Pendahuluan
Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) merupakan tulang punggung pelaksanaan program pemerintah. Dari pembangunan infrastruktur hingga penyediaan layanan publik, seluruhnya membutuhkan rantai pengadaan yang andal dan transparan. Namun, dalam praktiknya, mutu sumber daya manusia yang mengelola PBJ seringkali menjadi sorotan utama. Oleh karena itu, sertifikasi PBJ muncul sebagai salah satu solusi untuk memastikan kompetensi aparatur sipil negara (ASN) dan pihak terkait. Tulisan ini membahas secara mendalam, apakah sertifikasi PBJ benar-benar wajib di Indonesia, serta implikasi dan tantangan yang menyertainya.
1. Dasar Hukum Sertifikasi PBJ
Sertifikasi PBJ diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta saksi-saksi pelaksananya seperti Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Pasal-pasal dalam Perpres mengamanatkan bahwa pejabat pengadaan dan pegawai pengadaan wajib memiliki sertifikat kompetensi yang diterbitkan oleh lembaga berwenang. Selain itu, Peraturan LKPP Nomor 9 Tahun 2018 memperjelas jenis kompetensi yang harus dimiliki, mulai dari perencanaan, pelaksanaan kontrak, hingga penilaian kinerja kontraktor. Landasan hukum ini menjadi pijakan utama dalam diskursus kewajiban sertifikasi.
2. Ruang Lingkup dan Jenjang Sertifikasi
Sertifikasi PBJ dirancang untuk mencakup berbagai tingkatan tanggung jawab serta kompetensi teknis yang dibutuhkan dalam setiap tahapan pengadaan. Secara umum, jenjang sertifikasi dibagi menjadi tiga level utama:
- Sertifikasi Dasar (Level 1):
- Target Peserta: Pelaksana teknis di unit kerja.
- Kurikulum: Penguasaan Perpres 12/2021, tahapan dasar pengadaan, penggunaan E-Procurement System (LPSE), serta prinsip transparansi.
- Metode Ujian: Pilihan ganda dan studi kasus sederhana dengan durasi 2 jam.
- Sertifikasi Kemahiran (Level 2):
- Target Peserta: Pejabat pengadaan seperti Koordinator Pengadaan atau Pengendali Teknis.
- Kurikulum: Manajemen risiko pengadaan, evaluasi penawaran, negosiasi kontrak, dan etika profesi.
- Metode Ujian: Uraian soal, simulasi evaluasi dokumen tender, dan presentasi singkat.
- Sertifikasi Mahir (Level 3):
- Target Peserta: Pejabat pengadaan di tingkat manajerial, misalnya Ketua ULP atau Ketua Pokja Pemilihan.
- Kurikulum: Strategi pengadaan strategis, audit internal pengadaan, penanganan sengketa, dan kepemimpinan tim.
- Metode Ujian: Presentasi project planning, analisis kasus kompleks, dan wawancara panel.
Setiap jenjang dilengkapi dengan materi pembelajaran yang dapat diakses secara onsite maupun daring. Modul referensi utama mencakup draf Perpres 12/2021, Pedoman LKPP, serta standar internasional seperti ISO 20400 tentang Sustainable Procurement. Peserta yang lulus akan menerima sertifikat valid selama dua tahun, setelah itu wajib mengikuti program Continuous Professional Development (CPD) untuk menjaga dan memperbarui kompetensi. Selain jenjang standar, terdapat pula sertifikasi berbasis peran khusus:
- E-Tendering Specialist: Mendalami teknis penggunaan LPSE, troubleshooting, dan keamanan data elektronik.
- Contract Management Officer: Fokus pada manajemen perubahan kontrak, pelaporan kinerja, dan evaluasi akhir.
- Risk Assessment Analyst: Spesialis dalam identifikasi, analisis, serta mitigasi risiko sepanjang siklus pengadaan.
Dengan struktur jenjang yang komprehensif dan ruang lingkup yang jelas, sertifikasi PBJ menjadi tolok ukur objektif atas kapabilitas sumber daya manusia pengadaan di berbagai level organisasi.
3. Argumen Mendukung Kewajiban Sertifikasi
Sertifikasi PBJ bukan sekadar formalitas, melainkan instrumen strategis untuk memperkuat tata kelola pengadaan. Berikut beberapa alasan mendasar mengapa kewajiban sertifikasi perlu ditegakkan:
- Penjamin Kredibilitas dan Kepercayaan Publik Sertifikat kompetensi yang diterbitkan oleh LKPP atau lembaga terakreditasi menjadi bukti otentik bahwa pejabat pengadaan telah memenuhi standar kemampuan teknis dan etika. Dalam survei internal LKPP pada 2023, 85% responden menyatakan lebih yakin mengikuti proses tender yang dikelola oleh pejabat bersertifikat, dibanding yang tidak bersertifikat. Dengan demikian, sertifikasi berperan penting dalam membangun kepercayaan masyarakat dan pemangku kepentingan terhadap integritas proses pengadaan.
