Pengadaan Fiktif: Modus dan Cara Menghindarinya

Pendahuluan: Luka Dalam Dunia Pengadaan

Di balik pembangunan jalan, pengadaan alat kesehatan, pengadaan komputer untuk sekolah, hingga penyediaan seragam ASN, terdapat satu proses yang sangat krusial: pengadaan barang dan jasa. Proses pengadaan inilah yang menghubungkan kebutuhan publik dengan anggaran negara, menjembatani rencana kerja dengan realisasi fisik. Dalam tatanan pemerintahan, baik pusat maupun daerah, keberhasilan suatu program sangat bergantung pada seberapa efisien dan efektif pengadaan dilaksanakan.

Namun, di balik proses yang seharusnya berjalan transparan dan akuntabel ini, terselip potensi celah yang bisa merusak tatanan tata kelola keuangan negara: pengadaan fiktif. Praktik ini tak hanya menjadi sumber kerugian negara secara finansial, tetapi juga menjadi benalu yang menggerogoti integritas birokrasi dari dalam. Ia bisa berlangsung dalam diam, tersamar dalam dokumen resmi, dan baru terkuak ketika audit investigatif dilakukan atau ketika masyarakat mulai mempertanyakan hasil dari proyek yang tidak pernah terlihat di lapangan.

Pengadaan fiktif adalah bentuk korupsi yang sering kali tidak terdeteksi dengan mudah. Tidak seperti suap yang mungkin melibatkan transaksi langsung antara pihak-pihak tertentu, pengadaan fiktif justru tampak legal di atas kertas. Dokumen lengkap, berita acara tersedia, kontrak ditandatangani, bahkan pembayaran telah dilakukan. Namun, kenyataannya barang tidak pernah datang, jasa tidak pernah dikerjakan, dan program tidak pernah berjalan. Inilah yang membuat pengadaan fiktif begitu berbahaya-ia menipu sistem melalui sistem itu sendiri.

Masalah ini bukanlah hal baru. Banyak laporan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Inspektorat Jenderal, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyoroti praktik pengadaan fiktif sebagai salah satu modus korupsi paling sering terjadi, terutama menjelang akhir tahun anggaran. Modus ini sering melibatkan kolusi antara oknum pejabat pengadaan, rekanan penyedia, hingga pihak auditor internal. Bahkan dalam beberapa kasus, pengadaan fiktif dilakukan demi mengejar serapan anggaran, sehingga dipandang sebagai solusi pragmatis, meskipun menyalahi hukum.

Lebih dari sekadar kerugian materiel, pengadaan fiktif juga meninggalkan jejak sosial yang dalam. Masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Mereka melihat proyek-proyek yang dijanjikan tidak kunjung terealisasi, atau fasilitas publik yang seharusnya hadir justru tak terlihat wujudnya. Ini menyebabkan apatisme publik, ketidakpercayaan terhadap sistem, hingga kegagalan program pembangunan yang semestinya memberikan dampak nyata.

Dalam konteks inilah, penting bagi semua pemangku kepentingan-terutama ASN yang terlibat dalam proses pengadaan-untuk memahami seluk-beluk pengadaan fiktif secara menyeluruh. Bagaimana modus ini dijalankan, siapa saja yang biasanya terlibat, bagaimana cara mendeteksinya, dan yang lebih penting: bagaimana cara menghindarinya sejak dini, sebelum kerugian negara terjadi.

Artikel ini hadir untuk mengulas secara mendalam mengenai fenomena pengadaan fiktif, mulai dari bentuk-bentuknya yang umum terjadi, akar masalah yang memungkinkan praktik ini bertumbuh, hingga strategi preventif yang bisa diterapkan oleh organisasi pemerintah. Harapannya, pembahasan ini dapat menjadi bahan refleksi, sekaligus pedoman teknis dan etis bagi setiap ASN, pejabat pengadaan, maupun pengelola keuangan daerah dalam menciptakan tata kelola yang bersih dan bertanggung jawab.

Pengertian dan Ruang Lingkup Pengadaan Fiktif

Sebelum menyelami modus-modusnya, penting untuk memetakan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan pengadaan fiktif serta seberapa luas praktik ini dapat terjadi. Secara istilah, pengadaan fiktif merujuk pada proses seakan-akan melakukan pembelian barang atau jasa sesuai dengan aturan pengadaan yang berlaku-mulai dari perencanaan, pemilihan penyedia, hingga pembayaran-padahal secara nyata barang tidak pernah diterima atau jasa tidak pernah dikerjakan. Pengadaan fiktif bukan hanya kesalahan administratif; ia merupakan tindak pidana korupsi yang memanfaatkan celah prosedur untuk mengalihkan anggaran negara ke rekening pelaku.

