Pendahuluan: Masalah Klasik dalam Pengadaan
Dalam dunia pengadaan barang dan jasa pemerintah maupun swasta, isu ketidaksesuaian spesifikasi merupakan salah satu permasalahan yang paling sering terjadi dan memicu konflik antar pihak. Spesifikasi teknis yang tidak terpenuhi bisa menyebabkan kerugian keuangan, terganggunya operasional, hingga reputasi buruk bagi instansi maupun penyedia. Pertanyaannya, ketika barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan dalam dokumen kontrak, siapa yang harus bertanggung jawab?
Untuk menjawab pertanyaan ini secara adil dan komprehensif, perlu dilakukan pembongkaran menyeluruh terhadap proses pengadaan dari awal hingga akhir. Dari mulai penyusunan spesifikasi teknis, proses pemilihan penyedia, pengawasan pelaksanaan, hingga serah terima barang/jasa. Artikel ini akan mengulas dengan mendalam setiap tahapan tersebut dan membedah titik-titik potensi kesalahan serta siapa pihak yang seharusnya bertanggung jawab dalam konteks hukum dan administratif.
1. Merancang Spesifikasi: Titik Awal dari Semua Masalah
Spesifikasi teknis adalah jantung dari sebuah proses pengadaan. Ia menjadi dasar bagi penyedia dalam menawarkan barang atau jasa serta menjadi alat kontrol bagi pihak penerima dalam memastikan kesesuaian. Kesalahan dalam menyusun spesifikasi bisa menjelma menjadi bencana administratif, teknis, bahkan hukum.
Siapa yang menyusun spesifikasi?
Pada umumnya, spesifikasi teknis disusun oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dengan melibatkan Tim Teknis atau pengguna barang/jasa. Dalam beberapa kasus, konsultan perencana juga dilibatkan terutama untuk pengadaan yang bersifat kompleks.
Namun, tanggung jawab akhir atas keabsahan dan ketepatan spesifikasi tetap berada di tangan PPK. Hal ini ditegaskan dalam Perpres No. 16 Tahun 2018 beserta perubahannya, yang menyatakan bahwa PPK bertanggung jawab atas perencanaan pengadaan, termasuk penyusunan spesifikasi teknis/KAK (Kerangka Acuan Kerja).
Kesalahan umum dalam spesifikasi:
- Mengambil spesifikasi dari katalog vendor tertentu secara copy-paste
- Tidak memperhitungkan kebutuhan pengguna secara menyeluruh
- Spesifikasi terlalu longgar atau terlalu ketat
- Tidak mengantisipasi kemajuan teknologi atau kondisi geografis setempat
- Tidak dilakukan verifikasi silang atau uji pasar sebelum spesifikasi dikunci
Kesalahan-kesalahan ini bisa menjadi awal dari ketidaksesuaian spesifikasi saat pengadaan direalisasikan.
2. Proses Pemilihan Penyedia: Apakah Sudah Tepat?
Ketika spesifikasi teknis telah disusun dan ditetapkan dalam dokumen pengadaan, tantangan berikutnya adalah memastikan bahwa penyedia barang/jasa yang terpilih memang benar-benar mampu memenuhi spesifikasi tersebut secara utuh. Pemilihan penyedia bukanlah sekadar soal mendapatkan harga termurah, melainkan juga tentang memastikan kompetensi, integritas, dan kapabilitas teknis penyedia untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Di sinilah pentingnya proses seleksi penyedia yang transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kualitas.
2.1. Siapa yang Bertugas Memilih Penyedia?
Dalam sistem pengadaan pemerintah, tanggung jawab pemilihan penyedia berada di tangan Kelompok Kerja Pemilihan (Pokja Pemilihan). Pokja ini ditetapkan oleh Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ) dan terdiri dari personel yang telah memiliki sertifikasi keahlian dan kompetensi sesuai ketentuan. Pokja bertugas menyusun dokumen pemilihan, mengumumkan lelang, menerima dan mengevaluasi penawaran, melakukan klarifikasi, serta menetapkan pemenang.
Namun demikian, kendali utama dalam menjamin bahwa penyedia yang dipilih benar-benar mampu memenuhi spesifikasi teknis bukan hanya sekadar proses administratif, melainkan juga bagaimana Pokja melakukan evaluasi teknis secara mendalam dan menyeluruh.
2.2. Masalah Umum dalam Proses Pemilihan
Banyak kasus ketidaksesuaian spesifikasi terjadi bukan karena penyedia sengaja menipu, tetapi karena proses evaluasi dan seleksi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Beberapa kesalahan umum yang sering ditemukan antara lain:
a. Evaluasi Teknis yang Dangkal
Pokja sering kali hanya membaca dokumen teknis yang disampaikan penyedia tanpa melakukan verifikasi kebenaran data. Misalnya, penyedia mencantumkan bahwa mereka menyediakan produk dengan spesifikasi “RAM 16 GB” atau “material beton mutu K-350”, namun Pokja tidak melakukan konfirmasi silang, uji sampling, atau wawancara teknis terhadap penyedia.
