jumlah, harga satuan, sumber data, dan waktu survei. Semua versi dan revisi harus terdokumentasi dengan baik agar dapat ditelusuri jika sewaktu-waktu dibutuhkan audit.
7. Studi Kasus Implementasi DHS Berkualitas
Penerapan DHS yang berkualitas tidak hanya menurunkan risiko hukum dan audit, tetapi juga berdampak pada efisiensi biaya dan peningkatan kepercayaan publik. Berikut dua studi kasus implementasi DHS yang berhasil:
7.1 Proyek Jalan Desa
Sebuah Pemerintah Kabupaten melakukan pengaspalan jalan desa sepanjang 5 km yang pendanaannya bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU). DHS disusun khusus untuk proyek ini dengan item utama seperti semen, pasir, batu kali, aspal curah, dan upah buruh lokal.
Pendekatan:
- Survei dilakukan terhadap 6 vendor lokal di tiga kecamatan terdekat.
- Tim melakukan survei langsung ke lokasi toko bangunan, mencatat harga aktual dan biaya angkut.
- Selain itu, dilakukan pengecekan silang dengan data harga di e-Katalog serta harga satuan PU setempat.
Hasil:
- HPS total menurun sebesar 12% dibandingkan dengan DHS tahun sebelumnya yang hanya menggunakan sumber tunggal.
- Tidak ditemukan selisih yang mencolok saat audit BPK dilakukan enam bulan kemudian.
- Pekerjaan fisik selesai tepat waktu, dan harga final kontrak mendekati estimasi awal.
Studi kasus ini menunjukkan bahwa DHS yang berbasis data lapangan dan disusun secara transparan tidak hanya menghindari masalah, tetapi juga meningkatkan efisiensi anggaran.
7.2 Pengadaan IT Sekolah
Dinas Pendidikan di salah satu provinsi menyusun DHS untuk pengadaan perangkat teknologi di sekolah-laptop, printer, dan scanner.
Pendekatan:
- DHS disusun bersama dengan staf teknis Dinas Pendidikan untuk memastikan bahwa spesifikasi teknis disesuaikan dengan kebutuhan sekolah, bukan hanya harga termurah.
- Harga dikumpulkan dari katalog LKPP serta hasil survei ke 4 distributor resmi perangkat TI.
- Parameter teknis yang dikaji mencakup RAM minimal 8GB, CPU setara i5, garansi resmi 3 tahun, serta adanya pusat layanan purna jual di kabupaten.
Hasil:
- Pengadaan berjalan tanpa sanggahan karena semua spesifikasi dan harga telah disosialisasikan.
- Vendor pemenang mampu mengirim barang sesuai waktu dan spesifikasi.
- Evaluasi pasca-penggunaan menunjukkan perangkat berfungsi optimal dan tidak ada keluhan dari pengguna.
Kasus ini menggarisbawahi pentingnya kolaborasi multidisiplin dan ketelitian dalam menentukan spesifikasi serta validasi harga pasar terkini untuk barang teknologi.
8. Rekomendasi Akhir
Agar DHS menjadi alat perencanaan yang kuat dan tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari, maka langkah-langkah berikut dapat dijadikan panduan implementatif:
- Perbarui DHS Secara Berkala
Harga satuan tidak bersifat statis. Idealnya DHS diperbarui setiap 6 hingga 12 bulan, tergantung jenis komoditas dan dinamika harga pasar. Barang habis pakai bisa diperbarui setiap triwulan, sementara barang investasi cukup setahun sekali. - Libatkan Tim Multidisiplin
Penyusunan DHS bukan hanya tugas Pokja atau unit pengadaan. Libatkan juga tenaga teknis (TI, teknik sipil, mekanikal, dll.), bagian keuangan, perencana, serta unit hukum. Kolaborasi ini memperkuat akurasi harga dan kesesuaian spesifikasi. - Gunakan Teknologi Pendukung
Manfaatkan spreadsheet yang dilindungi password, dengan formula otomatis untuk menghitung rata-rata, margin, dan indeks harga. Jika tersedia, gunakan modul DHS dalam sistem e-procurement untuk menciptakan jejak digital (audit trail). - Pelatihan Reguler
Anggota tim survei dan Pokja sebaiknya mengikuti pelatihan teknis penyusunan HPS dan DHS secara periodik. Topik pelatihan bisa mencakup metode survei, penilaian kualitas data, hingga etika pengumpulan harga. - Audit Internal Pra-Tender
Sebelum tender diumumkan, minta APIP atau unit pengawasan internal melakukan review terhadap DHS yang digunakan. Audit internal pra-tender akan membantu mendeteksi kejanggalan sejak awal dan memperkecil potensi temuan di kemudian hari.
Dengan mengintegrasikan rekomendasi ini ke dalam sistem manajemen pengadaan, instansi akan memiliki DHS yang bukan hanya akurat dan akuntabel, tetapi juga tahan uji dari berbagai tantangan teknis maupun regulatif.
9. Penutup
Daftar Harga Satuan (DHS) merupakan fondasi penting dalam penyusunan HPS, RAB, dan pada akhirnya, kesuksesan proyek pengadaan. DHS yang disusun tanpa metodologi yang kuat dan data yang akurat akan mudah dipermasalahkan-baik oleh auditor, peserta tender, maupun publik.
Namun sebaliknya, DHS yang dikerjakan dengan pendekatan ilmiah, kolaboratif, dan transparan akan menghasilkan pengadaan yang efisien, tepat sasaran, serta minim risiko hukum. Oleh karena itu, penyusunan DHS tidak boleh dipandang sebagai formalitas belaka, melainkan sebagai proses strategis yang menentukan kualitas keseluruhan siklus pengadaan.
Setiap tahapan penting-mulai dari identifikasi item, perencanaan survei, pelaksanaan survei harga, validasi sumber data, analisis harga rata-rata, penyesuaian fluktuasi, hingga penyusunan dokumen DHS akhir-perlu dijalankan secara sistematis. Disiplin dokumentasi, keterlibatan lintas fungsi, dan penggunaan teknologi digital menjadi pelengkap penting untuk memastikan keberhasilan.
Dengan DHS yang kredibel, Pokja akan lebih percaya diri dalam menetapkan HPS, peserta lelang merasa diperlakukan adil, dan auditor memiliki dasar kuat untuk melakukan verifikasi. Pada akhirnya, masyarakat sebagai penerima manfaat proyek akan mendapatkan hasil pengadaan yang sesuai dengan kebutuhan, tepat mutu, dan tepat waktu.