Ruang lingkup pengadaan fiktif bisa mencakup hampir seluruh jenis pengadaan, baik itu barang konsumsi (alat tulis kantor, ATK), barang modal (kendaraan dinas, alat berat), jasa konsultansi, hingga jasa konstruksi. Misalnya, dalam pengadaan ATK, tercatat pembelian 1.000 paket alat tulis, lengkap dengan berita acara serah terima, tetapi saat audit lapangan, gudang ATK ternyata kosong. Di sektor konstruksi, meski kontrak proyek telah dijalankan dan progres dibukukan, peninjauan di lapangan menunjukkan tidak ada pondasi yang dibangun ataupun aspal yang dihampar. Ruang lingkup ini juga meluas ke pengadaan multiyears, di mana anggaran dialokasikan untuk beberapa tahun anggaran berturut-turut, sehingga potensi kerugiannya bisa berlipat ganda.

Dari sisi proses, pengadaan fiktif terjadi pada tiga fase utama:

  1. Perencanaan dan Penyusunan Dokumen
    Di tahap awal, pelaku membuat rencana fiktif yang seolah telah melalui kajian kebutuhan. Rencana ini disusun sedemikian rupa agar memenuhi syarat administrasi: analisis harga pasar, spesifikasi teknis barang/jasa, hingga justifikasi kebutuhan. Dokumen ini selanjutnya dijadikan dasar untuk menerbitkan surat permintaan pengadaan (SPP) dan surat persetujuan atas kebutuhan anggaran.
  2. Pelaksanaan Pengadaan dan Pemilihan Penyedia
    Setelah dokumen perencanaan terbit, panitia pengadaan melakukan proses lelang atau penunjukan langsung. Penyedia fiktif-biasa disebut “rekanan boneka”-kemudian dipilih dan menerima kontrak. Pada fase ini, penyedia palsu akan menyiapkan dokumen penawaran, mengirimkan surat pernyataan, dan menandatangani kontrak. Semua seakan berjalan normal, padahal tidak ada kapasitas nyata untuk mengeksekusi pekerjaan.
  3. Serah Terima dan Pembayaran
    Tahap akhir adalah yang paling krusial: serah terima dan penerbitan berita acara pemeriksaan hasil pekerjaan (BAPP). Berita acara inilah kunci untuk mencairkan dana. Dengan berita acara fiktif, pelaku menagih pembayaran dan bendahara bendahara mengeluarkan dana berdasarkan dokumen. Pengawasan dokumen saja tidak cukup; tanpa verifikasi lapangan, semua nampak sah di mata sistem.

Lebih jauh lagi, pengadaan fiktif bisa dikategorikan berdasarkan skala dan kompleksitas:

  • Skala Mikro, misalnya manipulasi dokumen untuk pengadaan ATK dengan nilai puluhan juta rupiah.
  • Skala Menengah, seperti pengadaan IT (komputer/laptop) dan perangkat jaringan senilai ratusan juta rupiah.
  • Skala Makro, yang sering melibatkan proyek infrastruktur bernilai miliaran hingga puluhan miliar rupiah, dengan jaringan kolusi yang rumit antara banyak pihak.

Dengan memahami ruang lingkup dan fase-fase tersebut, kita dapat lebih mudah menelusuri titik rentan dalam proses pengadaan. Pada bagian berikutnya, kita akan membedah secara detail modus-modus umum pengadaan fiktif-bagaimana pelaku menyiapkan dokumen palsu, membangun perusahaan boneka, hingga menjerat oknum auditor untuk melancarkan aksinya-agar pembaca dapat mengenali tanda-tanda dini dan mengambil langkah pencegahan yang tepat.

Modus-Modus Umum Pengadaan Fiktif

1. Dokumen Palsu dan Administrasi yang Dimanipulasi

Modus paling umum adalah pembuatan dokumen fiktif. Pelaku membuat surat pesanan, kontrak kerja, berita acara serah terima, hingga kwitansi pembayaran palsu. Semuanya tampak sah secara administrasi, padahal tak satu pun barang atau jasa yang benar-benar disediakan.