Hasilnya, penyedia dengan penawaran menarik secara harga namun tidak kompeten secara teknis bisa lolos, sedangkan penyedia yang benar-benar mumpuni bisa gugur hanya karena kekurangan administratif.
b. Praktik “Copy Paste” dan Klaim Fiktif
Beberapa penyedia menggunakan strategi “copas” dari brosur vendor lain atau menyusun spesifikasi produk secara fiktif hanya agar terlihat mampu memenuhi syarat teknis. Jika Pokja tidak teliti, maka praktik semacam ini tidak terdeteksi.
Ada pula penyedia yang mencantumkan pengalaman kerja fiktif atau pinjam-meminjam personel ahli dari perusahaan lain tanpa MoU yang sah. Jika Pokja tidak mengecek legalitas, integritas, dan kesesuaian dokumen pendukung, maka hal ini berisiko tinggi.
c. Terlalu Fokus pada Harga Terendah
Prinsip “value for money” dalam pengadaan bukan berarti selalu memilih penawaran dengan harga terendah, tetapi memilih penyedia yang menawarkan harga terbaik untuk kualitas yang dibutuhkan. Namun dalam praktiknya, banyak Pokja atau pimpinan instansi yang secara eksplisit maupun implisit mendorong agar lelang dimenangkan oleh penawar terendah, meskipun ada indikasi kualitasnya di bawah standar.
Pendekatan semacam ini membuka celah besar terjadinya spesifikasi tidak sesuai, karena penyedia bisa mengorbankan mutu demi menekan biaya. Hal ini sangat berbahaya terutama dalam pengadaan yang bersifat teknis atau strategis seperti infrastruktur, alat kesehatan, dan sistem informasi.
d. Klarifikasi Teknis yang Lemah
Ketika ditemukan keraguan terhadap penawaran teknis, Pokja seharusnya melakukan klarifikasi tertulis atau bahkan presentasi teknis langsung dari penyedia. Namun dalam banyak kasus, klarifikasi dilakukan secara singkat, tidak terdokumentasi, atau bahkan diabaikan. Ini sangat riskan terutama dalam pekerjaan yang kompleks atau berbasis teknologi.
2.3. Akibat dari Pemilihan Penyedia yang Tidak Akurat
Kegagalan dalam pemilihan penyedia bisa berdampak panjang, tidak hanya pada kualitas pekerjaan tapi juga pada reputasi instansi dan potensi kerugian negara. Beberapa konsekuensi nyata dari kesalahan pemilihan penyedia antara lain:
- Barang atau jasa tidak sesuai spesifikasi meskipun telah tertulis dalam kontrak
- Penyedia tidak mampu menyelesaikan pekerjaan tepat waktu karena ketidakmampuan teknis atau finansial
- Harus dilakukan pemutusan kontrak dan pengadaan ulang, yang memakan waktu dan biaya tambahan
- Potensi gugatan dari pihak ketiga atau penyedia yang dirugikan
- Ditemukannya indikasi tindak pidana korupsi dalam proses pemilihan
Ketika hal ini terjadi, bukan hanya penyedia yang bisa dimintai pertanggungjawaban, melainkan juga Pokja Pemilihan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas proses seleksi.
2.4. Siapa Bertanggung Jawab Jika Penyedia Tidak Mampu Memenuhi Spesifikasi?
Dalam hal ketidaksesuaian spesifikasi ternyata berasal dari ketidakmampuan penyedia, maka tanggung jawab tidak bisa serta-merta dibebankan hanya kepada penyedia. Kita harus melihat secara adil:
- Jika penyedia tidak jujur dalam dokumen penawaran dan menyembunyikan fakta penting, maka tanggung jawab hukum ada padanya. Ini termasuk kemungkinan gugatan wanprestasi dan sanksi blacklist.
- Namun jika Pokja lalai dalam mengevaluasi, tidak melakukan klarifikasi, atau mengabaikan red flag, maka tanggung jawab administratif dan moral ada pada Pokja.
- Bila terdapat indikasi kolusi atau pengkondisian lelang, maka tanggung jawab bisa merambat hingga ke PPK, pimpinan instansi, bahkan penyidik bisa menelusuri adanya kerugian negara akibat kelalaian sistemik ini.
