1. Pendahuluan
Dalam ekosistem pengadaan barang dan jasa pemerintah (PBJP), Panitia Pengadaan (sering kali disebut Pokja Pemilihan) merupakan komponen vital yang memainkan peran sentral pada hampir semua tahapan pengadaan. Seiring transformasi digital yang semakin mendalam, sistem elektronik seperti SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik) dan e-Procurement telah mendigitalisasi sebagian besar tahapan. Namun demikian, teknologi hanyalah alat bantu. Keberhasilan pengadaan tetap bertumpu pada kualitas sumber daya manusia yang menjalankannya.
Panitia Pengadaan tidak cukup hanya mengetahui cara mengoperasikan sistem, mengunggah dokumen, atau mengevaluasi penawaran secara administratif. Lebih dari itu, mereka harus memahami filosofi, regulasi, dan prinsip dasar pengadaan yang mengedepankan efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas. Kompetensi ini mencakup dimensi luas: pemahaman hukum, ketelitian administratif, kemampuan negosiasi, analisis risiko, hingga integritas moral.
Dalam praktiknya, kelalaian atau kekurangan kompetensi pada anggota panitia dapat berujung pada konsekuensi serius-mulai dari kegagalan tender, pengadaan tidak tepat mutu, sanggahan berlarut, sampai temuan audit dan risiko hukum pidana. Karena itu, penguatan kapasitas Panitia Pengadaan menjadi mandat penting dalam upaya reformasi birokrasi dan tata kelola anggaran negara yang berorientasi pada hasil.
2. Landasan Hukum dan Kebijakan Terkini
Kompetensi Panitia Pengadaan tidak bisa dilepaskan dari landasan hukum yang mengaturnya. Secara struktural, peraturan perundang-undangan telah memberikan batasan dan pedoman yang jelas mengenai siapa yang boleh menjadi panitia, tugas apa yang harus dilaksanakan, serta kompetensi minimum yang wajib dimiliki.
Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Perubahannya dalam Perpres No. 12 Tahun 2021 mengatur secara eksplisit tentang pembentukan, tugas, dan tanggung jawab Panitia Pengadaan. Pasal 43-47 menjadi rujukan penting yang menetapkan bahwa proses pemilihan penyedia dilakukan oleh Pokja Pemilihan (dalam lingkup Panitia) atau Pejabat Pengadaan, tergantung pada nilai pengadaan dan tingkat kompleksitasnya. Regulasi ini juga menekankan pentingnya pembagian peran yang akuntabel, menghindari konflik kepentingan, serta mewajibkan pelaksanaan proses sesuai prinsip-prinsip umum PBJ.
Peraturan Lembaga LKPP No. 9 Tahun 2020
menambahkan dimensi baru dalam bentuk Standar Kompetensi Jabatan Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa. Perlem ini menyusun kerangka kerja kompetensi berbasis sertifikasi, pengalaman kerja, serta pelatihan teknis dan etika. Ada tiga level kompetensi pengadaan yang disesuaikan dengan tingkat risiko dan kompleksitas pengadaan-yakni Level 1 (dasar), Level 2 (menengah), dan Level 3 (strategis).
Surat Edaran LKPP dan Pedoman Teknis SPSE
juga menetapkan kewajiban teknis seperti penggunaan e-Kontrak, tanda tangan digital, pengelolaan dokumen dalam sistem versioning, serta pengunggahan dokumen pengadaan secara transparan. Hal ini didukung pula oleh penggunaan sistem e-Catalog, e-Kontrak, dan dashboard monitoring sebagai bentuk pengawasan dan pelaporan digital berbasis audit trail.
Secara internasional, standar seperti ILO dan ISO 37001 (Sistem Manajemen Anti-Penyuapan) juga mulai direkomendasikan sebagai referensi kompetensi etik dan sistem pengendalian integritas dalam lingkungan pengadaan publik.
Dengan demikian, setiap anggota Panitia Pengadaan diharapkan tidak hanya memenuhi persyaratan administratif, tetapi juga memiliki kesiapan profesional yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan publik.
3. Kompetensi Teknis
Kompetensi teknis merupakan fondasi utama yang harus dikuasai Panitia Pengadaan. Kemampuan teknis ini mencakup pemahaman terhadap substansi proses PBJ, keterampilan dalam mengevaluasi penawaran, serta kemampuan mengelola dokumen hukum dan administratif pengadaan.