Contoh kasus: Sebuah instansi menganggarkan pembelian alat perkantoran. Semua dokumen dilengkapi-mulai dari penawaran hingga laporan hasil pengadaan-namun tidak ada barang yang dikirim. Uangnya cair, masuk ke rekening perusahaan fiktif yang dikendalikan oleh oknum internal.

2. Penyedia Fiktif atau ‘Boneka’

Modus ini memanfaatkan perusahaan penyedia yang sebenarnya tidak memiliki kapasitas untuk menyediakan barang atau jasa. Perusahaan ini didirikan hanya untuk mencairkan dana pengadaan. Setelah dana diterima, tidak ada kegiatan usaha yang sebenarnya terjadi.

Biasanya, perusahaan boneka ini memiliki alamat yang tidak valid, tidak punya NPWP aktif, dan direkturnya adalah orang yang tidak memahami bisnis tersebut. Bahkan kadang hanya ‘dipinjam’ namanya untuk menjalankan modus.

3. Pengadaan Barang Tidak Sesuai Spesifikasi

Barang memang dikirim, tetapi kualitas atau spesifikasinya tidak sesuai dengan yang ditentukan dalam kontrak. Namun, dokumen tetap menyebut bahwa pengadaan telah dilakukan sesuai dengan kontrak.

Meski tidak sepenuhnya fiktif, pengadaan jenis ini masuk dalam wilayah penipuan dan kecurangan. Dalam audit, hal ini tetap dikategorikan sebagai bentuk kerugian negara karena tidak sesuai nilai manfaat yang dibayarkan.

4. Mark-up Harga untuk Barang yang Tidak Pernah Diterima

Modus ini menggabungkan dua kejahatan sekaligus: penggelembungan harga dan pengadaan fiktif. Nilai kontrak ditinggikan, namun barang/jasa yang seharusnya diterima sama sekali tidak diberikan.

Kasus ini biasanya melibatkan kerja sama antara pihak internal pengguna anggaran dan rekanan. Dalam laporan, semuanya tampak normal-bahkan barang seolah telah diterima. Namun dalam pemeriksaan lapangan atau audit fisik, barang itu tak pernah ada.

5. Persekongkolan dengan Auditor atau Pejabat Pemeriksa

Dalam kasus yang lebih kompleks, pelaku bisa bekerja sama dengan auditor internal atau pemeriksa keuangan agar laporan tetap “bersih” dan lolos dari pemeriksaan. Di sini, praktik korupsi sudah sangat dalam dan sistemik.

Pengadaan fiktif semacam ini lebih sulit terdeteksi dan biasanya hanya bisa dibongkar melalui investigasi khusus atau laporan dari whistleblower.

Faktor Penyebab Terjadinya Pengadaan Fiktif

1. Integritas ASN dan Pejabat Pengadaan yang Lemah

Korupsi pada dasarnya adalah masalah moral. Ketika integritas aparat rendah, maka segala bentuk manipulasi menjadi mungkin. Pejabat pengadaan yang tergoda dengan iming-iming uang mudah bisa saja mengabaikan prosedur formal.

2. Sistem Pengawasan yang Lemah

Sistem pengawasan internal yang tidak ketat, kurangnya pengujian lapangan, dan tidak adanya validasi silang membuat praktik fiktif bisa berjalan tanpa hambatan. Apalagi jika dokumen tampak lengkap dan tidak ada keberatan dari pihak manapun.

3. Minimnya Pemahaman Terhadap Proses PBJ

Beberapa pelaku bahkan tidak menyadari bahwa yang mereka lakukan adalah bentuk korupsi. Ini biasanya terjadi karena rendahnya pemahaman ASN terhadap proses pengadaan, khususnya mengenai prinsip transparansi dan akuntabilitas.

4. Tekanan Target atau Serapan Anggaran

Kadang pengadaan fiktif terjadi karena adanya tekanan untuk menyerap anggaran di akhir tahun anggaran. Daripada anggaran tidak terserap dan menimbulkan penilaian negatif, beberapa pihak justru memilih “mengakali” laporan dengan pengadaan fiktif.

Dampak Pengadaan Fiktif: Merugikan Lebih dari Sekadar Uang

1. Kerugian Keuangan Negara

Pengadaan fiktif jelas merupakan kebocoran anggaran. Dana yang semestinya digunakan untuk pembangunan, pelayanan publik, atau pengembangan masyarakat justru masuk ke kantong pribadi.