2.5. Upaya Pencegahan dalam Proses Pemilihan Penyedia
Untuk meminimalisasi risiko penyedia yang tidak mampu memenuhi spesifikasi, berikut langkah-langkah strategis yang dapat diterapkan:
a. Evaluasi Teknis Berbasis Bukti
Pastikan seluruh bukti teknis seperti brosur, sertifikat, MoU dengan prinsipal, pengalaman kerja, dan tenaga ahli diverifikasi dengan seksama. Gunakan sistem checklist berbasis risiko dan dokumentasi wawancara atau presentasi teknis.
b. Melibatkan Tim Ahli saat Dibutuhkan
Jika pekerjaan bersifat teknis atau multidisipliner, Pokja perlu melibatkan tim teknis atau konsultan untuk mengevaluasi kelayakan penawaran. Ini diperbolehkan dalam aturan pengadaan dan bahkan sangat dianjurkan untuk pengadaan kompleks.
c. Penekanan pada Kinerja Masa Lalu
Evaluasi harus menilai rekam jejak penyedia, bukan hanya harga atau kelengkapan administrasi. Penyedia yang pernah gagal dalam pekerjaan sejenis atau memiliki reputasi buruk harus dinilai lebih kritis.
d. Transparansi Proses Klarifikasi
Seluruh proses klarifikasi teknis dan evaluasi harus terdokumentasi dengan baik dan disimpan dalam berkas pengadaan. Ini penting sebagai bukti audit dan perlindungan bagi Pokja bila terjadi masalah di kemudian hari.
2.6. Catatan Akhir: Evaluasi Bukan Sekadar Formalitas
Sering kali proses evaluasi dan seleksi penyedia dianggap sebagai kegiatan administratif belaka, padahal kenyataannya di situlah letak pengambilan keputusan strategis yang menentukan sukses atau gagalnya pengadaan. Jika Pokja Pemilihan bekerja secara jujur, teknis, dan akuntabel, maka kemungkinan besar penyedia yang dipilih memang layak dan mampu.
Namun jika proses seleksi dilakukan secara tergesa-gesa, hanya untuk memenuhi tenggat waktu, atau bahkan dalam bayang-bayang intervensi, maka bersiaplah menghadapi konsekuensi dari ketidaksesuaian spesifikasi di kemudian hari.
Dalam logika pengadaan, penyedia yang salah pilih ibarat “benih yang cacat”: tak peduli seberapa baik pupuk dan irigasi diberikan, hasil panennya tetap tidak akan memuaskan. Maka, memilih penyedia bukan hanya soal administrasi-itu adalah pertaruhan terhadap kualitas hasil pengadaan.
3. Kontrak Pengadaan: Dokumen Pengikat yang Harus Tegas
Kontrak merupakan perjanjian hukum yang menjadi dasar pelaksanaan pengadaan. Spesifikasi teknis seharusnya dimasukkan dalam lampiran kontrak secara jelas dan terperinci. Tidak boleh ada ruang abu-abu atau multiinterpretasi.
Peran Pejabat Penandatangan Kontrak
Pejabat Penandatangan Kontrak (biasanya PPK) bertugas memastikan bahwa seluruh isi kontrak, termasuk spesifikasi teknis, telah sesuai dengan dokumen pemilihan dan tidak berubah substansi secara sepihak. Jika terjadi perubahan spesifikasi saat penyusunan kontrak tanpa justifikasi yang kuat, maka tanggung jawab berada pada PPK.
Contoh kelalaian:
- Menghapus atau mengubah spesifikasi teknis saat drafting kontrak
- Tidak mencantumkan batas toleransi atau parameter pengujian
- Tidak menyebutkan sanksi atas penyimpangan spesifikasi
4. Pelaksanaan dan Pengawasan: Siapa Mengawasi Apa?
Selama pelaksanaan pekerjaan, pengawasan menjadi kunci dalam memastikan spesifikasi dipenuhi oleh penyedia. Di sinilah peran Tim Teknis, Pejabat Pengadaan, Konsultan Pengawas (jika ada), serta PPK diuji secara nyata.
Tanggung jawab tim pengawas:
- Memastikan material, alat, dan metode kerja sesuai kontrak
- Melakukan uji mutu atau pengujian laboratorium (jika relevan)
- Melaporkan ketidaksesuaian secara tertulis
- Tidak melakukan pembiaran terhadap penyimpangan teknis
Jika terjadi penyimpangan spesifikasi namun tidak segera direspons oleh pengawas, maka tanggung jawab moral dan administratif ada pada mereka. Dalam proyek konstruksi, misalnya, pengawas yang membiarkan pelaksanaan tanpa pengujian beton berkala bisa dituding turut lalai.
5. Serah Terima: Titik Penentu yang Sering Dianggap Formalitas
Proses serah terima pekerjaan (BAST) merupakan titik penting dalam menentukan apakah barang/jasa telah sesuai dengan spesifikasi atau tidak. Sayangnya, banyak instansi memperlakukan BAST sebagai formalitas semata, tanpa uji kelayakan atau pengujian teknis yang sebenarnya.