3.1. Penguasaan Regulasi dan Proses PBJ
Panitia harus mampu memahami secara menyeluruh isi dan maksud dari Perpres 16/2018 dan turunannya. Tidak cukup hanya mengetahui pasal-pasal, mereka harus memahami keterkaitan antar-tahapan pengadaan, waktu pelaksanaan yang sesuai, serta batasan hukum yang harus dipatuhi.
Di sisi teknis, anggota panitia wajib menguasai modul SPSE, terutama fitur pemilihan penyedia: mulai dari pengumuman, pengunggahan Dokumen Pemilihan (DP), klarifikasi penawaran, hingga evaluasi otomatis. Mereka juga dituntut mampu melakukan penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang realistis dan objektif, dengan basis data dari survei pasar, referensi e-Catalog, serta dokumen historis proyek serupa.
3.2. Evaluasi Teknis dan Harga
Kemampuan untuk merancang dan menerapkan kriteria evaluasi yang tepat menjadi sangat penting. Panitia harus membuat rubrik penilaian yang adil dan dapat diuji, agar proses evaluasi bersifat objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Evaluasi teknis tidak boleh asal copy-paste, melainkan disesuaikan dengan kebutuhan spesifik pengadaan.
Selain itu, kompetensi dalam menetapkan ambang batas harga (floor and ceiling price), serta melakukan klarifikasi dan negosiasi dengan penyedia menjadi bagian krusial dalam proses kompetitif. Pengetahuan tentang standar mutu dan sertifikasi (seperti SNI, ISO, CE Marking) juga diperlukan untuk menghindari barang/jasa tidak sesuai spesifikasi.
3.3. Pengelolaan Dokumen Kontrak
Setelah penyedia ditetapkan, Panitia harus memiliki keterampilan dalam menyusun draft kontrak yang mencakup klausul penting: seperti jaminan pelaksanaan, ketentuan penalti keterlambatan, hak dan kewajiban para pihak, serta mekanisme penyelesaian sengketa. Kemampuan mengelola addendum kontrak juga penting, terutama ketika terjadi perubahan lingkup pekerjaan atau waktu pelaksanaan.
Kompetensi teknis yang matang memastikan bahwa proses berjalan tanpa cacat prosedural, hasil pengadaan tepat mutu, serta risiko hukum dan keuangan dapat ditekan seminimal mungkin.
4. Kompetensi Manajerial
Kemampuan teknis saja tidak cukup. Dalam konteks kelembagaan, Panitia Pengadaan juga harus memiliki kompetensi manajerial yang kuat untuk mengorganisir kegiatan pengadaan secara terstruktur, efisien, dan adaptif terhadap dinamika lapangan.
4.1. Perencanaan dan Pengorganisasian
Panitia yang profesional akan menyusun perencanaan operasional pengadaan sejak awal. Ini mencakup penyusunan Work Breakdown Structure (WBS), pemetaan tahapan kegiatan, penyusunan Gantt chart, serta pengaturan timeline agar tahapan tidak tumpang tindih.
Manajemen sumber daya juga menjadi bagian penting-termasuk mengidentifikasi siapa melakukan apa, kebutuhan pelatihan teknis, kebutuhan sistem TI, serta penyiapan ruang kerja kolaboratif yang aman dan terintegrasi.
4.2. Manajemen Risiko
Manajemen risiko adalah pendekatan strategis yang wajib diterapkan, terutama pada pengadaan bernilai tinggi atau berisiko sosial tinggi. Panitia harus mampu menyusun risk register-daftar risiko potensial beserta strategi mitigasi.
Misalnya, risiko teknis dapat dimitigasi dengan uji kelayakan penyedia; risiko keuangan dengan jaminan pelaksanaan dan asuransi; dan risiko hukum dengan review oleh bagian hukum. Latihan simulasi atau table top exercise menjadi metode populer untuk menguji kesiapan Panitia dalam menghadapi kemungkinan kegagalan tender atau intervensi.
4.3. Pengawasan dan Pelaporan
Sebagai tim yang bertanggung jawab atas proses pengadaan dari awal hingga akhir, Panitia wajib menyusun pelaporan berkala untuk memastikan bahwa informasi pengadaan selalu up-to-date. Ini bisa dilakukan melalui dashboard digital monitoring-misalnya dengan BI tools seperti Power BI atau dashboard berbasis Google Data Studio.
Laporan pengadaan tidak sekadar naratif, tetapi harus berbasis data: waktu pelaksanaan, progres realisasi fisik dan keuangan, hambatan lapangan, dan rekomendasi tindak lanjut. Semua ini penting sebagai alat bantu pengambilan keputusan pimpinan serta evaluasi APIP.