Dalam beberapa kasus besar, kerugian negara bisa mencapai miliaran rupiah dalam satu tahun anggaran. Jika dibiarkan, hal ini akan menggerogoti fondasi fiskal dan merusak efektivitas belanja pemerintah.

2. Kerusakan Citra Lembaga dan ASN

Satu kasus pengadaan fiktif dapat mencoreng nama baik instansi secara keseluruhan. ASN yang bekerja dengan baik pun bisa terkena imbas buruknya. Masyarakat menjadi sinis dan skeptis terhadap kinerja aparatur negara.

3. Kegagalan Program Pembangunan

Karena barang/jasa tidak pernah diterima, maka program yang dirancang tidak akan berjalan. Sekolah yang semestinya mendapatkan komputer tidak bisa melaksanakan pembelajaran digital. Puskesmas yang semestinya mendapat alat medis tetap kekurangan sarana. Akhirnya, masyarakat menjadi korban dari kelalaian birokrasi.

Cara Menghindari Pengadaan Fiktif

1. Penguatan Sistem Digitalisasi Pengadaan

Salah satu cara paling efektif untuk menekan pengadaan fiktif adalah melalui digitalisasi proses PBJ (Pengadaan Barang/Jasa). Dengan menggunakan sistem elektronik seperti e-procurement dan e-catalogue, seluruh proses terekam otomatis, transparan, dan bisa diaudit setiap saat.

Digitalisasi juga membuat pencatatan barang/jasa yang dikirim bisa disesuaikan dengan sistem logistik sehingga pemalsuan lebih mudah terdeteksi.

2. Audit Lapangan yang Ketat dan Berkala

Audit tidak boleh hanya berbasis dokumen. Harus dilakukan audit fisik lapangan untuk memverifikasi apakah barang atau jasa benar-benar telah disediakan. Bahkan, audit acak dengan pendekatan investigatif dapat dilakukan oleh APIP atau BPKP.

Lembaga pengawas juga harus diberi ruang untuk bekerja independen, tanpa intervensi dari pihak internal instansi.

3. Peningkatan Kompetensi dan Etika ASN

ASN sebagai garda depan proses pengadaan perlu terus mendapatkan pembekalan, baik secara teknis maupun etika. Sertifikasi PBJ, pelatihan anti-fraud, dan penguatan budaya organisasi yang menjunjung integritas sangat penting.

Selain itu, reward and punishment harus diberlakukan dengan jelas. ASN yang jujur dan berprestasi harus dihargai, sementara yang terbukti melakukan pengadaan fiktif harus dihukum tegas.

4. Whistleblowing System yang Efektif dan Aman

Saluran pelaporan seperti Whistleblowing System (WBS) harus tersedia dan terlindungi. Pegawai yang mengetahui adanya praktik fiktif tapi takut melapor karena ancaman dari atasan tidak akan berani bertindak tanpa jaminan keamanan.

Sistem ini sebaiknya dikelola oleh lembaga independen seperti KPK atau Ombudsman untuk menjamin keadilan.

5. Transparansi Anggaran dan Keterlibatan Publik

Masyarakat juga berhak tahu untuk apa saja anggaran publik digunakan. Oleh karena itu, transparansi anggaran harus menjadi prinsip utama dalam tata kelola pengadaan. Dengan menyediakan akses publik terhadap informasi proyek dan laporan pengadaan, maka pengawasan menjadi bersifat kolektif.

Penutup: Menolak Kompromi atas Integritas

Pengadaan fiktif bukan sekadar pelanggaran prosedur, tetapi pelanggaran terhadap kepercayaan rakyat. Ia merampas hak publik secara diam-diam, menghancurkan kepercayaan, dan melemahkan fondasi pembangunan.

Maka, pencegahan pengadaan fiktif harus menjadi misi bersama. Mulai dari pimpinan instansi, ASN pelaksana, hingga masyarakat luas. Tanpa kompromi atas integritas, pengadaan publik bisa menjadi alat kemajuan. Tapi bila dibiarkan menjadi ladang manipulasi, ia hanya akan menambah daftar panjang ironi birokrasi.

Melalui sistem yang kuat, pendidikan integritas, dan keberanian untuk menindak, maka cita-cita pengadaan yang bersih, transparan, dan akuntabel bisa diwujudkan.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *