Pendahuluan
Pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan jantung dari pelaksanaan anggaran dan pencapaian target pembangunan. Namun, proses pengadaan, terutama melalui mekanisme tender terbuka, sangat rentan terhadap intervensi pihak luar. Intervensi ini bisa datang dari pihak politik, atasan, atau bahkan dari kelompok kepentingan ekonomi yang mengincar keuntungan dengan cara-cara yang tidak fair. Intervensi semacam ini tidak hanya mencederai prinsip-prinsip good governance, tetapi juga merusak ekosistem pengadaan yang adil, transparan, dan akuntabel.
Di tengah upaya mendorong reformasi birokrasi dan digitalisasi sistem pengadaan, tantangan ini tetap nyata. Intervensi yang tidak kasatmata-seperti tekanan untuk memenangkan pihak tertentu, pengaburan kriteria evaluasi, hingga pengaturan skor teknis-masih menjadi hantu yang menakutkan bagi banyak Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Kelompok Kerja Pemilihan (Pokja), dan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP). Oleh karena itu, artikel ini akan mengupas secara mendalam bagaimana intervensi luar terjadi, bentuk-bentuknya, dampaknya, serta strategi sistematis yang dapat digunakan untuk menangkalnya secara efektif.
1. Mengenali Akar Masalah Intervensi
Intervensi dalam tender bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Ia biasanya tumbuh subur karena ada tiga akar utama:
a. Ketimpangan Kekuasaan dan Hirarki Organisasi
Ketika Pokja berada dalam posisi subordinat secara struktural dan psikologis terhadap pihak-pihak yang berkepentingan (misalnya kepala dinas, bupati, atau pejabat struktural lain), maka keputusan pengadaan tidak sepenuhnya berada di tangan Pokja. Dalam struktur seperti ini, tekanan bisa dilakukan melalui instruksi halus hingga ancaman mutasi.
b. Ketiadaan Mekanisme Perlindungan Individu
PPK dan Pokja sering kali bekerja dalam ketakutan karena tidak memiliki perlindungan hukum yang kuat. Sekalipun Perpres dan regulasi pengadaan menjamin independensi pelaku pengadaan, praktik di lapangan tidak selalu demikian. Banyak ASN yang memilih ‘patuh’ terhadap arahan karena takut pada sanksi non-formal.
c. Budaya Koruptif yang Masih Mengakar
Di beberapa daerah, praktik “setoran proyek” atau “jatah penguasa” masih menjadi bagian dari budaya birokrasi. Bahkan, sering kali tender hanya formalitas untuk mengesahkan proses yang sebenarnya telah diatur di belakang layar. Dalam situasi seperti ini, intervensi menjadi norma sosial.
2. Bentuk-Bentuk Intervensi dalam Proses Tender
Intervensi tidak selalu bersifat eksplisit atau kasar. Banyak bentuk intervensi yang bersifat halus namun sangat memengaruhi integritas tender. Berikut bentuk-bentuk intervensi yang umum dijumpai:
a. Arahan untuk Menentukan Pemenang Tertentu
Ini adalah bentuk intervensi paling gamblang. Pokja atau PPK diarahkan secara lisan atau tertulis untuk memenangkan peserta tertentu. Kadang dikemas sebagai ‘masukan’ dari pimpinan yang tidak bisa ditolak.
b. Intervensi dalam Penyusunan Spesifikasi atau KAK
Dengan mengatur spesifikasi teknis agar hanya bisa dipenuhi oleh satu penyedia tertentu, maka proses tender hanya menjadi sandiwara. Intervensi ini biasanya dilakukan saat tahap awal penyusunan dokumen pengadaan.
c. Intervensi Melalui Evaluasi Teknis yang Subjektif
Evaluasi teknis seringkali membuka ruang untuk manipulasi skor. Tim evaluator bisa diarahkan untuk menggugurkan peserta dengan alasan teknis yang tidak kuat atau memenangkan peserta tertentu dengan memberikan nilai subjektif.
d. Pengaburan Hasil Klarifikasi dan Negosiasi
Pada pengadaan konsultansi atau pekerjaan jasa lainnya, intervensi kerap terjadi di tahapan klarifikasi atau negosiasi harga. Di sinilah ruang kompromi antara integritas dan tekanan sering terjadi.
3. Dampak Sistemik Intervensi terhadap Ekosistem Pengadaan
Intervensi bukan hanya berdampak pada satu paket pekerjaan, tetapi juga merusak keseluruhan ekosistem pengadaan. Berikut beberapa dampak seriusnya:
a. Kehilangan Kepercayaan Penyedia
Ketika penyedia menyadari bahwa pemenang telah ditentukan sebelum tender digelar, maka mereka akan kehilangan semangat untuk bersaing secara sehat. Akibatnya, peserta tender menjadi sedikit, dan kualitas barang/jasa yang ditawarkan pun menurun.
b. Kerugian Negara
Intervensi membuat persaingan tidak sehat, dan biasanya berujung pada harga yang tidak efisien atau kualitas pekerjaan yang rendah. Ini berdampak langsung pada pemborosan anggaran negara.
c. Terganggunya Reformasi Birokrasi
Upaya mewujudkan birokrasi yang profesional dan berintegritas akan terus mengalami kemunduran apabila pengadaan tetap menjadi ruang kompromi kepentingan elit dan politik.
d. Terancamnya Karier ASN Berintegritas
ASN yang menolak intervensi berisiko dimutasi, dikucilkan, bahkan dilaporkan secara tidak adil ke aparat penegak hukum. Ini menimbulkan efek jera dan membuat ASN berpikir dua kali untuk bersikap tegas.
4. Strategi Menangkal Intervensi Luar
Menghadapi intervensi dalam tender membutuhkan kombinasi strategi teknis, institusional, dan personal. Berikut beberapa pendekatan yang bisa diterapkan:
a. Penguatan Regulasi dan SOP Pengadaan
Langkah pertama adalah memastikan bahwa SOP pengadaan di instansi sudah detail, jelas, dan mengunci ruang tafsir. Misalnya:
- SOP tentang penyusunan KAK harus melibatkan tim teknis profesional dan tidak boleh disusun tunggal oleh satuan kerja.
- Evaluasi teknis harus memiliki pedoman penilaian yang objektif dan terukur.
b. Dokumentasi Ketat Setiap Tahapan Tender
Setiap komunikasi, baik lisan maupun tertulis, yang menyangkut proses tender harus didokumentasikan dengan rapi. Termasuk notulensi rapat, berita acara evaluasi, hingga pertemuan informal yang relevan. Ini bisa menjadi tameng perlindungan hukum bila terjadi pelaporan.
c. Pemanfaatan Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) Secara Maksimal
SPSE memberikan jejak digital dari seluruh proses tender. Oleh karena itu, pelaku pengadaan harus disiplin dalam menggunakan SPSE, tidak melakukan penilaian di luar sistem, dan memaksimalkan fitur transparansi.
d. Melibatkan APIP Sejak Awal
APIP harus dilibatkan sejak perencanaan tender, bukan hanya saat audit akhir. Dengan cara ini, intervensi bisa dicegah sejak dini, dan Pokja memiliki backup argumentatif dari sisi pengawasan internal.
e. Memanfaatkan Mekanisme Whistleblowing
Pelaku pengadaan yang mendapat tekanan bisa memanfaatkan mekanisme whistleblowing yang disediakan oleh KPK, LKPP, atau Inspektorat. Hal ini harus didukung dengan jaminan kerahasiaan dan perlindungan dari tindakan balasan.
5. Membangun Budaya Integritas di Internal Instansi
Strategi menangkal intervensi tidak cukup hanya bersifat teknis. Ia juga harus ditanamkan sebagai nilai dan budaya dalam instansi.
a. Pelatihan Etika dan Integritas bagi PPK dan Pokja
Pelatihan ini bukan hanya tentang regulasi, tetapi juga simulasi kasus nyata yang menunjukkan dilema etika dan cara menanganinya. Diskusi antar ASN bisa memperkuat solidaritas dalam menghadapi tekanan eksternal.
b. Kepemimpinan yang Memberi Contoh
Pimpinan instansi yang konsisten menolak intervensi akan menciptakan atmosfer yang mendukung integritas. Sebaliknya, bila pimpinan justru menjadi aktor utama intervensi, maka semua upaya pencegahan akan gagal.
c. Penilaian Kinerja Berdasarkan Integritas
Kinerja Pokja dan PPK sebaiknya tidak hanya dinilai dari jumlah paket yang selesai, tetapi juga dari bagaimana prosesnya dijalankan secara bersih dan tanpa tekanan.