Kompetensi manajerial memastikan bahwa proses pengadaan tidak sekadar “jalan”, tapi berjalan dengan tertib, efisien, dan akuntabel.
5. Kompetensi Integritas dan Etika
Dalam konteks pengadaan barang/jasa pemerintah, integritas bukan sekadar nilai moral, melainkan kompetensi profesional yang wajib dimiliki oleh setiap anggota panitia pengadaan. Integritas menjadi pondasi utama untuk menciptakan tata kelola pengadaan yang bebas dari konflik kepentingan, kolusi, serta penyalahgunaan wewenang. Kompetensi ini tidak hanya berwujud sikap pribadi, tetapi juga harus termanifestasi dalam sistem dan tindakan nyata.
5.1. Anti-Korupsi dan Anti-Gratifikasi
Setiap anggota panitia pengadaan wajib memahami dan menerapkan prinsip-prinsip anti-korupsi dan anti-gratifikasi yang tertuang dalam Kode Etik ASN serta berbagai ketentuan lain, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Presiden terkait pengadaan barang/jasa. Sikap tegas terhadap penolakan gratifikasi, komitmen pada netralitas dalam evaluasi penawaran, dan keteguhan untuk tidak memihak adalah bagian dari kompetensi kunci.
Penting juga untuk memahami mekanisme whistleblower, yaitu saluran formal untuk melaporkan dugaan pelanggaran, termasuk upaya suap atau intervensi ilegal dari pihak eksternal. Panitia yang mengetahui keberadaan saluran whistleblower internal (misalnya melalui Inspektorat atau Unit Pengendalian Gratifikasi) serta jaminan perlindungan saksi dan pelapor akan lebih percaya diri mengambil sikap profesional. Keberanian melapor harus ditopang dengan sistem dan budaya organisasi yang berpihak pada integritas.
5.2. Transparansi dan Good Governance
Penguatan integritas panitia tidak lepas dari prinsip transparansi, sebagai elemen penting dari good governance. Hal ini diwujudkan dengan keterbukaan informasi di berbagai tahap pengadaan. Misalnya:
- Publikasi rencana umum pengadaan (RUP), dokumen pengadaan (DP), serta hasil evaluasi di platform resmi seperti LPSE dan situs PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi), agar publik dapat melakukan pengawasan partisipatif.
- Audit trail digital: SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik) menyimpan setiap aktivitas pengguna seperti waktu unggah dokumen, revisi, klarifikasi, dan penunjukan pemenang secara otomatis. Ini menciptakan jejak digital yang kuat dan dapat diaudit sewaktu-waktu oleh Inspektorat, BPK, atau aparat hukum.
Dengan kemampuan menjaga etika dan integritas, panitia pengadaan tidak hanya memperkuat kepercayaan publik, tetapi juga menjadi garda terdepan dalam mendorong reformasi birokrasi yang bersih dan akuntabel.
6. Kompetensi Komunikasi dan Kolaborasi
Selain aspek teknis dan hukum, kemampuan komunikasi dan kolaborasi juga merupakan kompetensi krusial yang menentukan keberhasilan proses pengadaan. Panitia pengadaan berinteraksi dengan banyak pihak-internal maupun eksternal-sehingga keterampilan interpersonal menjadi alat navigasi dalam menghadapi dinamika proses pengadaan.
6.1. Negosiasi dan Mediasi
Negosiasi dalam pengadaan bukan hanya soal harga, tetapi juga soal scope of work, penjadwalan, dan fleksibilitas terhadap kondisi teknis di lapangan. Anggota panitia perlu menguasai teknik negosiasi berbasis kepentingan (interest-based negotiation) agar mencapai win-win solution.
Misalnya, saat klarifikasi harga atau negosiasi harga satuan dalam pengadaan langsung, panitia harus mampu menjelaskan batasan pagu, justifikasi biaya, serta memastikan kualitas tidak dikompromikan hanya demi harga terendah.
Selain itu, panitia juga harus terlatih dalam fasilitasi sanggahan, yaitu menangani keberatan peserta tender secara tertulis. Respon yang diberikan harus netral, berdasar regulasi, dan ditulis dengan bahasa profesional. Penanganan sanggahan yang baik dapat mencegah eskalasi ke level hukum atau laporan ke APIP/APH.