Penandatanganan Berita Acara Serah Terima
Jika barang atau hasil pekerjaan diterima oleh pihak penerima (biasanya PPK dan pengguna) tanpa keberatan, maka secara hukum pekerjaan dianggap selesai sesuai kontrak. Namun bila kemudian ditemukan ketidaksesuaian spesifikasi, maka pihak penerima dianggap lalai.
Tanggung jawab penerima dalam konteks ini besar. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji fungsi, commissioning, atau pengujian pihak ketiga sebelum BAST ditandatangani.
6. Ketidaksesuaian Spesifikasi: Apa Sanksinya?
Jika sudah terjadi ketidaksesuaian, maka harus dilakukan analisis siapa yang paling bertanggung jawab dan bagaimana sanksi atau konsekuensi yang diterapkan. Ada tiga pendekatan yang biasa digunakan:
1. Pendekatan administratif
- Penyedia dikenai sanksi denda
- Barang ditolak atau diminta penggantian
- PPK atau pengawas dikenai teguran tertulis
2. Pendekatan perdata
- Gugatan atas wanprestasi (pelanggaran kontrak)
- Pengembalian dana atau ganti rugi atas barang/jasa yang tidak sesuai
3. Pendekatan pidana
- Jika ditemukan unsur rekayasa, mark-up, atau kolusi, maka kasus bisa dilaporkan sebagai tindak pidana korupsi
- Penyidik akan menelusuri siapa yang mendapat keuntungan dari ketidaksesuaian tersebut
Sanksi pidana ini sangat serius dan bisa menjerat semua pihak yang terlibat, termasuk PPK, Pokja, penyedia, bahkan pengguna barang jika terbukti ada niat jahat atau pembiaran.
7. Studi Kasus: Ketidaksesuaian di Lapangan
Kasus 1: Laptop tidak sesuai spesifikasi
Sebuah dinas pendidikan mengadakan 100 unit laptop untuk sekolah-sekolah. Spesifikasi menyebutkan RAM minimal 8 GB. Namun saat barang datang, seluruh unit hanya memiliki RAM 4 GB. Setelah ditelusuri, ternyata:
- PPK tidak mengecek uji coba sebelum pengiriman
- Penyedia memanipulasi brosur dan data teknis saat tender
- Tim pengawas tidak hadir saat barang dikirim
Akhirnya barang dikembalikan dan penyedia diwajibkan mengganti seluruh unit. PPK mendapat teguran tertulis, dan proses audit dilakukan oleh inspektorat.
Kasus 2: Pekerjaan jalan dengan spesifikasi campuran aspal tidak sesuai
Pekerjaan jalan provinsi yang baru dibangun rusak dalam 6 bulan. Setelah diuji, campuran aspal tidak memenuhi spesifikasi yang tertuang dalam kontrak. Ternyata:
- Pengawas lapangan tidak pernah meminta uji laboratorium
- Penyedia mengganti bahan dengan kualitas rendah untuk efisiensi
- PPK menandatangani BAST tanpa uji mutu
Kasus ini berujung pada laporan ke aparat penegak hukum, dan dua orang dijadikan tersangka atas kelalaian.
8. Strategi Pencegahan: Meminimalkan Risiko
Agar ketidaksesuaian spesifikasi tidak terjadi lagi, beberapa strategi dapat diterapkan:
- Audit internal sebelum pengumuman tender
- Pelibatan ahli dalam penyusunan spesifikasi
- Evaluasi teknis yang ketat dan terverifikasi
- Sistem monitoring digital dan transparan
- Pembekalan teknis bagi Pokja, PPK, dan pengawas
- Kontrak berbasis kinerja (performance-based contract)
Pendekatan pencegahan jauh lebih murah dan efektif dibanding penanganan setelah terjadi masalah.
Kesimpulan: Tanggung Jawab Bersama tapi Bervariasi
Ketidaksesuaian spesifikasi bukan hanya kesalahan penyedia. Ini adalah kegagalan sistem yang melibatkan banyak pihak. Namun demikian, tanggung jawab harus dilihat berdasarkan peran masing-masing:
- PPK: Bertanggung jawab atas spesifikasi, kontrak, dan serah terima
- Pokja Pemilihan: Bertanggung jawab atas proses seleksi dan verifikasi penyedia
- Pengawas Teknis: Bertanggung jawab atas pengawasan pelaksanaan dan pengujian
- Penyedia: Bertanggung jawab penuh atas pemenuhan spesifikasi yang dijanjikan
- Pengguna barang/jasa: Harus aktif dalam memastikan barang/jasa sesuai kebutuhan
Dengan memahami secara mendalam siapa yang bertanggung jawab atas setiap tahapan, instansi pengadaan dapat menghindari kerugian, meningkatkan akuntabilitas, dan menjamin kualitas barang/jasa yang diterima.