- Standarisasi Proses dan Efisiensi Anggaran Prosedur baku dan terminologi yang terstandarisasi meminimalkan variasi dokumen perencanaan, evaluasi, dan kontrak. Contohnya, implementasi kewajiban sertifikasi di Pemerintah Provinsi Jawa Barat menunjukkan penurunan rata-rata waktu proses tender sebesar 15% serta penghematan anggaran hingga Rp 50 miliar pada tahun 2022. Standarisasi ini juga mempermudah pelaksanaan audit internal dan eksternal, karena setiap tahapan telah sesuai dengan panduan kompetensi yang berlaku.
- Mitigasi Risiko Hukum dan Operasional ASN tanpa sertifikat berisiko dianggap melanggar amanat Perpres 12/2021 saat terjadi penyimpangan. Sertifikasi mencakup modul etika profesi dan due diligence, sehingga pejabat pengadaan lebih siap mengidentifikasi potensi sengketa atau tuntutan hukum. Dengan kompetensi yang tervalidasi, instansi dapat mengurangi peluang kesalahan administrasi yang berujung pada sanksi disipliner maupun proses pidana.
- Peningkatan Daya Saing dan Profesionalisme Dalam lingkungan pengadaan yang semakin kompetitif, baik di tingkat nasional maupun internasional, sertifikasi berfungsi sebagai pembeda. ASN dan profesional pengadaan yang tersertifikasi memiliki keunggulan saat memasuki jaringan kerja sama multilateral atau proyek bantuan luar negeri, di mana standar kompetensinya diakui secara global.
Dengan berbagai manfaat tersebut, kewajiban sertifikasi PBJ menjadi landasan bagi pengadaan yang transparan, akuntabel, dan berkelanjutan.
4. Argumen Menentang Kewajiban Sertifikasi
Meskipun landasan hukum sertifikasi PBJ sudah jelas, sejumlah pihak menganggap kewajiban tersebut masih menimbulkan perdebatan. Ada beberapa argumen menentang yang perlu dipertimbangkan:
- Beban Administratif dan Finansial Pelatihan sertifikasi menuntut alokasi anggaran khusus, baik untuk biaya pendaftaran, modul, pengajar, hingga fasilitas ujian. Bagi instansi kecil atau daerah dengan keterbatasan anggaran, beban ini seringkali dianggap memberatkan. Selain itu, waktu yang diperlukan untuk mengikuti pelatihan dan ujian-biasanya minimal 3 hingga 5 hari per modul-berpotensi mengganggu jam produktif ASN. Akibatnya, sebagian unit kerja memilih menunda proses sertifikasi hingga anggaran dan jadwal kerja lebih longgar.
- Disparitas Akses Pelatihan Pemerataan penyelenggaraan pelatihan masih menjadi tantangan utama. Daerah urban seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya memiliki banyak lembaga pelatihan terakreditasi, tetapi di wilayah terpencil-misalnya Papua, Kalimantan Utara, dan Nusa Tenggara Timur-peserta harus menempuh perjalanan jauh atau mengikuti pelatihan daring dengan bandwidth terbatas. Kesenjangan ini tidak hanya memengaruhi kuantitas peserta yang dapat tersertifikasi, tetapi juga menimbulkan ketimpangan kompetensi antarwilayah.
- Variasi Kualitas Lembaga Pelatihan Tidak semua penyelenggara pelatihan memenuhi standar instruktur bersertifikat dan materi yang komprehensif. Beberapa lembaga swasta menawarkan paket cepat dengan jadwal singkat dan soal latihan yang kurang mendalam, sehingga peserta lulus ujian tanpa benar-benar memahami praktik terbaik PBJ. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa sertifikasi lebih menjadi formalitas administratif, tanpa memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan kualitas pengadaan.
Karena alasan-alasan tersebut, beberapa instansi dan praktisi pengadaan berpendapat bahwa sebaiknya sertifikasi PBJ tidak diperlakukan sebagai kewajiban mutlak, melainkan sebagai salah satu opsi peningkatan kapasitas yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi daerah masing-masing.
5. Implementasi di Berbagai Instansi
Secara nasional, upaya sertifikasi PBJ telah dijalankan oleh banyak kementerian dan lembaga. Berikut gambaran implementasi di beberapa instansi:
- Kementerian PUPR
- Meluncurkan program “Sertifikasi Cepat” pada kuartal I 2024, menargetkan 5.000 pejabat pengadaan dengan metode blended learning (daring dan tatap muka). Hasilnya, 92% peserta lulus dalam tiga gelombang pelatihan.
- Menyediakan fasilitas simulasi tender virtual untuk mengasah kemampuan evaluasi dokumen dan manajemen risiko.