6.2. Koordinasi Multistakeholder
Koordinasi lintas unit sangat penting, terutama pada paket-paket strategis dan bernilai besar. Panitia harus mampu menjalin komunikasi efektif dengan:
- Tim Perencana dan Keuangan, untuk memastikan kesesuaian antara kebutuhan riil dan anggaran.
- Tim Hukum, terutama jika terdapat perbedaan tafsir terhadap regulasi atau ketentuan dokumen.
- Pengguna Akhir (End User), agar spesifikasi teknis benar-benar sesuai dengan kebutuhan operasional di lapangan.
Selain koordinasi internal, panitia juga harus proaktif membangun komunikasi eksternal. Sosialisasi pra-lelang menjadi sarana strategis untuk menjelaskan spesifikasi teknis, jadwal pengadaan, dan format dokumen kepada calon penyedia. Ini dapat dilakukan melalui:
- Webinar atau pertemuan daring untuk paket besar atau multiyears.
- Bimtek singkat bagi penyedia baru yang belum familiar dengan sistem SPSE.
- FAQ dan leaflet digital yang menjelaskan aspek teknis dan administratif paket.
Komunikasi yang terbuka dan profesional akan mempercepat penyelesaian permasalahan, menghindari miskomunikasi, serta memperkuat kepercayaan antar pemangku kepentingan.
7. Sertifikasi dan Pelatihan Berkelanjutan
Dalam sistem pengadaan modern, kompetensi panitia pengadaan tidak cukup hanya dibangun sekali saat awal penugasan. Seiring dengan perubahan regulasi, teknologi, dan dinamika pasar, sertifikasi dan pelatihan berkelanjutan menjadi keniscayaan.
7.1. Sertifikasi Resmi dari LKPP
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) menetapkan bahwa panitia pengadaan wajib memiliki sertifikat kompetensi sesuai level tanggung jawabnya:
- Level 1 untuk pelaksana teknis dasar seperti tim administrasi atau staf pendukung.
- Level 2 untuk anggota Pokja atau pejabat pengadaan dengan nilai menengah.
- Level 3 untuk PPK atau pelaksana pada proyek strategis yang kompleks.
Sertifikasi ini tidak hanya menilai penguasaan terhadap regulasi (Perpres, Perlem, Permen), tetapi juga kemampuan teknis dan pengambilan keputusan.
7.2. Pelatihan Tematik dan Kolaborasi Akademik
Selain sertifikasi, LKPP dan mitra pelatihan juga menyediakan pelatihan tematik untuk topik-topik spesifik seperti:
- Penggunaan e‑Catalog dan e‑Purchasing.
- Manajemen risiko pengadaan.
- Pengadaan barang berbasis TKDN dan produk ramah lingkungan.
- Mekanisme sanggah banding dan penyelesaian sengketa.
Beberapa perguruan tinggi bahkan telah membuka Program Magister Manajemen Pengadaan untuk jenjang karir lanjutan PPK Level 3 atau pejabat strategis. Dengan kurikulum akademik yang terintegrasi praktik, ASN pengadaan dapat mengembangkan kapasitas sebagai analis kebijakan, pembuat keputusan strategis, hingga konsultan pengadaan internal.
7.3. Learning Management System dan Self-Learning
Di era digital, ASN pengadaan juga perlu memanfaatkan LMS (Learning Management System) dan konten mandiri seperti modul daring, webinar LKPP, podcast reformasi birokrasi, serta komunitas diskusi di platform digital. Pendekatan self-paced learning ini memberi fleksibilitas waktu sekaligus mendorong budaya belajar sepanjang hayat (lifelong learning).
Dengan pelatihan dan pembelajaran berkelanjutan, panitia pengadaan akan tetap relevan, adaptif, dan profesional di tengah tantangan pengadaan modern yang dinamis dan penuh kompleksitas.
8. Tantangan dan Solusi
Dalam praktiknya, penerapan kompetensi Panitia Pengadaan tidaklah selalu berjalan mulus. Terdapat berbagai hambatan yang dihadapi oleh instansi, baik dari sisi internal maupun eksternal. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan pendekatan strategis dan sistematis. Berikut adalah tantangan utama yang sering dihadapi Panitia Pengadaan dan solusi konkret yang dapat diterapkan:
8.1 Keterbatasan SDM Bersertifikat
Salah satu hambatan paling mendasar adalah kurangnya jumlah SDM yang telah memiliki sertifikat kompetensi pengadaan dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Banyak instansi di daerah terpencil yang belum memiliki ASN fungsional pengelola pengadaan atau panitia dengan sertifikasi level dasar (level 2) sesuai PerLKPP No. 4/2021.
Solusi: Pemerintah daerah dan pusat dapat merespons dengan kebijakan afirmatif, seperti:
- Rekrutmen ASN fungsional PBJ secara terbuka dan merit-based untuk mengisi kekosongan posisi kritis di bidang pengadaan.
- Program beasiswa sertifikasi bagi ASN potensial, terutama bagi mereka yang bertugas di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
- Pelatihan daring (online learning) yang fleksibel untuk meningkatkan akses sertifikasi tanpa mengganggu layanan publik.
8.2 Resistensi terhadap Perubahan Teknologi (e-Procurement)
Transformasi digital dalam pengadaan, melalui SPSE, e-Katalog, dan sistem informasi lainnya, kerap mendapat resistensi dari panitia yang belum terbiasa dengan antarmuka digital. Hambatan ini bukan hanya bersifat teknis, melainkan juga psikologis, seperti rasa takut salah klik, overload informasi, hingga keengganan belajar ulang sistem baru.
Solusi: Langkah-langkah berikut terbukti efektif:
- Change Management Program berbasis komunikasi yang mendorong perubahan perilaku secara bertahap.
- Pelatihan pengguna (user training) secara intensif dan modular, misalnya pelatihan SPSE hanya untuk fitur e-Tendering tahap evaluasi.
- Layanan bantuan 24/7 berupa helpdesk atau chatbot internal yang responsif terhadap kendala teknis dan administratif.
8.3 Kompleksitas Regulasi yang Terus Berkembang
Regulasi PBJ kerap mengalami revisi dan pembaruan untuk menyesuaikan dengan perkembangan praktik global dan kebutuhan nasional. Hal ini menimbulkan kebingungan, terutama bagi Panitia yang tidak mengikuti secara aktif pembaruan regulasi, seperti perubahan Perpres atau Perlem LKPP.
Solusi: Diperlukan sistem yang mempermudah pemahaman dan akses informasi:
- Portal satu pintu informasi regulasi pengadaan yang diperbarui secara real-time.
- Newsletter berkala (monthly update) yang merangkum perubahan aturan beserta interpretasinya.
- Pembentukan desk hukum internal di setiap UKPBJ yang siap memberikan interpretasi atas regulasi terkini.
8.4 Intervensi Eksternal dan Konflik Kepentingan
Tidak jarang Panitia menghadapi tekanan politik, permintaan “titipan” peserta tender, atau campur tangan pejabat yang tidak berwenang. Hal ini menjadi ancaman serius terhadap independensi, profesionalisme, dan integritas panitia.
Solusi: Beberapa langkah konkret untuk meminimalkan intervensi adalah:
- Rotasi personel Panitia setiap 6 bulan untuk menjaga netralitas.
- Penandatanganan pakta integritas sebagai komitmen moral dan hukum sejak awal proses pengadaan.
- Audit investigatif oleh APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) bila ada indikasi pelanggaran atau konflik kepentingan yang sistemik.
Dengan mengantisipasi tantangan secara proaktif, Panitia Pengadaan tidak hanya mempertahankan kualitas proses tetapi juga memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem PBJ yang kredibel dan bebas korupsi.
9. Studi Kasus: Panitia Unggul Tanpa Temuan Audit
Untuk memperlihatkan implementasi nyata kompetensi Panitia, mari kita simak studi kasus dari salah satu proyek infrastruktur strategis nasional:
Konteks: Sebuah Kementerian teknis, dalam hal ini Kementerian PUPR, mengadakan proyek pembangunan jembatan multiyears dengan nilai kontrak sebesar Rp50 miliar. Tantangan utama adalah kompleksitas teknis, tenggat waktu yang ketat, serta potensi rawan sanggah dari peserta.
Langkah-langkah unggul yang diterapkan:
- Tim Panitia dibentuk lintas sektor, terdiri dari:
- 2 insinyur sipil yang memahami detail spesifikasi teknis dan metodologi konstruksi.
- 1 ekonom pembangunan untuk menilai efisiensi biaya terhadap output fisik.
- 1 auditor internal untuk memastikan kepatuhan prosedural dan pembuktian kewajaran harga.
- 1 pengacara pengadaan untuk mitigasi risiko hukum dan dokumentasi kontrak.
- Workshop manajemen risiko diadakan sebelum tender dimulai, mengantisipasi berbagai skenario gagal:
- Risiko gagal tender karena peserta tidak memenuhi spesifikasi.
- Risiko kolusi antara peserta dan panitia.