6. Kolaborasi Eksternal: LSM, Media, dan Masyarakat
Tender yang terbuka untuk publik juga harus melibatkan kontrol dari luar.
a. Transparansi Informasi Tender
Setiap tahapan tender harus diumumkan secara terbuka di LPSE, termasuk daftar peserta, hasil evaluasi, dan alasan pemenang dipilih. Keterbukaan ini bisa mencegah intervensi karena keputusan dapat diuji publik.
b. Peran Media Sebagai Watchdog
Media massa lokal dan nasional dapat berperan mengawasi tender-tender besar. Peliputan proses tender secara objektif bisa menjadi penghalang psikologis bagi pihak yang ingin melakukan intervensi.
c. Peningkatan Literasi Pengadaan di Kalangan Penyedia
Penyedia yang memahami hak-haknya dalam proses tender akan lebih berani menggugat keputusan yang tidak adil atau melaporkan intervensi ke APIP dan LKPP.
Kesimpulan
Menangkal intervensi luar dalam proses tender merupakan tantangan yang sangat kompleks dan memerlukan perhatian serius dari seluruh pemangku kepentingan dalam sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah. Intervensi yang datang dalam berbagai bentuk, mulai dari tekanan langsung hingga manipulasi prosedur teknis, tidak hanya mengancam integritas proses tender, tetapi juga dapat membawa dampak negatif yang jauh lebih luas bagi pembangunan dan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Pertama, penting untuk memahami bahwa intervensi tidak bisa diatasi hanya dengan pendekatan teknis semata. Walaupun regulasi pengadaan telah cukup memadai dan sistem elektronik pengadaan (SPSE) sudah diterapkan secara luas, intervensi kerap berwujud dalam bentuk-bentuk halus yang sulit dideteksi jika tidak ada kesadaran dan keberanian dari para pelaku pengadaan. Oleh karena itu, penguatan budaya integritas dalam lingkungan kerja menjadi kunci utama. Budaya ini harus ditanamkan dari pimpinan tertinggi hingga pelaksana lapangan, sehingga setiap individu mampu menolak dan melawan tekanan yang bersifat merugikan.
Kedua, perlindungan hukum dan mekanisme pelaporan yang efektif bagi PPK, Pokja, dan pelaku pengadaan lain harus menjadi prioritas. Tanpa adanya jaminan perlindungan, ASN akan terus berada dalam dilema antara menjalankan tugas secara profesional atau mengikuti intervensi demi keamanan karier dan kenyamanan kerja. Pemerintah perlu memastikan bahwa whistleblowing system yang disediakan benar-benar kredibel dan bebas dari tekanan balasan, sehingga pelaku pengadaan tidak ragu-ragu untuk melaporkan intervensi.
Ketiga, transparansi dan keterbukaan proses pengadaan harus dioptimalkan. Sistem pengadaan yang transparan membuka ruang bagi pengawasan dari publik, media, dan organisasi masyarakat sipil. Dengan informasi yang terbuka, setiap tahap pengadaan dapat dipantau dan dikritisi, sehingga pihak-pihak yang ingin melakukan intervensi akan lebih sulit untuk melaksanakan niatnya tanpa terdeteksi. Transparansi juga meningkatkan kepercayaan penyedia terhadap proses tender sehingga persaingan menjadi lebih sehat dan menghasilkan kualitas barang dan jasa yang lebih baik bagi negara.
Keempat, kolaborasi antar lembaga pengawas, baik internal maupun eksternal, sangat menentukan keberhasilan menangkal intervensi. APIP, Inspektorat, KPK, dan LKPP harus bersinergi untuk melakukan pengawasan secara terpadu dan berkelanjutan. Pengawasan ini tidak hanya bersifat audit akhir, tetapi harus dimulai sejak tahap perencanaan dan pelaksanaan tender agar intervensi dapat dicegah lebih awal.
Terakhir, intervensi luar dalam tender bukan hanya persoalan teknis atau hukum, tetapi juga persoalan moral dan etika. Reformasi birokrasi dan tata kelola pengadaan harus mampu menghadirkan agen-agen perubahan yang berani mengambil sikap berintegritas, meskipun menghadapi tekanan dan risiko. Perubahan ini harus diikuti dengan penghargaan dan insentif bagi mereka yang berani menegakkan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Singkatnya, menangkal intervensi luar dalam tender adalah perjuangan panjang yang membutuhkan komitmen kolektif dari pemerintah, ASN, penyedia, masyarakat, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya. Integritas dalam pengadaan bukanlah sekadar jargon, melainkan fondasi utama untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, adil, dan terpercaya. Ketika integritas dijaga dan intervensi berhasil ditekan, maka seluruh proses pengadaan akan berjalan optimal, anggaran negara terkelola dengan baik, dan masyarakat memperoleh manfaat maksimal dari layanan publik.