- Pemprov Jawa Barat
- Bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai penyelenggara pelatihan, memfokuskan materi pada e-procurement regional dan mitigasi korupsi.
- Pada akhir 2023, 75% dari 27 kabupaten/kota telah memenuhi target sertifikasi pejabat pengadaan level dasar.
- Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat (NTT)
- Mengadopsi model e-learning berbasis aplikasi mobile untuk menjangkau pulau-pulau terpencil. Pelatihan singkat 2-3 jam per hari memungkinkan ASN belajar tanpa harus meninggalkan tugas lapangan.
- Mengalokasikan dana desa khusus untuk subsidi biaya ujian sertifikasi bagi staf unit kerja.
- Kementerian Kesehatan
- Memprioritaskan sertifikasi bagi pejabat pengadaan alat kesehatan dan obat-obatan, dengan materi spesifik regulasi BPOM dan standar mutu produk medis.
- Setelah sertifikasi, terjadi penurunan temuan audit BPK terkait pengadaan alat kesehatan sebesar 30% pada tahun 2024.
Meskipun banyak instansi melaporkan kemajuan positif, capaian nasional masih belum merata. Berdasarkan Laporan Indeks Maturitas Pengadaan LKPP per Februari 2025, hanya 58% dari 457 entitas pengadaan mencapai minimal 70% peserta tersertifikasi untuk level 1 dan level 2. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada kemauan politik, tantangan logistik, anggaran, dan sumber daya manusia masih perlu diatasi untuk mencapai target sertifikasi secara menyeluruh.
6. Dampak pada Proses Pengadaan
Adanya sertifikasi membuahkan dua dampak utama. Positifnya, prosedur pengadaan menjadi lebih terstruktur, dengan dokumen perencanaan, evaluasi, dan kontrak yang memenuhi standar kualitas. ASN yang bersertifikat cenderung lebih memahami regulasi, sehingga meminimalisir kesalahan administrasi. Namun, dampak negatifnya berupa penundaan proses karena attend training dan ujian sertifikasi. Jika jadwal pelatihan tidak sinkron dengan kebutuhan instansi, proses tender dapat tertunda, mempengaruhi progres program.
7. Tantangan Pelaksanaan Sertifikasi
Salah satu tantangan terbesar adalah ketersediaan lembaga pelatihan bersertifikat di seluruh Indonesia. Meskipun LKPP telah menunjuk beberapa mitra, distribusi pelatihan masih terkonsentrasi di kota-kota besar. Tantangan lainnya adalah pembaruan sertifikat. Sertifikat memiliki masa berlaku, sehingga pejabat dan pegawai PBJ perlu mengikuti program peningkatan kompetensi berkelanjutan. Persoalan anggaran pelatihan yang tidak dianggarkan secara spesifik juga menjadi hambatan dalam jangka panjang.
8. Strategi Optimalisasi Sertifikasi PBJ
Pertama, pemanfaatan teknologi digital. LKPP dan pemerintah daerah dapat lebih masif menggunakan platform e-learning untuk modul PBJ, mengurangi hambatan geografis. Kedua, skema pendanaan bersama. Pemerintah pusat dapat memberikan insentif anggaran bagi daerah yang melaksanakan sertifikasi tepat waktu, atau Deputi bidang pengadaan memberikan subsidi bagi pelatihan di daerah tertinggal. Ketiga, akreditasi lembaga pelatihan lokal. Melalui kerjasama dengan universitas negeri, pelatihan PBJ dapat lebih merata dan berkualitas.
9. Peran Stakeholder dalam Menjamin Keberhasilan
Keberhasilan program sertifikasi PBJ tidak hanya tergantung pada pemerintah dan ASN, tetapi juga melibatkan kontraktor, masyarakat madani, dan asosiasi profesi. Kontraktor yang memahami sertifikasi pewenang menjadi lebih siap dalam mengikuti tender sesuai standar. Masyarakat dan LSM dapat berperan mengawasi pelaksanaan sertifikasi dan pengadaan, sementara asosiasi profesi dapat memberikan umpan balik atas kurikulum dan materi pelatihan.
Kesimpulan
Sertifikasi PBJ sesungguhnya merupakan instrumen penting untuk meningkatkan profesionalisme, transparansi, dan akuntabilitas pengadaan barang dan jasa pemerintah. Landasan hukumnya sudah kuat dan mekanisme sertifikasi telah berjalan, meski masih menghadapi berbagai kendala distribusi dan pembiayaan. Maka, meski secara formal sertifikasi bersifat wajib, implementasinya harus terus dioptimalkan melalui inovasi digital, kolaborasi antarlembaga, dan pendanaan yang memadai. Dengan demikian, tujuan utama sertifikasi-menjamin kompetensi SDM PBJ dan kualitas pelaksanaan pengadaan-dapat tercapai secara merata di seluruh Indonesia.