- Risiko force majeure seperti banjir atau gempa saat pelaksanaan.
- Penggunaan dashboard digital untuk transparansi, memungkinkan semua pihak (PPK, PA, APIP) memantau progres tender secara real time. Data yang diunggah meliputi:
- Daftar peserta tender dan hasil evaluasi teknis.
- Notulen rapat evaluasi.
- Draft kontrak dan HPS.
Hasil:
- Waktu siklus tender hanya 40 hari, jauh lebih cepat dari rerata nasional 70 hari.
- Tidak ada sanggahan dari peserta karena proses evaluasi yang transparan dan akuntabel.
- Nilai kontrak disepakati 3% di bawah HPS, menghemat anggaran namun tetap menjaga kualitas hasil pekerjaan.
- Tidak ditemukan satu pun temuan oleh BPK maupun Inspektorat Jenderal dalam proses maupun hasilnya.
Pembelajaran utama:
- Kolaborasi kompetensi lintas keilmuan (teknis, hukum, manajerial, dan etika) menjadi kekuatan utama dalam menciptakan pengadaan yang sukses.
- Keunggulan Panitia bukan hanya pada aspek administratif, tetapi pada bagaimana mereka merancang sistem kontrol yang integratif sejak awal.
10. Rekomendasi Final
Agar seluruh instansi mampu mereplikasi keberhasilan seperti studi kasus di atas, maka beberapa rekomendasi berikut layak dijadikan kebijakan tetap dalam pengelolaan Panitia Pengadaan:
10.1 Audit Kompetensi Berkala
Validasi terhadap status sertifikasi, log pelatihan, dan rekam jejak Panitia sebaiknya dilakukan setiap 6 bulan. Ini untuk memastikan bahwa Panitia yang sedang aktif masih memiliki kapabilitas yang relevan dengan perkembangan sistem dan regulasi.
10.2 Quality Assurance Unit
Unit kecil yang dibentuk di UKPBJ dengan tugas melakukan pra-audit atas dokumen penting seperti DKH (Daftar Kuantitas dan Harga) dan HPS sebelum diumumkan ke publik. Ini mengurangi kesalahan fatal dan memperkecil peluang sanggahan.
10.3 Knowledge Sharing Forum
Mendorong terbentuknya komunitas praktik pengadaan antar-instansi baik di level daerah maupun pusat. Dalam forum ini, Panitia bisa bertukar pengalaman, studi kasus, hingga berbagi tools evaluasi terbaru.
10.4 Benchmarking Internasional
Lembaga seperti World Bank, Asian Development Bank (ADB), dan UNDP memiliki procurement framework yang terbukti efektif dan transparan. Beberapa pendekatan seperti value for money, bid protest mechanism, dan integrity pact bisa diadopsi secara lokal.
10.5 Continuous Improvement (CI)
Setiap tender, baik sukses maupun gagal, harus diikuti dengan sesi evaluasi internal (post-mortem) yang terdokumentasi. Apa yang bisa diperbaiki dari proses evaluasi teknis? Apakah komunikasi antar-Panitia optimal? Adakah inovasi sistem yang perlu diadopsi?
11. Penutup
Keberhasilan pengadaan barang/jasa pemerintah sangat bergantung pada kualitas dan integritas Panitia Pengadaan. Kompetensi yang diperlukan tidak sekadar administratif, tetapi mencakup pemahaman teknis, kecakapan manajerial, integritas moral, hingga kemampuan adaptasi terhadap teknologi dan regulasi baru.
Regulasi terkini, seperti PerLKPP No. 4/2021 dan Perpres No. 16/2018 beserta perubahannya, telah memberikan landasan hukum yang kuat mengenai siapa yang boleh menjadi Panitia, apa saja kewajiban kompetensinya, dan bagaimana prosesnya harus dijalankan.
Namun, tanpa upaya berkelanjutan dari instansi dalam membina, memantau, dan meningkatkan kualitas SDM pengadaan, peraturan tersebut hanya akan menjadi formalitas semata. Oleh karena itu, penguatan kelembagaan pengadaan melalui pembinaan SDM, audit kompetensi berkala, dan penerapan prinsip transparansi serta inovasi digital harus menjadi agenda prioritas setiap UKPBJ.
Hanya dengan Panitia yang kompeten, berintegritas, dan siap menjawab tantangan zaman, kita bisa memastikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan negara memberikan nilai manfaat yang optimal, tepat sasaran, dan berdampak nyata bagi masyarakat luas.